Suara Mahasiswa di Tengah Ekonomi Indonesia 2025: Antara Keresahan dan Harapan

Wait 5 sec.

Ilustrasi ini menunjukkan mahasiswa dengan buku dan laptop, simbol semangat muda menghadapi tantangan pendidikan dan ekonomi. Sumber Gambar: pixabay.comMahasiswa sering dianggap sebagai cermin nyata dari kondisi sosial dan ekonomi bangsa. Mereka adalah kelompok yang paling dekat dengan perubahan, baik sebagai generasi penerus maupun pengamat kritis terhadap situasi yang sedang terjadi. Memasuki tahun 2025, dinamika ekonomi Indonesia semakin kompleks. Kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya hidup yang tidak menentu, serta peluang kerja yang tidak sebanding dengan jumlah lulusan perguruan tinggi membuat mahasiswa ikut merasakan tekanan. Karena itu, keresahan mahasiswa sesungguhnya merupakan refleksi dari keresahan masyarakat secara luas.Mahasiswa menyadari bahwa pemerintah sejatinya telah merancang banyak kebijakan ekonomi, mulai dari pemberian bantuan sosial hingga program subsidi pendidikan. Namun, yang sering menjadi pembahasan adalah soal pemerataan. Program-program yang dirancang untuk membantu justru belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh kalangan. Banyak mahasiswa, terutama yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah maupun yang tinggal di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal), kesulitan menjangkau fasilitas dan bantuan tersebut. Hambatan akses, minimnya informasi, serta keterbatasan infrastruktur membuat mereka tertinggal dibanding mahasiswa di kota besar. Akibatnya, dunia pendidikan tinggi di Indonesia masih terlihat timpang, seakan-akan hanya terbuka lebar bagi kelompok tertentu, sementara yang lain terpaksa berjuang lebih keras.Masalah berikutnya yang sering di temukan adalah biaya pendidikan yang terus meningkat. Setiap tahun, Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan berbagai biaya penunjang lainnya mengalami kenaikan. Bagi mahasiswa dari keluarga kelas menengah ke bawah, kenaikan ini terasa sangat berat. Beasiswa memang tersedia, baik dari pemerintah, kampus, maupun lembaga swasta, tetapi jumlah penerimanya sangat terbatas jika dibandingkan dengan banyaknya mahasiswa yang membutuhkan. Kondisi tersebut melahirkan wacana pinjaman pendidikan sebagai salah satu solusi. Dengan skema ini, mahasiswa bisa melanjutkan kuliah dengan cara berutang terlebih dahulu, kemudian melunasinya setelah mereka berhasil bekerja.Ilustrasi Student Loan Foto: Getty ImagesSayangnya, ide pinjaman pendidikan justru memicu polemik. Kelompok yang menolak beranggapan bahwa pendidikan adalah hak mendasar warga negara yang seharusnya dijamin oleh negara tanpa menambah beban finansial baru. Mereka khawatir mahasiswa hanya akan keluar dari kampus dengan ijazah sekaligus utang yang membelit. Di sisi lain, ada pula pihak yang mendukung gagasan ini dengan syarat pinjaman dijalankan dengan bunga rendah, masa tenggang yang panjang, dan aturan pembayaran yang manusiawi. Perdebatan ini tidak hanya berlangsung di ruang kelas atau forum kampus, tetapi juga merambah ke ruang publik digital. Diskusi panjang itu menunjukkan bahwa isu biaya kuliah bukan masalah kecil, melainkan persoalan serius yang menyentuh masa depan generasi muda Indonesia.Selain soal biaya kuliah, mahasiswa juga dihadapkan pada tantangan besar terkait dunia kerja. Jumlah lulusan perguruan tinggi terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara lapangan kerja formal yang tersedia tidak banyak berubah. Persaingan semakin ketat, bahkan tidak sedikit lulusan yang akhirnya bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan jurusan atau keahliannya. Situasi ini membuat mahasiswa resah, khawatir akan masa depan setelah wisuda. Menyadari kondisi tersebut, banyak mahasiswa mulai mengambil inisiatif: mengikuti kursus online untuk menambah keterampilan, mencari magang di berbagai perusahaan demi memperkaya pengalaman, hingga merintis usaha kecil-kecilan agar tidak bergantung penuh pada lowongan kerja formal. Fenomena ini menunjukkan bahwa generasi muda tidak sekadar menunggu kesempatan datang, melainkan aktif menciptakan peluang untuk dirinya sendiri.Tekanan ekonomi juga semakin terasa dalam kehidupan sehari-hari. Inflasi yang merangkak naik membuat harga makanan di kantin kampus melonjak, biaya transportasi semakin mahal, dan tarif internet yang kini menjadi kebutuhan pokok bagi mahasiswa semakin menekan keuangan mereka. Mahasiswa rantau yang hidup jauh dari keluarga bahkan merasakan beban ganda, karena mereka harus pintar-pintar mengatur uang bulanan agar cukup sampai akhir bulan. Tidak jarang, mereka akhirnya memilih bekerja paruh waktu sebagai barista, ojek online, penjaga toko, hingga guru les untuk menutupi kebutuhan hidup. Gambaran ini menunjukkan bahwa dampak ekonomi nasional tidak berhenti pada sektor industri dan bisnis besar saja, tetapi juga langsung masuk ke ruang-ruang kecil kehidupan mahasiswa sehari-hari.Walaupun dibebani banyak persoalan, mahasiswa tetap menjadi kelompok yang vokal dalam menyuarakan pendapat. Mereka sering menjadi pihak yang pertama kali mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Isu yang mereka soroti tidak hanya terbatas pada biaya kuliah, melainkan juga mencakup ketimpangan sosial, meningkatnya jumlah pengangguran, hingga praktik korupsi yang merusak tatanan ekonomi negara. Suara mahasiswa memang kerap terdengar keras, namun sesungguhnya lahir dari rasa kepedulian mendalam terhadap nasib bangsa di masa depan.Ilustrasi mahasiswa. Foto: ShutterstockNamun, peran mahasiswa tidak bisa berhenti hanya pada kritik. Mereka juga dituntut untuk menghadirkan solusi nyata. Langkah itu bisa diwujudkan dengan penelitian yang mendukung pengembangan UMKM, kegiatan sosial yang membantu literasi keuangan masyarakat, atau program kewirausahaan yang berbasis kampus. Dengan cara ini, mahasiswa bukan hanya berperan sebagai pengawas, tetapi juga sebagai agen perubahan yang memberikan kontribusi nyata. Peran ganda ini penting untuk menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya menguliti kelemahan kebijakan, tetapi juga menawarkan jalan keluar yang bisa diimplementasikan.Di samping itu, solidaritas antar-mahasiswa menjadi kekuatan yang sulit untuk diabaikan. Di banyak kampus, muncul gerakan kolektif yang sederhana namun sangat berdampak, seperti program berbagi makanan murah, aksi solidaritas untuk membantu mahasiswa yang kesulitan membayar UKT, hingga kelas belajar gratis yang terbuka untuk umum. Aksi-aksi kecil ini sering kali menjadi penyelamat bagi mereka yang sedang kesulitan. Solidaritas yang tumbuh di kalangan mahasiswa juga memperlihatkan bahwa di tengah kerasnya tantangan ekonomi, masih ada nilai kebersamaan dan kepedulian yang menjaga semangat tetap hidup.Keresahan mahasiswa masa kini juga erat kaitannya dengan pesatnya perkembangan teknologi dan digitalisasi dalam perekonomian. Perubahan ini membawa dua sisi yang berlawanan. Di satu pihak, teknologi menghadirkan peluang besar bagi mahasiswa untuk berkarya, misalnya dengan bekerja jarak jauh (remote), menjadi freelancer, hingga memanfaatkan media sosial untuk mengembangkan bisnis pribadi. Pintu kesempatan terbuka lebih luas dibanding era sebelumnya, karena mahasiswa kini bisa menghasilkan uang tanpa harus menunggu lulus atau terikat pada pekerjaan formal. Akan tetapi, di pihak lain, teknologi juga menghadirkan tantangan yang tidak kalah besar. Persaingan menjadi semakin ketat karena mahasiswa harus bersaing tidak hanya dengan sesama anak muda di dalam negeri, tetapi juga dengan tenaga kerja global yang memiliki kemampuan serupa atau bahkan lebih tinggi. Selain itu, dunia kerja digital sering kali tidak memberikan jaminan yang jelas. Banyak mahasiswa yang mencari tambahan penghasilan lewat platform daring justru harus berhadapan dengan upah yang rendah, sistem kerja yang tidak stabil, serta ketidakpastian kontrak. Hal ini memperlihatkan bahwa persoalan ekonomi mahasiswa bukan hanya terbatas pada biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari, tetapi juga bagaimana mereka mampu bertahan dan beradaptasi dalam sistem ekonomi digital yang keras dan penuh ketidakpastian.Keresahan mahasiswa pada tahun 2025 menjadi sinyal kuat bahwa sistem pendidikan tinggi di Indonesia memerlukan perubahan yang lebih serius. Jika pemerintah hanya berfokus pada pencapaian angka pertumbuhan ekonomi tanpa memerhatikan kesejahteraan mahasiswa sebagai bagian penting dari pembangunan bangsa, maka kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan akan berada dalam posisi rentan. Pendidikan tinggi seharusnya dipandang sebagai investasi jangka panjang yang mendukung masa depan negara, bukan dianggap sebagai beban yang harus dipikul individu secara penuh. Untuk itu, pemerintah perlu merancang kebijakan yang lebih berpihak, mulai dari menjamin akses pendidikan yang adil, memperluas kesempatan kerja yang relevan dengan kompetensi lulusan, hingga memastikan biaya hidup mahasiswa tetap dalam batas yang wajar. Apabila langkah-langkah tersebut diwujudkan, keresahan mahasiswa tidak lagi hanya menjadi beban sosial, melainkan bisa berubah menjadi kekuatan produktif yang mendorong kreativitas, inovasi, serta kontribusi nyata bagi pembangunan nasional di masa mendatang.