Ilustrasi menonton TV. Foto: Shutter StockLebih dari satu dekade telah berlalu sejak RUU Penyiaran masuk dalam Prolegnas, namun RUU ini masih tertahan di tahap pembahasan. Mandeknya proses legislasi ini patut menjadi perhatian serius, terutama saat platform digital global semakin mendominasi pola konsumsi konten, khususnya di kalangan generasi muda, yang secara signifikan melemahkan relevansi dan daya saing lembaga penyiaran konvensional dalam jangka panjang.Televisi terestrial (TV FTA) beroperasi dalam kerangka regulasi yang ketat. Menggunakan spektrum frekuensi milik publik, TV FTA wajib memiliki izin siaran, memenuhi standar isi siaran, dan berada di bawah pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).Sebaliknya, platform digital global seperti YouTube, TikTok dan Netflix, yang lazim disebut layanan over-the-top (OTT), tidak tunduk pada ketentuan hukum penyiaran Indonesia. Mereka umumnya tidak memiliki badan hukum lokal, tidak memerlukan izin operasional, serta tidak terikat pada standar isi siaran nasional. Padahal mereka menyasar audiens dan pasar iklan yang sama dengan TV FTA.Ketimpangan struktural ini bukan hanya menggerus persaingan usaha yang sehat, tetapi juga melemahkan fungsi TV FTA sebagai media layanan publik. Pada 2021, MNC Grup (RCTI dan INews) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan tujuan untuk memperluas definisi “penyiaran” dalam UU Penyiaran No.32/2002 agar mencakup layanan OTT seperti YouTube dan Netflix. Namun Mahkamah menolaknya dengan alasan layanan OTT memiliki karakteristik yang berbeda dari siaran linear dan sudah diatur melalui UU ITE.Ilustrasi Netflix. Foto: REUTERS/Dado RuvicMeskipun demikian, pelaku industri terus mendorong agar layanan OTT masuk dalam rezim regulasi penyiaran. Pertanyaannya: apakah langkah ini realistis?Sejumlah negara telah menempuh jalannya masing-masing. Uni Eropa menerapkan pendekatan ganda dalam mengatur platform digital. Digital Services Act (DSA) mewajibkan platform digital besar untuk transparan dalam moderasi konten, algoritma dan perlindungan pengguna, terutama anak.Sementara Audiovisual Media Services Directive (AVMSD) mengatur konten audiovisual, termasuk layanan video-on-demand (VOD) dengan mewajibkan minimal 30 persen katalognya berupa karya Eropa, serta menempatkannya secara menonjol di antarmuka pengguna. AVMSD tidak secara formal mengklasifikasikan OTT sebagai layanan penyiaran, tetapi mengakui peran mereka sebagai distributor audiovisual yang memiliki kewajiban publik untuk melestarikan keberagaman budaya.Di Inggris, Media Act 2024 memperluas kewenangan Ofcom untuk mengatur layanan VOD seperti Netflix, Disney+, dan Amazon Prime Video. Layanan ini kini wajib memenuhi standar konten yang setara dengan penyiaran publik, termasuk perlindungan terhadap anak dan konten berbahaya, serta memenuhi ketentuan aksesibilitas seperti subtitle, audio description, serta memastikan konten dari lembaga penyiaran publik seperti BBC iPlayer dan ITVX, mendapatkan prominensi pada perangkat televisi pintar atau perangkat streaming.Kanada melalui Online Streaming Act (Bill C-11) memperluas mandat Komisi Radio-Televisi dan Telekomunikasi Kanada (CRTC), dengan mewajibkan layanan streaming global yang meraup lebih dari C$25 juta per tahun di Kanada untuk menyumbang lima persen dari pendapatan domestik mereka. Dana ini akan digunakan untuk mendukung produksi konten lokal seperti berita, masyarakat adat, francophone, dan komunitas minoritas lainnya.Singapura menegakkan regulasi konten daring melalui kombinasi klasifikasi usia dan penerapan kode etis. IMDA memberlakukan sistem rating yang juga berlaku untuk layanan OTT dan VOD. Selain itu, amandemen Broadcasting Act 1994 dan penerapan Code of Practice for Online Safety (2023) memberikan kewenangan kepada IMDA untuk mewajibkan platform digital untuk membatasi konten berbahaya, melindungi anak-anak, dan menerapkan moderasi serta pelaporan secara transparan. Kegagalan memenuhi kode ini dapat mengakibatkan denda hingga S$1 juta.Contoh global menunjukkan bahwa regulasi konten berbasis platform dapat dijalankan tanpa harus menempatkan layanan OTT sepenuhnya ke dalam kerangka penyiaran konvensional. Indonesia dapat mempertimbangkan model hibrida, yang menggabungkan pengawasan ala penyiaran (seperti perlindungan konten dan aksesibilitas), mekanisme akuntabilitas platform (seperti transparansi algoritma dan moderasi), serta kontribusi fiskal yang adil (seperti kewajiban kompensasi kepada penerbit), untuk menghadirkan regulasi yang tepat guna dan kontekstual di era digital.Sebagai langkah konkret, Indonesia telah menerapkan PMK 48/PMK.03/2020, yang memberlakukan PPN atas layanan digital dan barang tidak berwujud dari luar negeri. Namun kewajiban pajak penghasilan badan bagi platform digital asing masih terbatas karena kendala yurisdiksi dan belum adanya skema permanen yang efektif.Secara global, model Two-Pillar Solution dari OECD dapat menjadi acuan. Dalam model ini, Pilar Satu (yang masih dalam negosiasi) bertujuan mengalokasikan hak pemajakan berdasarkan lokasi pengguna daripada kantor pusat, sementara Pilar Dua menerapkan pajak minimum global 15 persen untuk mencegah pengalihan laba oleh perusahaan multinasional. Dua pilar ini telah diadopsi oleh lebih dari 135 negara, dan mulai berlaku di beberapa yurisdiksi sejak 2024. Indonesia dapat memulainya melalui revisi PM 5/2020 dengan mewajibkan PSE Lingkup Privat untuk mendirikan badan hukum atau perwakilan tetap di Indonesia.Ilustrasi Menyalakan TV di Kamar Hotel Foto: ShutterstockLebih jauh, model ko-regulasi layak menjadi pendekatan progresif, di mana platform digital turut berbagi tanggung jawab dalam hal moderasi konten berbahaya, pendanaan literasi publik, dan transparansi algoritma. Pendekatan ini menegaskan bahwa regulasi seharusnya menumbuhkan kolaborasi, bukan kontrol semata. Prinsip semacam ini selaras dengan praktik terbaik global, seperti telah dilakukan oleh Uni Eropa yang mengadopsi prinsip ex-ante dalam DSA, dan AVMSD. Pendekatan ko-regulasi dapat menjadi fondasi penting dalam agenda kedaulatan informasi dan kedaulatan digital Indonesia.Tanpa regulasi visioner, lanskap media Indonesia berisiko berubah menjadi “supermarket universal” – di mana media lokal hanya berperan sebagai pemasok konten bagi platform global yang tidak terikat regulasi. Fenomena ini merupakan cerminan media imperialism, yakni dominasi media asing yang mengikis keragaman budaya dan mengerdilkan ruang inovasi lokal. Dalam situasi seperti itu, lembaga penyiaran nasional bisa kehilangan peran strategisnya, sementara ekosistem pers dan penyiaran tergerus oleh konten global tanpa proteksi.Tantangan sejati hari ini bukan lagi soal pergeseran dari analog ke digital, melainkan bagaimana membangun tata kelola platform digital yang efektif, menjamin distribusi konten yang adil, dan melindungi kepentingan publik. RUU Penyiaran tidak boleh terjebak hanya pada mekanisme perizinan dan ancaman sanksi; ia harus mampu merespons kompleksitas era platform secara adaptif dan inklusif. Pendekatan ko-regulasi layak dipertimbangkan sebagai kerangka pengaturan progresif yang melibatkan lintas pemangku kepentingan. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat memastikan industri media tetap adil, beragam, dan berkelanjutan di tengah realitas ekonomi digital yang penuh dinamika.