Aji Mumpung Rangkap Jabatan Wamen dengan Komisaris BUMN

Wait 5 sec.

Sejumlah wakil menteri mengucapkan sumpah jabatan saat pelantikan wakil menteri Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10/2024). (ANTARA/Sigid Kurniawan/mrh/rwa)JAKARTA – Pemerintah dinilai memiliki political will yang buruk karena tetap menempatkan sejumlah wakil menteri di kursi komisaris walau ada larangan dari Mahkamah Konstitusi (MK).MK menegaskan wamen tidak boleh merangkap jabatan lain, termasuk komisaris atau direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengurus perusahaan swasta, maupun pimpinan organisasi yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Hal ini tertuang dalam putusan perkara Nomor 128/PUU-XXII/2025 yang dibacakan MK pada 28 Agustus silam.Namun baru dua pekan seusai putusan dibacakan, sejumlah wamen justru kembali ditempatkan di jajaran komisaris BUMN. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Telkom pada 16 September, tiga wamen resmi diangkat sebagai komisaris.Mereka adalah Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Angga Raka Prabowo yang ditunjuk sebagai Komisaris Utama Telkom, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala BPN Ossy Dermawan dan Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Silmy Karim yang masing-masing ditetapkan sebagai komisaris.Pemerintah, menurut pengamat, bisa dianggap telah mengangkangi konstitusi karena tidak segera melaksanakan putusan MK.Wamenkominfo Angga Raka menyapa wartawan setibanya di kediaman Presiden Terpilih Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Selasa (15/10/2024). (ANTARA/Fauzan/YU/aa)Political Will yang BurukDari berbagai sumber, saat ini sebanyak 31 wakil menteri memiliki jabatan lain di BUMN. Tak lama setelah penunjukkan tiga wamen sebagai komisaris di Telkom, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan hal ini tidak melanggar putusan MK.Ia berdalih ada waktu transisi selama dua tahun supaya pemerintah dapat menata kembali struktur pengelolaan BUMN secara bertahap. Apa yang dikatakan Prasetyo tidak salah. Dalam putusannya, MK memang memberikan waktu paling lama dua tahun kepada pemerintah untuk menyesuaikan struktur.Namun di mata pengamat, pemerintah dianggap aji mumpung dengan memanfaatkan waktu dua tahun. Alih-alih melakukan perbaikan, pemerintah justru dengan sengaja menempatkan wamen sampai habis waktu yang diberikan MK.Ketua Perhimpunan Pengacara Konstitusi, Viktor Santoso Tandiasa menilai langkah pemerintah menempatkan tiga wamen sebagai komisaris Telkom setelah keluar putusan larangan rangkap jabatan dari MK menunjukkan political will yang buruk.”Tampaknya political will dari pemerintah sangat buruk karena memanfaatkan celah dari apa yang dimaksud MK dalam memberikan waktu dua tahun bagi pemerintah untuk berbenah,” ujar Viktor, yang juga mengajukan gugatan uji materi Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam gugatannya, Viktor bersama pengemudi ojek online Didi Supandi meminta agar wakil menteri itu ditegaskan dalam amar putusan untuk dilarang sama seperti menteri tidak boleh merangkap jabatan, salah satunya sebagai Komisaris BUMN. Menurut dia, maksud MK memberi tenggat waktu supaya pemerintah segera melakukan perombakan jajaran komisaris yang dirangkap wamen melalui RUPS, bukan malah sebaliknya. Viktor menambahkan, lebih cepat pemerintah melakukan perbaikan, lebih baik dampaknya.”Sepertinya pemerintah malah sengaja menyalahartikan waktu dua tahun yang diberikan menjadi aji mumpung, malah dengan sengaja menempatkan wamen sampai habis waktu dua tahun yang diberikan MK. Ini tentunya sangat ironis dan menggambarkan mental pejabat,” tuturnya.Mengabaikan MeritrokrasiAkhir bulan lalu Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan dalam revisi UU BUMN yang saat ini bergulir di DPR, salah satu materinya adalah mengakomodasi putusan MK yang melarang rangkap jabatan wamen sebagai komisaris BUMN.Namun, pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengingatkan eksekusi putusan MK seharusnya tak perlu menunggu revisi UU BUMN. Herdiansyah menyebut, jika putusan MK tak segera dilaksanakan, pemerintah bisa dianggap telah membangkangi konstitusi. Selain itu, pemerintah juga bisa dikategorikan melanggar UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.”Kita paham Presiden punya otoritas penuh menunjuk menteri-menterinya, tapi Presiden juga tidak boleh, ya, mengelola negara ini seperti koboi, kan. Dia harus diikat oleh aturan-aturan. Nah, salah satunya, perintah keputusan MK. Kalau Mahkamah mengatakan bahwa rangkap jabatan yang dilarang juga berlaku bagi wakil menteri, artinya pemerintah harus konsekuen dengan perintah putusan MK,” ujarnya.Fenomena rangkap jabatan wamen, yang bahkan tetap dilakukan setelah putusan MK, menegaskan bahwa pengisian jabatan di BUMN kental dengan skema patronase sebagai imbalan atas dukungan politik.Ilustrasi sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi. MK menolak uji materi UU Kementerian Negara yang mengatur rangkap jabatan wakil menteri. (ANTARA/Bayu Pratama S)“Kalau mereka mendukung calon pemimpin atau kemudian memegang kekuasaan, itu ada imbalan materinya, dan salah satu imbalan materi yang diberikan adalah posisi di BUMN,” kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko.Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengingatkan, penunjukan komisaris yang didasari afiliasi politik tanpa mempertimbangkan kompetensi akan berujung pada kegagalan BUMN.”Ini meritokrasi rusak. Efeknya adalah demoralisasi dan turunnya produktivitas (karyawan). Siapa yang mau jadi direksi BUMN ke depan? Jenjang kariernya jadi putus karena yang makin pintar bekerja tetap akan kalah sama yang titipan bapak,” kata Bhima menjelaskan.