Suasana menara Air Traffic Controller (ATC) di Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (29/4/2025). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTOPemerintah menetapkan lima bandara baru sebagai bandara internasional pada awal 2025. Penetapan tersebut diharap tak hanya menjadi pamor suatu daerah melainkan harus dipastikan kesiapan terkait fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan untuk suatu bandara internasional.Sebelumnya, penetapan tersebut sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 26 Tahun 2025 dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 30 Tahun 2025. Pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengingatkan pentingnya monitoring secara berkala terkait status bandara-bandara tersebut.“Untuk memastikan bahwa status tersebut memang benar digunakan, bukan hanya sekadar status pamor sebuah daerah seperti yang terjadi sebelumnya. Status internasional juga merupakan beban pemerintah di mana customs, immigration and quarantine harus didanai oleh pemerintah,” kata Gerry kepada kumparan, Minggu (10/8).Dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 26 Tahun 2025 terdapat tiga bandara yang naik status yakni Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang; Bandar Udara H.A.S. Hanandjoeddin di Bangka Belitung; dan Bandar Udara Jenderal Ahmad Yani di Semarang.Sementara itu dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 30 Tahun 2025 ada dua bandara lagi yang naik status yakni Bandar Udara Syamsuddin Noor di Banjarmasin dan Bandar Udara Supadio di Pontianak.Gerry melihat tujuan dari naiknya status kelima bandara itu memang untuk pemulihan konektivitas internasional ke daerah-daerah itu. Meski demikian, ada hal yang menurutnya harus diperhatikan yakni adanya daerah-daerah yang sebelumnya memiliki bandara internasional, namun terkendala dengan lambatnya pemulihan konektivitas dan frekuensi penerbangan domestik, sehingga menyulitkan sektor pariwisata dan bisnis berkembang.“Dual sektor ini sangat tergantung dengan kemudahan akses cepat, khususnya di perjalanan bisnis atau pariwisata pendek misalnya city breaks untuk sektor pariwisata, karena pasar tersebut hilang untuk daerah-daerah yang kehilangan status internasional,” ujarnya.Ilustrasi Bandara Supadio Pontianak. Foto: Sony Herdiana/ShutterstockKetua umum Asosiasi Perusahaan Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) Alvin Lie menuturkan saat ini 90 persen penumpang asing masih masuk dan keluar melalui Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang dan Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali dari 17 bandara internasional yang ada sebelum penambahan. Hal ini menunjukkan adanya disparitas antara dua bandara tersebut dengan bandara-bandara internasional lainnya di Indonesia.“Menunjukkan bahwa keberadaan bandara-bandara internasional lainnya tidak efektif datangkan tamu asing karena daerah-daerah tidak promosikan potensi dan atraksi daerahnya di negara-negara yang dilayani penerbangan langsung ke bandara di daerahnya,” kata Alvin.Selain itu, Alvin melihat saat ini banyak bandara internasional di Indonesia yang justru tak optimal dalam mendatangkan tamu asing. Justru keberadaan bandara internasional masih banyak digunakan untuk memfasilitasi warga Indonesia yang ingin ke luar negeri.“Terutama ke Singapore dan Kuala Lumpur karena semua bandara ‘Internasional’ kita layani penerbangan ke sana. Bahkan kebanyakan bandara internasional hanya melayani rute ke Singapura & Kuala Lumpur saja. Hal ini menjadikan bandara-bandara kita hanya sebagai pengumpan bagi bandara Changi & KLIA,” ujar Alvin.Sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Lukman F. Laisa mengatakan bahwa penambahan ini bertujuan untuk memperkuat konektivitas nasional dan internasional guna mendorong pemerataan pembangunan serta pertumbuhan ekonomi daerah.Lukman menegaskan penetapan status internasional dilakukan berdasarkan kajian yang komprehensif, yang meliputi potensi dan proyeksi angkutan udara dalam dan luar negeri, target pertumbuhan rute internasional, sebaran geografis dan kedekatan dengan bandar udara internasional eksisting, keterkaitan antar dan intramoda transportasi, kesiapan fasilitas dan layanan pendukung seperti imigrasi, bea cukai, dan karantina, dan kelayakan teknis dan operasional sesuai standar keselamatan, keamanan, dan pelayanan penerbangan.Dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) berkomitmen melakukan pengawasan dan pendampingan terhadap bandar udara yang ditetapkan. Hal tersebut dilakukan agar operasional bandara tetap mengedepankan standar 3S1C yaitu safety, security, services, dan complianceNamun, penetapan status internasional bukanlah keputusan tetap yang bersifat mutlak. Ditjen Hubud akan terus melakukan evaluasi dan pengawasan secara berkala terhadap performa masing-masing bandar udara, termasuk volume lalu lintas penumpang dan kargo internasional, frekuensi penerbangan, serta kesiapan layanan pendukung.