Manajemen Pemasaran: Dari Kotler ke Kopi Sachet, dan Dinamika Hati Konsumen

Wait 5 sec.

Ilustrasi berjualan secara online menggunakan platform e-commerce. Foto: ShutterstockSetiap mahasiswa magister manajemen pasti punya trauma kolektif yang sama: bertemu nama Philip Kotler. Ia muncul di setiap literatur dan menjadi kalimat pembuka wajib setiap makalah, bahkan jadi tameng utama saat presentasi di kelas. “Menurut Kotler…” adalah jurus pamungkas yang membuat dosen tersenyum tipis. Namun, kalau kita kuliti, esensi pemasaran sebenarnya tidak serumit tumpukan teori di buku tebal itu. Intinya sederhana: bagaimana caranya membuat orang lain jatuh hati pada produk atau jasa kita.Masalahnya, banyak orang masih mengira pemasaran itu sinonim dari jualan. Padahal, jualan hanyalah bagian ujung yang tampak di permukaan. Pemasaran adalah keseluruhan drama di balik layar.Bayangkan urusan asmara: kalau jualan itu ibarat memberikan bunga ke gebetan, pemasaran adalah seluruh proses yang membuat bunga itu bermakna—mulai dari mencari tahu bunga apa yang ia suka, memilih momen paling pas untuk memberikannya, hingga menyiapkan kalimat manis agar tidak terdengar garing. Tanpa strategi itu, bunga bisa saja diterima dengan senyum sopan, tetapi hati tetap tidak tergoyahkan.Di ruang kelas, teori STP sering dibahas sampai bosan: Segmenting, Targeting, Positioning. Meski terdengar teknis, sebenarnya gampang dipahami lewat analogi percintaan. Segmentasi mirip proses menyaring preferensi di aplikasi kencan. Targeting adalah saat kamu memutuskan fokus mendekati tipe tertentu. Sementara positioning adalah cara menampilkan diri supaya terlihat berbeda dari saingan.Ilustrasi digital marketing. Foto: Shutter StockApakah mau dikenal sebagai sosok mapan, humoris, atau misterius, itulah positioning. Begitu pula merek, yang harus pintar mengatur citra supaya menancap di benak konsumen.Setelah itu, kita akrab dengan istilah "bauran pemasaran". Versi klasiknya hanya empat unsur: Product, Price, Place, Promotion. Namun, zaman berubah dan bisnis jasa makin ramai, maka ditambahkan People, Process, dan Physical Evidence. Ambil contoh sederhana: kopi sachet murah meriah. Produk yang ditawarkan hanyalah bubuk instan dengan kandungan gula dominan. Harganya pas di kantong mahasiswa yang dompetnya kempes akhir bulan. Tempatnya ada di mana-mana, dari warung kecil sampai minimarket. Promosinya kadang berupa iklan televisi dengan aktor keren yang sok meyakinkan bahwa kopi itu bisa membangkitkan semangat hidup. Kalau ditambah versi 7P, kita akan bicara siapa yang menyeduh, bagaimana prosesnya, dan bentuk kemasan yang membuatnya terlihat meyakinkan. Jadi jelas, pemasaran bukan sekadar poster diskon. Ia ibarat orkestra di mana setiap instrumen harus harmonis agar melodi produk terdengar merdu di telinga konsumen.Namun, bintang utama dari panggung pemasaran bukan teori, melainkan sebagai konsumen. Buku-buku bisnis gemar menulis kalimat “customer is king”. Namun, di dunia nyata, konsumen lebih mirip mantan kekasih: penuh kejutan, gampang berubah pikiran, dan selalu punya pilihan lain di luar sana. Hari ini, mereka rela antre berjam-jam untuk segelas boba, besok pindah ke kopi literan karena ada promo, lalu esoknya beralih ke infused water demi tren hidup sehat.Itulah mengapa perilaku konsumen menjadi bidang kajian tersendiri. Kita dipaksa memahami cara orang mengambil keputusan—kadang masuk akal, kadang tidak. Ilustrasi menyusun konsep digital marketing dalam bisnis. Foto: Shutter StockMengapa ada yang rela menghabiskan puluhan juta untuk gawai tertentu, padahal alternatif lebih murah ada? Karena konsumen tidak sekadar membeli fungsi, melainkan rasa gengsi, identitas, atau sekadar pengakuan sosial. Pada titik ini kita sadar, konsumen membeli bukan hanya produk, tetapi juga emosi yang melekat. Maka, pemasaran yang berhasil selalu membuat konsumen merasa tersentuh, bahkan terbawa perasaan.Perkembangan teknologi membuat cerita semakin seru. Dulu brosur kertas masih dianggap senjata promosi, sekarang lebih sering berakhir sebagai alas gorengan. Publik lebih percaya review YouTube, postingan Instagram, atau ocehan seleb TikTok. Inilah era pemasaran digital di mana satu rekomendasi bisa mengubah nasib produk. Contohnya lip balm murahan yang tiba-tiba jadi rebutan setelah dipuji influencer dengan tagline bombastis. Konsumen percaya lebih pada wajah asing di layar ponsel ketimbang iklan resmi di televisi.Namun, digital marketing bukan tanpa risiko. Salah tanggapan pada komentar pelanggan bisa jadi bumerang. Nama baik bisa runtuh hanya karena satu cuitan viral. Oleh karena itu, pemasaran digital tidak bisa hanya mengandalkan posting rutin atau endorse artis. Ia menuntut interaksi yang jujur, konsisten, dan membangun rasa percaya.Kalau semua konsep pemasaran diperas sampai ke sari intinya, kita akan menemukan dua kata kunci: nilai dan hubungan. Nilai artinya produk atau jasa harus benar-benar memberikan manfaat, entah memudahkan hidup, menambah kenyamanan, atau sekadar memberi status sosial. Tanpa itu, produk hanya menjadi benda mati di rak. Sedangkan, hubungan berarti konsumen tidak boleh dianggap sekadar transaksi sekali jalan. Mereka ingin diperhatikan, dihargai, bahkan diperlakukan istimewa. Dari sinilah muncul gagasan Customer Relationship Management. Dalam bahasa sederhana, hubungan dengan konsumen seharusnya bukan hubungan musiman ala PDKT singkat, melainkan kemitraan jangka panjang yang penuh kesetiaan.Ilustrasi digital marketing. Foto: Shutter StockMahasiswa magister tentu sudah kenyang dengan semua teori ini. Dari STP, mix marketing, perilaku konsumen, sampai CRM. Namun jangan lupa, semua teori hanyalah peta. Di lapangan, realitas bisa jauh lebih ruwet. Pasar bergerak liar, pesaing bermanuver tak terduga, dan konsumen membuat keputusan yang tidak selalu rasional. Karena itu, manajemen pemasaran sejatinya bukan sekadar menghafal definisi, melainkan keterampilan membaca situasi, manusia, dan perubahan zaman.Jika harus diringkas dalam satu kalimat, pemasaran adalah seni membuat orang jatuh cinta. Ia bukan sekadar soal angka penjualan, melainkan soal bagaimana membangun kedekatan emosional dengan manusia yang menjadi konsumen. Teori Kotler memberi kita kerangka berpikir, tetapi praktik sehari-hari—dari kopi sachet murah sampai tren TikTok—yang mengajarkan bahwa pemasaran pada akhirnya adalah tentang rasa. Dan rasa itulah yang sering kali menjadi alasan terbesar di balik keputusan membeli.Pada akhirnya, manajemen pemasaran adalah ilmu yang berdiri di antara logika bisnis dan drama manusia. Ia menuntut kita memahami angka sekaligus perasaan, grafik penjualan sekaligus kegelisahan konsumen. Pelajaran terpenting bukan sekadar menguasai definisi akademis, tetapi bagaimana menjadikan pemasaran sebagai cara untuk memahami manusia. Sebab konsumen—bagaimanapun juga—bukanlah angka di tabel laporan. Mereka adalah orang-orang dengan selera, emosi, dan keresahan. Dan tugas pemasaran adalah hadir di sana—memberikan sesuatu yang tidak hanya dibeli, tetapi juga dicintai.