Catatan 13 Asosiasi soal RUU Haji: Kuota Haji Khusus Harusnya Minimal 8 Persen

Wait 5 sec.

Ketua Umum Himpuh, Muhammad Firman Taufik (tengah), saat menyampaikan catatan dan usulan asosiasi penyelenggara haji dan umrah terkait RUU Haji dan Umrah, di Ballroom Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2025). Foto: Fadhil Pramudya/kumparanSebanyak 13 asosiasi penyelenggara haji dan umrah memberikan sejumlah catatan dan usulan mengenai Revisi Undang-Undang (RUU) Haji dan Umrah yang kini tengah dibahas di DPR.Asosiasi tersebut yakni Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri); Afiliasi Mandiri Penyelenggara Umrah dan Haji (AMPUH); Asosiasi Haji dan Umrah Republik Indonesia (Ashuri); Aliansi Pengusaha Haramain Seluruh Indonesia (Asphirasi); Aliansi Silaturahmi Penyelenggara Haji dan Umrah Azhari Indonesia (Asphuri).Kemudian, Asosiasi Penyelenggara Haji Umroh dan In-Bound Indonesia (Asphurindo); Asosiasi Tour & Travel Muslim Indonesia (ATTMI); Asosiasi Kebersamaan Pengusaha Travel Haji Umrah (Bersathu); Gabungan Perusahaan Haji dan Umrah Nusantara (Gaphura).Lalu, juga ada Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh), Kesatuan Tour Travel Haji Umrah Republik Indonesia (Kesthuri), Majelis Utama Travel Indonesia Arahan Haji dan Umrah (Mutiara Haji), dan Sarikat Penyelenggara Umroh & Haji Indonesia (Sapuhi).Ketua Umum Himpuh, Muhammad Firman Taufik, menyebut catatan pertama dari asosiasi adalah terkait kuota haji khusus yang mestinya minimal 8 persen, bukan maksimal 8 persen."Pertama adalah tentang adanya usulan kuota haji khusus menjadi minimal 8 persen, bukan maksimal 8 persen," kata Firman dalam konferensi pers, di Ballroom Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Rabu (13/8)."Jika nanti di undang-undang yang saat ini sedang masuk tahap perancangan dan akan direvisi, muncul kata pembagian kuota, alokasi kuota pada kami penyelenggara adalah menjadi maksimal 8 persen, maka batas maksimal itu akan menciptakan ketidakpastian bagi jemaah yang sudah mendaftar," jelas dia.Asosiasi menilai, kuota haji khusus merupakan solusi bagi sejumlah kalangan yang memiliki keterbatasan waktu dalam menunggu antrean."Haji khusus adalah solusi bagi jemaah lansia, jemaah yang sakit, atau memiliki keterbatasan waktu," ucap Firman."Dan kenyataannya juga kami mampu menyerap kuota tambahan yang sering tidak terserap, bahkan ditolak karena keterbatasan pemerintah," imbuhnya.Catatan kedua, kata dia, asosiasi penyelenggara haji dan umrah menolak legalisasi umrah mandiri. Sebab, lanjut Firman, hal itu justru merugikan umat.Menurut asosiasi, adanya legalisasi umrah mandiri akan berdampak pada lepasnya perlindungan jemaah, membuka celah penipuan dalam dan luar negeri, dan memberi peluang besar bagi marketplace asing untuk menguasai pasar jemaah Indonesia."Di mana seharusnya pemerintah menunjukkan pembelaannya kepada pelaku usaha dalam negeri dalam framing bela dan beli di Indonesia," papar Firman.Poin ketiga, Firman menyebut pemerintah mesti melibatkan asosiasi penyelenggara haji dan umrah sebagai mitra strategis.Ia memaparkan bahwa asosiasi merupakan mata dan telinga negara dalam menjaga kualitas layanan, akreditasi, dan perlindungan kepada jemaah di lapangan."Kami ini amat sering dipanggil untuk dengar pendapat, kemudian kami memberikan masukan terhadap perubahan undang-undang, memberikan masukan dan lain sebagainya, namun pada kenyataannya di undang-undang tidak bunyi sama sekali," ucap Firman."Jadi, untuk itu wajib diatur secara ekspliksit dalam undang-undang untuk memastikan sinergi dan kontrol bersama, sebagaimana diaturnya asosiasi pada industri lain di negeri," terangnya.Poin terakhir, asosiasi menginginkan adanya pengaturan atas peningkatan layanan dari haji reguler menuju haji khusus.Firman pun menceritakan kondisi seorang jemaah yang terdaftar sebagai jemaah haji reguler dan memiliki masa tunggu sekitar 10–20 tahun dan ingin berpindah layanan. Akan tetapi, lanjut dia, hal tersebut tidak bisa terjadi lantaran tidak diatur dalam regulasi."Jadi, upgrade ke layanan yang memberikan fasilitas dan kenyamanan yang lebih baik, yaitu ke para penyelenggara ibadah haji khusus ini. Namun, karena undang-undangnya, regulasinya tidak mengatur itu, maka hal tersebut tidak bisa terjadi," ujar Firman."Memberikan pilihan resmi bagi jemaah yang ingin meningkatkan layanan tanpa mengganggu sistem antrean reguler, itu adalah sikap kami," lanjut dia.Lebih lanjut, Firman yang mewakili asosiasi pun meminta agar pembuat kebijakan dapat bersinergi bersama asosiasi penyelenggara haji dan umrah."Pesan yang kami dapat sampaikan untuk publik dan pembuat kebijakan adalah melemahkan pelaku resmi, berarti mengorbankan jemaah, dan memutus rantai ekonomi umat," beber dia."Lindungi jemaah kita, perkuat penyelenggara resmi, dan pastikan keberkahan ibadah sejalan dengan kemandirian ekonomi bangsa," pungkasnya.