Fenomena Duck Syndrome Sedang Menggerogoti Kesehatan Mental Generasi Muda

Wait 5 sec.

Ilustrasi fenomena duck syndrome. (Freepik)JAKARTA - Jangan menilai seseorang dari luarnya saja. Seseorang bisa saja terlihat tenang dan baik-baik saja, padahal di dalam dirinya sedang berjuang keras menghadapi tekanan mental dan emosional. Orang yang penuh semangat dan berprestasi ternyata bisa saja diam-diam mengalami duck syndrome.Istilah ini berasal dari gambaran seekor bebek yang tampak mengapung anggun di permukaan air, tapi di bawah permukaan, kakinya mengayuh cepat agar tidak tenggelam. Fenomena ini kini semakin banyak ditemui anak muda. Mereka ingin terlihat serba bisa, kuat, dan produktif. Sayangnya, di balik semua itu, banyak yang sebenarnya lelah dan kewalahan, namun tidak tahu cara mengatasinya.Anisa Yuliandri, S.Psi., M.Psi., Psikolog dari Career and Student Development Unit (CSDU) FEB UGM menjelaskan bahwa duck syndrome pertama kali digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Stanford University yang terlihat tenang tapi sebenarnya tertekan.Gambaran ini kini umum ditemui di berbagai kampus, termasuk di Indonesia. Mahasiswa berusaha memenuhi ekspektasi tinggi, baik dari diri sendiri maupun lingkungan. Mereka berjuang menjaga IPK, aktif di organisasi, magang, ikut lomba, hingga tetap eksis di media sosial."Banyak mahasiswa merasa harus ambil semua kesempatan karena takut tertinggal. Takut kalau tidak ikut ini-itu nanti dibilang malas, tidak kompetitif, tidak punya masa depan," kata Anisa, dikutip dari laman resmi Universitas Gadjah Mada.Menurut Anisa, berdasarkan Self-Determination Theory, manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar, yakni rasa kendali (autonomy), rasa mampu (competence), dan rasa terhubung (relatedness). Duck syndrome erat kaitannya dengan konsep ini, karena ketika pilihan hidup didorong oleh tekanan eksternal, keseimbangan psikologis akan terganggu.Budaya untuk selalu terlihat baik-baik saja membuat tak sedikit mahasiswa menekan atau menyembunyikan emosinya. Tak sedikit yang merasa tidak boleh terlihat lelah atau menyerah karena takut dianggap lemah. Inilah gejala awal dari duck syndrome."Padahal kita ini manusia biasa, punya batas. Tapi karena ingin mempertahankan citra sempurna, akhirnya semua dipendam sendiri," jelasnya.Menurut Anisa, media sosial ikut memperbesar tekanan tersebut. Beranda yang penuh pencapaian orang lain, mulai dari juara lomba, pengalaman magang, kelulusan cepat, hingga liburan. Hal ini bisa memunculkan rasa tertinggal."Dalam usaha untuk tidak kalah bersinar, mahasiswa sering kali memaksakan diri untuk terlihat produktif. Ini sesuai dengan Impression Management Theory. Seseorang cenderung mengatur dan mengendalikan citra diri agar terlihat kuat dan mampu, meski di balik layar sesungguhnya ia sedang sangat lelah," ujar Anisa.Masalahnya, duck syndrome ini sulit dikenali karena tidak terlihat jelas. Banyak yang menganggap lelah itu wajar demi sukses, padahal jika terus dipaksakan, risiko gangguan mental seperti kecemasan, insomnia, burnout, hingga depresi bisa meningkat.Kondisi ini juga menimbulkan disonansi kognitif, yakni konflik antara perasaan sebenarnya dan ekspresi luar. Akibatnya, seseorang bisa kehilangan koneksi dengan dirinya, sulit membedakan antara sibuk dan bahagia. Dalam jangka panjang, hubungan sosial ikut terdampak karena mulai menarik diri dan menghindari interaksi."Ada perasaan takut dihakimi atau dianggap gagal, padahal sebetulnya yang dibutuhkan hanya ruang untuk didengar," jelasnya.Anisa menyarankan mahasiswa mulai mengenali gejala duck syndrome dan mengambil langkah kecil untuk mengatasinya. Langkah pertama adalah jujur pada diri sendiri, mengakui bahwa rasa lelah bukan berarti lemah."Sikap jujur ini merupakan bentuk keberanian. It’s okay to not be okay. Kita tidak harus selalu produktif atau terlihat bahagia. Menerima semua, dan mengizinkan diri merasa sedih adalah bagian dari pemulihan,” tuturnya.Selain itu, mengelola ekspektasi juga penting. Tidak semua standar harus diikuti dan tidak semua peran harus diambil. Menolak tanggung jawab demi menjaga kesehatan mental adalah hal yang sah."Belajar mengatakan tidak tanpa rasa bersalah adalah keterampilan penting," tambah Anisa.Ia berharap mahasiswa berani terbuka dan mau bercerita, karena berbagi pada satu orang saja bisa sangat melegakan."Tidak perlu lagi kita berpura-pura kuat. Jika hari ini yang bisa kita perbuat atau lakukan hanyalah bertahan maka itu sudah cukup. Bertahan adalah bentuk keberanian." tutup Anisa.