Seorang pelanggan menanti pesanannya di sebuah waralaba es krim asal China. Sejumlah waralaba es krim asal China kini kian diminati di Indonesia. (ANTARA/Xinhua)JAKARTA – Banyaknya gerai food and baverage (F&B) asal China yang mengepung Indonesia mengancam eksistensi usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM lokal.Masyarakat pasti menyadari, dalam beberapa tahun terakhir, gerai F&B asal Negeri Tirai Bambu begitu membanjiri Indonesia. Salah satunya adalah gerai minuman dan es krim Mixue yang begitu masif mengekspansi Indonesia.Saking masifnya pertumbuhan gerai Mixue, sampai ada candaan berbunyi “lihat ruko dikit, besoknya langsung jadi Mixue.”Mixue hadir di Indonesia sejak 2020. Meski dilanda pandemi COVID-19, Mixue melakukan membuka gerai di mana-mana di Indonesia.Sekarang ini jumlah gerai Mixue memang mengalami penurunan. Tapi ketiadaan gerai tersebut digantikan oleh gerai F&B China lainnya. Jenama-jenama seperti Heytea, Wedrink, dan yang teranyar Chagee terus bermunculan di pusat perbelanjaan atau pusat keramaian kota.Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyadari adanya ekspansi besar-besaran gerai F&B asal China bisa mematikan UMKM lokal.Bisnis Dalam Negeri China LesuGerai F&B China mulai membanjiri Indonesia sejak masa pandemi COVID-19. Di saat yang sama, UMKM sektor makanan dan minuman lokal justru terpukul.Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2019 jumlah UMKM makanan dan minuman mencapai 3,9 juta. Namun data yang sama setahun kemudian menunjukkan jumlah UMKM ini merosot hingga 1,51 juta.UMKM makanan dan minuman memang mulai merangkak naik, tapi jumlahnya belum menyentuh angka sebelum pandemi, baru mencapai 1,7 juta pada 2024.Momentum Works, lembaga riset asal Singapura, melaporkan bahwa sejak 2022 hingga pertengahan 2024, lebih dari 6.100 gerai F&B asal China beroperasi di Asia Tenggara.Sebanyak dua pertiga di antaranya, atau sekitar 4.000 gerai, berpusat di dua negara, yakni Indonesia dan Vietnam. Dengan kata lain, pasar Indonesia menjadi salah satu target utama ekspansi.Gerai teh Changee di Jakarta. (ANTARA/Xinhua)Langkah ekspansi ini bukan tanpa alasan. Persaingan bisnis F&B di dalam negeri China saat ini tengah lesu. Selama paruh pertama 2024 saja, lebih dari satu juta bisnis F&B di China tumbang. Angka ini melonjak 70 persen dibandingkan tahun sebelumnya.Selain itu, China juga dihadapkan pada tren perang harga antar pemain lokal seperti seperti Luckin Coffee, Cotti, dan afiliasi Mixue (Lucky Cup) yang turut memperparah situasi. Harga segelas kopi bahkan bisa dijual hanya 6,6 yuan atau setara Rp15 ribuan, jauh di bawah harga rata-rata pasar internasional.Di sisi lain, Asia Tenggara justru menawarkan peluang, di mana pertumbuhan ekonomi yang stabil, tingkat konsumsi yang terus naik, dan kompetisi pasar yang belum terlalu ketat.Kelas Menengah Jadi SasaranEkonom CELIOS Bhima Yudhistira menganggap pemerintah membuka pintu terlalu lebar bagi pebisnis asing, terutama setelah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada 2020.Menurut Bhima, perizinan bisnis di Indonesia secara keseluruhan sebenarnya masih rumit, namun untuk sektor F&B lebih longgar dibandingkan sektor usaha lainnya. Selain itu, masalah sertifikasi di Indonesia juga jauh lebih mudah ketimbang negara-negara tetangga, kata Bhima.Bhima menjabarkan bahwa untuk bisa berjualan di Indonesia, F&B lokal dan asing harus mengantongi sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)."Berlapis memang, tapi tidak terlalu rumit dibandingkan negara-negara lainnya yang sertifikasi kesehatannya saja bisa berlapis, dan biayanya jadi lebih mahal," ucap Bhima.Selain itu, kelas menengah di Indonesia juga menjadi salah satu daya tarik bagi investor asing. Jumlah kelas menengah di Indonesia memang merosot dari 57,33 juta pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024, menurut data BPS. Tapi secara kuantitas angka ini masih lebih banyak dibandingkan jumlah kelas menengah di negara tetangga."Kelas menengah itu kalau punya uang lebih, akan jajan di luar rumah. Inilah sasaran empuk pebisnis F&B asing," kata Bhima."Jumlah kelas menengah yang banyak ini seharusnya bisa jadi peluang untuk UMKM lokal, tapi tampaknya sekarang malah UMKM lokal bakal tergerus gelombang F&B asing, terutama dari China,” lanjutnya,” lanjutnya.Dampak GandaKetua Umum Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), Levita G. Supit melihat dua sisi masuknya pemain F&B dari China. Menurut Levita, fenomena ini membawa dampak ganda bagi pelaku lokal.Dari sisi positif, masuknya F&B China bisa mendorong pelaku lokal lebih inovatif. Namun di sisi lain, persaingan ketat justru bisa mematikan usaha kecil yang tak kuat bertahan."Pelaku usaha F&B lokal semakin kreatif terhadap produk mereka untuk menyaingi F&B China yang ada. Lalu pelaku usaha lokal dapat belajar dari kesuksesan bisnis F&B China termasuk produk-produk F&B unggulan China," ucap Levita.“Negatifnya adalah porsi market F&B jadi terbagi banyak, dengan semakin banyaknya kompetitor yang masuk, sehingga berakibat ada yang tidak bisa bertahan,” terang dia.Bhima Yudhistira dari CELIOS menjelaskan, situasi ini akan berbahaya jika UMKM mati sementara F&B asing merajai Indonesia. Keberadaan UMKM sangat penting untuk menghidupi masyarakat secara langsung. Uang dari hasil UMKM akan berputar di wilayah sekitar.Produk-produk buatan usaha kecil dan menengah (UKM) di Kota Malang, Jawa Timur. (ANTARA/Vicki Febrianto)"Pendapatnya diputar lagi untuk belanja bahan baku, menghidupi keluarga-keluarga yang ada di sekitar wilayah lokal," terangnya.Sementara pendapatan F&B China bakal langsung ditransfer ke negara asal."Itu punya implikasi besar terhadap devisa (negara) dan stabilitas nilai tukar (rupiah) dalam jangka panjang. Jadi UMKM mati, nilai tukar rupiah terancam," ucapnya.Kendati demikian, Levita menegaskan, banyaknya bisnis yang tutup di pasar lokal tidak semata-mata karena kehadiran F&B China."Banyak faktor yang menyebabkan banyak bisnis F&B yang tutup termasuk UMKM. Jadi bukan hanya dari serbuan F&B China saja," pungkasnya.