Hustle Culture: Saat Budaya Kerja Keras Menjadi Celah Hukum Ketenagakerjaan

Wait 5 sec.

Ilustrasi (sumber: pixabay.com)Fenomena pekerja yang mengalami kelelahan hingga harus menjalani perawatan intensif sering menggemparkan publik. Banyak kisah tersebut ramai di media sosial, menggambarkan bahwa budaya kerja keras atau hustle culture telah menjadi kebiasaan di dunia kerja. Seolah-olah pekerja terdoktrin “kerja lebih lama berarti lebih sukses”. Pekerja rela mengorbankan waktu istirahat untuk menambah waktu lembur, hal ini seolah tanda profesionalisme yang dipuja berlebihan. Pada pelaksanaannya hustle culture memiliki potensi membuka celah eksploitasi yang melanggar hukum ketenagakerjaan sekaligus merampas hak pekerja. Rilis dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), pada periode November 2022 hingga Oktober 2023 terdapat puluhan kasus terkait pelanggaran upah lembur, jam kerja, dan hak normatif lainnya. Fenomena ini menegaskan bahwa hustle culture sebagai praktik yang merugikan pekerja, namun ironisnya kerap dianggap bentuk loyalitas dan dedikasi dalam bekerja.Indonesia sudah memiliki aturan yang jelas terkait jam kerja,sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hingga saat ini diatur Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 (Perppu Cipta Kerja). Fleksibilitas jam kerja, kontrak jangka pendek, dan gig economy sering dijadikan alasan untuk menekan pekerja bekerja lebih lama tanpa perlindungan memadai, hal ini yang menjadi celah regulasi. Padahal, dalam perspektif hukum, pemberi kerja wajib melindungi pekerja sebagai pihak yang lebih lemah dalam hubungan kerja. Mengabaikan kewajiban ini sama saja mengkhianati prinsip dasar hukum ketenagakerjaan.Konsekuensi hustle culture tidak hanya tentang kelelahan fisik, tekanan kerja tanpa diimbangi dengan waktu istirahat akan menimbulkan stres, depresi, hingga gangguan kesehatan jangka panjang. Fenomena burnout dianggap wajar oleh pekerja, padahal itu adalah tanda kegagalan sistem kerja yang sehat dan budaya yang merusak prinsip keadilan. Pekerja dipaksa memberi lebih banyak tenaga tanpa imbalan yang sepadan. Jean-Jacques Rousseau pernah menekankan dalam kontrak sosialnya bahwa institusi harus menjamin kesejahteraan warganya. Jika budaya kerja justru membuat pekerja kehilangan hak, maka kontrak sosial itu telah dikhianati.Pelanggaran yang muncul akibat hustle culture dapat masuk kedalam ranah hukum pidana maupun perdata. Dalam aturan ketenagakerjaan dijelaskan bahwa pelanggaran terhadap aturan jam kerja dan upah lembur dapat dikenai sanksi pidana. Dari sisi perdata, pekerja berhak menuntut ganti rugi akibat pelanggaran kontrak. Prinsip perlindungan maksimal bagi pekerja harus ditegakkan, pekerja yang menjadi korban eksploitasi tidak boleh dibiarkan sendirian. Aparat penegak hukum, serikat pekerja, dan lembaga advokasi harus memastikan hak-hak pekerja dipulihkan. Tanpa perlindungan hukum yang tegas, pekerja akan terus menjadi korban dari sistem kerja yang timpang.Fenomena ini bukan hanya masalah Indonesia. Di Jepang, istilah karoshi atau kematian akibat kerja berlebihan menjadi isu serius sejak 1980-an. Pemerintah akhirnya menetapkan batas lembur ketat dan kampanye nasional untuk keseimbangan hidup. Di Uni Eropa, right to disconnect memberi hak pekerja untuk tidak dihubungi di luar jam kerja resmi. Beberapa negara seperti Islandia dan Spanyol bahkan menguji coba four-day work week. Hasilnya, produktivitas tetap terjaga, sementara kualitas hidup pekerja meningkat. Di Amerika Serikat, meski budaya kerja keras sangat kental, generasi muda mulai melawan. Gelombang quiet quitting muncul sebagai bentuk protes terhadap glorifikasi lembur. Perusahaan akhirnya terpaksa mengadopsi kebijakan kerja yang lebih sehat. Perbandingan ini menegaskan bahwa dalam hal mengatasi hustle culture tidak cukup dengan regulasi semata, namun dibutuhkan perubahan paradigma. Pekerja bukan sekadar roda produksi, melainkan manusia dengan hak atas kesehatan, keluarga, dan kehidupan sosial yang layak.Kerja keras adalah hal penting, namun ketika kerja keras menjadi potensi jerat eksploitasi, maka hukum hadir sebagai pelindung hak warga negara yang memberikan jaminan dari perlakuan sewenang-wenang. Hustle culture mungkin tampak glamor di permukaan, tetapi sesungguhnya berbahaya. Ia melahirkan generasi pekerja lelah, kehilangan kesehatan, dan terampas hak dasarnya. Indonesia perlu membangun perekonomian yang berdasarkan berkeadilan, pekerja harus diperlakukan sebagai manusia seutuhnya. Konstitusi menyatakan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Menormalisasi hustle culture berarti menyalahi amanat konstitusi sekaligus mengabaikan martabat manusia.