Mencari Makna Mengenal Diri

Wait 5 sec.

Ilustrasi mengorkestrasi jati diri. Foto: Andrei Porzhezhinskii/ShutterstockTerdapat empat nilai utama dalam tradisi filsafat klasik yakni andreia (keberanian), sophia (kebijaksanaan), dikaiosune (keadilan) dan yang terakhir adalah sophrosune (pengenalan diri). Keempat nilai utama tersebut saling berkaitan dan menjadi pondasi bagi pembahasan tujuan eksistensi manusia. Jika pada kesempatan sebelumnya, kita memperbincangkan andreia (keberanian) dalam dialog Lakhes. Pada kesempatan ini, kita akan mencoba menelisik makna sophrosune dalam dialog Xarmides yang juga karya Platon.Sebagaimana dialog Lakhes, para ahli memperkirakan dialog Xarmides terjadi di sebuah palaistra atau gymnasion, ruang interaksi publik yang biasa mempertunjukkan seni, olahraga ataupun diskusi-diskusi intelektual. Tempat ini juga tampaknya dipilih untuk menunjukkan pentingnya menjaga atau merawat jiwa di samping merawat intelektual dan tubuh. Xarmides dikenal sebagai pemuda tampan dan menarik yang saat dialog terjadi, berhari-hari mengalami sakit kepala. Kritias, paman Xarmides, kemudian meminta Sokrates memberikan penawar atas sakit kepala itu.Menanggapi permintaan Kritias, Sokrates menjelaskan bahwa ia sempat mempelajari obat dan mantra untuk menyembuhkan sakit kepala tersebut dari seorang tabib Thrakia saat bergabung dalam ekspedisi militer Yunani. Tabib itu mengajarkan bahwa untuk mengobati bagian tubuh tertentu, harus dilakukan menyeluruh, tidak boleh terpisah-pisah. Namun, mengobati seluruh tubuh tidaklah cukup, haruslah dilakukan pemeriksaan terhadap jiwanya pula. Sokrates percaya sebagaimana penuturan tabib Thrakia, Jiwa adalah sumber segala hal-hal buruk dan hal-hal baik yang ada di tubuh manusia. Sehingga yang perlu disembuhkan pertama-tama adalah jiwa.Sokrates menegaskan bahwa perbaikan jiwa dapat dilakukan dengan memberikan mantra-mantra sedangkan mantra-mantra tersebut terdiri dari kata-kata yang tepat. Dengan kata-kata yang tepat lahir jiwa yang sophron dan pada akhirnya segala kesakitan tubuh pun akan reda. Kritias yang awalnya menyatakan bahwa Xarmides adalah orang yang memiliki sophrosune pun mulai berpikir karena menurut Sokrates jika Xarmides adalah sophron maka ia tidak membutuhkan obat atau mantra-mantra untuk sakit kepalanya. Xarmides sendiri tampak kebingungan dan untuk memastikan apakah Xarmides memang sophrosune, ia harus bersedia diperiksa oleh Sokrates melalui serangkaian pertanyaan.Setelah mendapat persetujuan Kritias dan Xarmides, Sokrates memulai dengan pertanyaan apa yang dimaksud sophrosune? Xarmides kemudian menjawab ketenangan (hesukhiotes). Sokrates kemudian membuat beberapa ilustrasi tentang kecepatan, kecekatan, ketangkasan dan kemudahan jika berkaitan dengan aktivitas jasmani seperti menulis, belajar, olahraga dan keterampilan lainnya. Begitu pula dengan pikiran dan jiwa sehingga menurut Sokrates berdasarkan argumentasi Xarmides, sophrosune bukanlah sejenis ketenangan.Setelah terdiam mendengar sanggahan Sokrates terhadap definisi pertamanya, Xarmides memberikan definisi sophrosune yang kedua dengan menyatakannya sebagai rasa tahu malu (aidos). Sokrates memberikan sanggahan dengan mengutip Homeros yang menyatakan rasa malu bukanlah teman yang baik bagi orang berkekurangan. Mengikuti pernyataan itu, Sokrates menegaskan bahwa rasa malu itu baik sekaligus tidak baik seperti seorang tua yang mengemis sisa makanan karena kelaparan. Jika sophrosune adalah hal baik maka bukanlah rasa tahu malu, karena rasa tahu malu memiliki kebaikan dan keburukan di dalamnya.Tak mau menyerah, Xarmides lantas mengajukan definisi ketiganya dengan menyatakan bahwa sophrosune adalah melakukan urusannnya masing-masing (to ta heautou prattein). Definisi ini pun kemudian disanggah oleh Sokrates dengan menyatakan kalau memang sophrosune adalah melakukan urusan masing-masing maka setiap orang harus mewujudkan dan membuat apa yang menjadi kebutuhannya pribadi seperti membuat pakaian sendiri, membuat sandal sendiri dan lain sebagainya sendiri.Dari seluruh sanggahan Sokrates diketahui bahwa definisi sophrosune yang ditawarkan oleh Xarmides berasal dari Kritias. Ketidakmampuan Xarmides menjelaskan sophrosune menjadi petunjuk bahwa ia bukanlah seorang sophron. Sambil tertawa, Xarmides mengisyaratkan Kritias untuk segera turun ke gelanggang diskusi. Meskipun awalnya tampak marah dan kecewa terhadap Xarmides, Kritias kemudian memulai menjelaskan pemahamannya dari definisi terakhir Xarmides tentang sophrosune.Total ada empat definisi yang diajukan oleh Kritias. Pertama, mengulang definisi terakhir yang diberikan Xarmides yakni sophrosune adalah melakukan urusannya masing-masing (to ta heautou prattein). Pada definisi pertama ini Kritias memperluas bahasannya mengenai perbedaan membuat (poiesin) dan tindakan (prattein) yang dipelajarinya dari Hesiodos. Sokrates menangkap perluasan definisi tersebut hanya permainan kata-kata sehingga menuntut Kritias untuk memperjelas peletakan kata-kata itu sendiri karena memiliki kecenderungan subjektif. Misalnya apakah membuat kerajinan (poiesin) itu termasuk dalam tindakan (prattein) mengurusi urusan orang lain?Klarifikasi terkait definisi awal tersebut kemudian menjadi rujukan untuk Kritias memberikan definisi kedua yakni sophrosune adalah melakukan tindakan baik. Mendengar definisi kedua itu, Sokrates kemudian memberikan ilustrasi seorang tabib yang berusaha menyembuhkan seseorang haruslah mengetahui bahwa tindakannya itu baik atau berguna pada pasien padahal kesembuhan bagi pasien belum tentu hal baik. Sehingga jika mengikuti definisi Kritias maka seseorang dapat dikatakan sophron jika mengetahui tindakannya berguna namun hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan pendapat Kritias sendiri yang mengatakan seorang sophron tidak mengetahui bahwa dirinya sophron.Setelah mendengar sanggahan atas definisi keduanya, Kritias menarik sebagian ucapannya dan memberikan definisi ketiga yakni sophrosune adalah mengenal dirinya sendiri. Kritias mengutip penggalan tulisan yang terpahat di pintu masuk kuil Delphoi “gnōthi seauton” yang berarti kenalilah dirimu sendiri.Jika mengenali diri sendiri yang dimaksudkan Kritias adalah mengetahui diri sendiri maka menurut Sokrates sophrosune adalah sejenis pengetahuan (episteme). Dikarenakan ia adalah pengetahuan maka ia memiliki objek pengetahuannya sendiri yang membedakannya dengan objek pengetahuan lainnya.Jika mengenali diri sendiri berarti mengetahui keseluruhan diri tentu bukanlah hal mudah bahkan cenderung mustahil. Misalnya persoalan apakah manusia itu sepenuhnya material ataukah ada sisi lainnya. Apakah mengenal diri yang material tersebut berarti juga mengetahui berapa jumlah helai rambut, berapa panjang usus, berapa jumlah syaraf dan lain sebagainya. Begitu pula jika ada sisi lain manusia, apakah mengenal diri berarti mengetahui segala keadaannya.Kritias kemudian melompat menuju tawaran terakhir untuk pendefinisian sophrosune dengan menyatakan bahwa sophrosune adalah pengetahuan universal. Sebagai pengetahuan universal menurut Sokrates, sophrosune menjadi lebih sukar dipahami karena tidak memiliki objek pengetahuan yang jelas. Jika kata universal berarti melingkupi dirinya dan yang bukan dirinya sendiri (anepistemosune), ini justru tidak dapat diterima karena untuk kondisi tersebut seseorang dikatakan sophron jika menguasai seluruh pengetahuan.Apakah pengetahuan tentang diri sendiri berarti seseorang juga mengetahui bagaimana menggunakan pengetahuan itu untuk kebaikan? Apakah mengenal diri berarti juga mengenal apa yang adil, baik, dan indah? Jika ya, maka sophrosune tidak hanya sebatas pengendalian diri, melainkan hampir mencakup seluruh kebajikan moral.Sama seperti dialog Lakhes, Platon tidak memberikan jawaban akhir atas persoalan sophrosune namun ia memberikan gambaran bahwa betapa sulitnya memaknai pengenalan diri. Dari dialog Xarmides, kita belajar bahwa sophrosune dapat diterjemahkan pula sebagai mawas diri yakni kemampuan untuk menafsirkan objek-objek termasuk dirinya sendiri namun tidak terjebak pada finalitas tafsir atau opini.Dengan mawas diri kita diajak untuk menjadi individu berdaulat yang memiliki kekuatan untuk mendominasi dan memerintah masa depan kita sendiri, sebuah kesadaran reflektif. Individu berdaulat adalah individu dengan tingkat intelejensia emosional yang matang dalam memahami realitas kehidupan yang serba kontradiktif atau chaotik. Di kemudian hari, Aristoteles, murid Platon, dalam Etika Nikomakeia menegaskan bahwa orang sophron adalah ia yang memiliki kendali penuh atas dirinya sendiri dalam hal keseharusan dan kesenangan. Ironisnya, justru banyak dari kita menggantungkan diri pada penilaian eksternal yang berada diluar kendali kita sendiri.