Tanpa aturan yang jelas, pasar hewan Indonesia berisiko memicu pandemi berikutnya

Wait 5 sec.

● Pasar hewan liar di Indonesia berisiko memicu pandemi baru.● Sanitasi buruk dan perdagangan hewan zoonosis berisiko tinggi menjadi penyebabnya.● Untuk mencegah ledakan wabah, perlu deteksi dini, perbaikan sanitasi, hingga sistem mitigasi dari sekarang.Kendati pandemi COVID-19 sudah berlalu, ancaman wabah penyakit masih bisa muncul kapan saja, termasuk dari pasar hewan yang menjual satwa liar di Indonesia.Misalnya, Pasar Jatinegara di DKI Jakarta hingga Pasar Tomohon dan Langowan di Sulawesi Utara. Kawasan ini bisa menjadi “rumah” bagi penyebaran berbagai virus karena satwa liar adalah inang potensial bagi mereka. Layaknya dapur tempat berbagai bahan tercampur sebelum menjadi masakan, pasar menjadi laboratorium alami di mana virus-virus zoonosis baru bisa bermutasi dan “siap melompat” ke manusia. Pasar biang penularan penyakit dari hewanPandemi COVID-19 memberikan pelajaran penting mengenai peran pasar dalam penyebaran virus zoonosis baru.Penelitian (2021-2022) menunjukkan bahwa pusat awal penyebaran SARS-CoV-2 berasal dari Pasar Huanan di Wuhan, Cina—yang terkonsentrasi di area penjualan hewan liar hidup. Sampel lingkungan dari lokasi tersebut mengandung virus corona. Sampel juga memiliki DNA berbagai hewan liar yang diidentifikasi sebagai inang perantara potensial, seperti kelelawar, musang, dan anjing rakun.Penemuan dua garis keturunan virus yang berbeda (Lineage A dan B), juga menunjukkan bahwa virus menular dari hewan ke manusia lebih dari satu kali dalam kesempatan yang berbeda. Temuan ini menegaskan bahwa pasar—sebagai lokasi “titik temu” manusia, hewan, dan virus—sangat rentan melahirkan mutasi baru. Pasar merupakan area potensial bagi penularan penyakit zoonosis. Ancaman virus dari pasar hewan IndonesiaDi Pasar Tomohon dan Langowan, satwa liar (seperti ular, kelelawar, tikus hutan, babi hutan, dan biawak) diperjualbelikan, dan bahkan disembelih di tempat. Hewan-hewan liar yang dibawa ke pasar rentan mengalami stres berat, sehingga daya tahan tubuh mereka menurun. Akibatnya, hewan lebih mudah sakit dan virus dalam tubuh mereka meningkat. Studi di Vietnam (2020) mengungkap bahwa jumlah virus corona pada tikus sawah meningkat 10 kali lipat setelah tiba di pasar, dibandingkan saat masih berada di habitat alami mereka.Hal ini diperparah oleh kondisi sanitasi pasar hewan Indonesia yang jauh dari ideal. Misalnya, kelelawar, musang, dan ular ditumpuk dalam kandang sempit, sementara burung-burung liar bercampur dalam ruang terbatas. Darah dan urine hewan juga dibiarkan tergenang di lantai. Sementara ventilasi pasar buruk, alat pelindung diri (seperti masker atau sarung tangan) jarang digunakan oleh pedagang dan pelanggan.Sederet kondisi tersebut menciptakan lingkungan ideal bagi perkembangan virus baru. Butuh kolaborasi ilmuwan dan masyarakatMeski risikonya tinggi, penelitian soal potensi penyebaran virus akibat perdagangan satwa liar di Indonesia masih minim. Ketergantungan pada dana riset luar negeri merupakan salah satu tantangannya. Ketika Amerika Serikat menghentikan program DEEP VZN (yang mendanai penelitian patogen zoonosis di negara berkembang) pada 2023, banyak inisiatif lokal terhambat. Padahal, pemantauan dini sangat bergantung pada riset jangka panjang yang konsisten.Di lapangan, peneliti menghadapi tantangan lain dalam membangun kepercayaan. Banyak orang enggan diwawancarai atau diambil sampelnya karena khawatir dijadikan “kambing hitam”. Namun, pendekatan kolaboratif tetap memiliki harapan. Tim peneliti dari Universitas Sam Ratulangi, misalnya, berhasil bekerja sama dengan pemburu kelelawar dengan pendekatan humanis dan berbasis kepercayaan. Ini menunjukkan bahwa dengan komunikasi yang tepat, kolaborasi antara ilmuwan dan masyarakat bisa terjalin.Pentingnya deteksi dini dan perbaikan sanitasiAgar kejadian COVID-19 tidak terulang, kita tidak boleh membiarkan pasar hewan di Tanah Air beroperasi tanpa pengawasan dan perbaikan. Pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah di bawah ini.1. Bangun sistem deteksi diniTeknologi deteksi murah seperti polymerase chain reaction (PCR) dan loop-mediated isothermal amplification (LAMP) dapat digunakan di laboratorium lokal untuk mendeteksi puluhan jenis patogen sekaligus. Tes PCR juga bisa dilakukan di pasar secara berkala (1-2 kali setahun) untuk memantau risiko perkembangan patogen.Sementara itu, pengurutan genom langsung di lapangan kini bisa menggunakan alat portabel, seperti Oxford Nanopore—yang memberikan fleksibilitas tinggi dalam pengawasan patogen.Tak kalah penting, sistem deteksi dini berbasis komunitas perlu dibangun dengan melatih pedagang dan konsumen mengenali tanda-tanda awal wabah, seperti kematian hewan mendadak atau perilaku tak biasa. Mereka bisa menjadi alarm pertama bagi sistem kesehatan masyarakat.2. Batasi penjualan hewan berisiko tinggiPemerintah perlu membuat aturan berbasis sains dengan pendekatan one health, yang mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan sebagai suatu kesatuan yang saling terkait.Dalam hal ini, pemerintah perlu mengawasi kesehatan hewan dan manusia secara bersamaan, mengatur perdagangan hewan, rutin menguji sampel hewan, serta mengembangkan vaksin khusus untuk hewan. Baca juga: Pembabatan hutan picu penyakit: Pemerintah jangan abai Lewat regulasi perdagangan hewan, misalnya, spesies hewan yang terbukti sering membawa penyakit berbahaya ke manusia (seperti kelelawar, musang, tenggiling, dan anjing) bisa dibatasi atau bahkan dilarang untuk diperjualbelikan.Sementara itu, spesies dengan risiko rendah bisa tetap diperjualbelikan dengan sistem sertifikasi kesehatan yang ketat. Jenis hewan yang diperdagangkan pun harus didata dengan baik.Pemerintah bersama dinas kesehatan dan kepolisian setempat, kemudian bisa melakukan sidak berkala untuk memantau jenis hewan yang diperjualbelikan. 3. Wajib perbaiki sanitasi Risiko mutasi virus dapat dikurangi secara signifikan dengan memperbaiki sanitasi di pasar tradisional. Misalnya, pemerintah daerah bersama otoritas pasar menyediakan ventilasi yang baik, saluran pembuangan yang bersih, dan alat pelindung diri untuk pedagang. Bila perlu, bikin aturan tegas agar konsumen wajib menggunakan masker dan sarung tangan sebelum masuk ke pasar hewan.Hal tak kalah penting, tegakkan aturan soal pedagang wajib memerhatikan kebersihan dan kesejahteraan hewan di pasar.4. Teknologi surveilans terintegrasiKita perlu menyiapkan teknologi terbaru untuk memantau, mencegah wabah penyakit, serta menemukan pengobatan secara lebih cepat dan tepat. Caranya, dengan menggabungkan data biologis berskala besar (seperti gen, protein, dan cara kerja virus) lewat integrasi bioinformatika, big data, serta teknologi kecerdasan buatan (AI).Jika pandemi terjadi lagiPemerintah juga perlu mempersiapkan rencana mitigasi apabila wabah muncul dari pasar hewan di Tanah Air.Langkah penanganan harus dilakukan dengan cepat. Pemerintah daerah harus segera menutup pasar sumber wabah, melakukan sterilisasi total, hingga pelacakan kontak ke pembeli terakhir. Sampel lingkungan dan hewan harus dikumpulkan dan dianalisis untuk mengetahui jenis patogen dan potensi penyebarannya. Sementara itu, zona sekitar pasar perlu diberlakukan lockdown mikro. Agar masyarakat tidak panik, berikan informasi secara transparan dan lugas. Baca juga: Belajar dari Australia: Indonesia perlu serius mencegah penyebaran wabah penyakit menular Mencegah pandemi bukan hanya tugas pemerintah atau ilmuwan. Ini tanggung jawab kolektif yang dimulai dari kesadaran bersama.Bagaimanapun, kita tidak bisa terus-menerus berasumsi bahwa pandemi datang dari luar negeri. Karena wabah berikutnya bisa saja berasal dari pasar hewan, yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari rumah kita. Namun, seperti halnya rumah tahan gempa yang dibangun dengan struktur yang tepat, ketahanan terhadap wabah penyakit hanya bisa dicapai jika kita sudah membangun sistem sebelum krisis datang. Arif Nur Muhammad Ansori kini menerima Beasiswa dari Pemerintah Jepang (Monbukagakusho/MEXT) untuk menempuh pendidikan jenjang Doktor dalam bidang Ilmu Kedokteran di Graduate School of Medical Sciences, Kumamoto University, Jepang, serta melakukan penelitian di Division of Genomics and Transcriptomics, Joint Research Center for Human Retrovirus Infection, Kumamoto University, Jepang.Arli Aditya Parikesit terafiliasi dengan Indonesia International Institute for Life Sciences sebagai Professor of Bioinformatics Streaming. Pernah menerima Hibah Penelitian dasar dari Dirjen DIKTI mengenai pengembangan kandidat lead compounds bahan alam untuk SARS-CoV-2 dari tahun 2020 sampai 2022. Yudhi Nugraha terafiliasi dengan Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman. Yudhi Nugraha saat ini menerima pendanaan dari Kementerian Riset Italia untuk mengembangkan bidang biologi struktur menggunakan Cryo-EM di Universitas Pavia periode 2024-2025 dan RIIM Kompetisi Gelombang VII untuk penelitian Jembrana Virus Disease (2025-2026). Sebelumnya ia menerima pendanaan dari BBVA foundation untuk penelitian X-ray Crystallography di CNIO Madrid (2021-2023), dan Manbukagahusho Jepang (2015-2018)Ronny Soviandhi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.