Eksklusif, CEO Indonesia Airlines Iskandar Kritisi Banyaknya Bandara Internasional di Indonesia

Wait 5 sec.

Potensi dunia aviasi masih banyak yang belum dioptimalkan, karena itulah kata CEO Indonesia Airlines Iskandar, mereka hadir mengisi ceruk yang ada. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Kebijakan pemerintah Indonesia yang membuka banyak bandara internasional dinilai kurang tepat oleh CEO Indonesia Airlines, Iskandar. Menurutnya, Indonesia cukup memiliki tiga bandara internasional saja. Jika kebijakan ini diterapkan, pertumbuhan penerbangan domestik justru akan terdorong.***Saat ini, Indonesia tercatat memiliki 22 bandara berstatus internasional. Sebelumnya, ada beberapa bandara yang diturunkan statusnya sehingga jumlahnya sempat menjadi 17. Namun, setelah evaluasi, jumlahnya kembali bertambah.Iskandar menganalogikan bandara internasional sebagai pintu gerbang. Baginya, untuk negara sebesar Indonesia, cukup tiga pintu gerbang utama bagi pesawat dari mancanegara, yakni Jakarta (Soekarno-Hatta), Medan (Kualanamu), dan Surabaya atau Bali (Juanda/Ngurah Rai). “Kalau ini diterapkan, 10 maskapai saja tidak cukup untuk mendistribusikan penumpang dari bandara internasional itu ke seluruh Indonesia,” ujarnya.Dari hitungan bisnis Iskandar, kebijakan memiliki banyak bandara internasional membuat industri penerbangan di Indonesia memiliki nilai tambah yang lebih sedikit dibandingkan jika jumlah bandara internasional dibatasi. Dengan pintu gerbang yang sedikit, kebutuhan penerbangan domestik akan meningkat. Dampak lainnya adalah penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. “Kalau pendaratan hanya di tiga bandara tadi, akan membuat bandara tersebut menyerap banyak tenaga kerja. Kebutuhan tenaga kerja di sektor aviasi ini sangat besar,” paparnya.Tak lama lagi, Indonesia Airlines akan mengudara. Saat ini, segala persiapan untuk penerbangan perdana masih dimatangkan. Iskandar bercerita banyak soal alasan dirinya terjun ke dunia aviasi, selain di sektor energi baru terbarukan dan pertanian yang lebih dulu ia geluti.Ia optimistis, meski saat ini sudah banyak maskapai yang eksis dan menguasai pasar penerbangan di Indonesia. “Kenapa harus takut dengan pemain lama? Pasarnya ada, dan potensi itulah yang akan kami gali. Selama ini orang kaya banyak, tapi ketersediaan kursi penerbangan kelas bisnis tidak banyak. Akhirnya, mereka mencari penerbangan luar negeri. Inilah yang akan kami tangkap,” ujarnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Meidianto saat berkunjung ke kantor VOI di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, 24 Juli 2025.CEO Indonesia Airlines Iskandar punya alasan saat mengkritisi pembukaan bandara Internasional yang begitu banyak di Indonesia. Ketika maskapai bisa langsung terbang ke sebuah daerah, benefit yang didapat Indonesia lebih sedikit. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Apa yang mendorong Anda masuk ke industri penerbangan, padahal sebelumnya dikenal aktif di sektor energi baru dan terbarukan?Semua ini berawal dari pandemi COVID-19 tahun 2020 lalu. Saat itu, saya dan partner di Singapura melakukan kajian dengan bantuan konsultan dari Inggris. Dari hasil studi tersebut, ternyata yang paling layak dan potensial untuk dikembangkan adalah energi baru terbarukan, aviasi, dan pertanian.Jadi, fokusnya pada tiga bidang itu?Ya. Indonesia ini negara yang luas, dengan kebutuhan energi yang sangat besar. Boleh saja Kementerian ESDM dan PLN mengklaim elektrifikasi sudah dilakukan lebih dari 90%, tapi faktanya masih banyak daerah, terutama yang terpencil, belum mendapatkan pasokan listrik selama 24 jam penuh.Lalu soal pertanian, banyak sawah dan perkebunan kita belum digarap maksimal. Kita masih bercocok tanam secara tradisional, bergantung pada iklim atau cuaca. Padahal, dengan ilmu dan teknologi pertanian, ketergantungan pada iklim bisa diatasi. Semangat presiden untuk swasembada pangan itu sudah bagus, bahkan seharusnya bisa direalisasikan sejak lama.Dalam bidang aviasi, ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Penerbangan adalah jawaban untuk transportasi cepat antar pulau, baik untuk penumpang maupun logistik. Posisi strategis Indonesia di antara dua benua dan dua samudera seharusnya membuat kita menjadi perantara utama penerbangan internasional. Namun, hal itu belum terjadi. Potensi dan peluang di sektor aviasi ini sangat besar, itulah mengapa kami hadir dengan Indonesia Airlines. Semoga kehadiran kami bisa memacu semangat dan meramaikan dunia penerbangan di tanah air.Kalau banyak yang masuk ke aviasi, persaingan akan semakin ketat?Saat ini eranya kolaborasi, bukan persaingan. Kita harus bersinergi dan berkolaborasi untuk mengembangkan dunia aviasi Indonesia.Apakah Anda memiliki pengalaman profesional atau akademik di bidang penerbangan sebelumnya, sehingga berani terjun?Menurut saya, ini adalah pola pikir yang kurang tepat. Banyak yang beranggapan bahwa masuk ke dunia pertanian harus punya latar belakang pertanian, masuk ke bidang energi harus punya latar belakang energi, dan masuk ke aviasi harus punya latar belakang penerbangan. Pemikiran seperti ini justru membuat kita sering tertinggal dari negara lain.Bisnis itu berbeda dengan bidang teknis. Saat bicara teknis, memang harus ada level kompetensi tertentu yang dikuasai oleh orang teknis. Namun, pemimpin dari keseluruhan harus memiliki visi bisnis ke depan—bagaimana membangun sebuah program dari nol hingga berhasil.Jadi, Anda tidak takut dengan kondisi tersebut?Coba bandingkan antara maskapai yang dipimpin oleh orang dengan latar belakang penerbangan dan yang tidak. Rata-rata maskapai yang maju justru dipimpin oleh orang yang tidak berasal dari latar belakang teknis penerbangan.Kapan momentum yang membuat Anda yakin terjun ke dunia aviasi?Momentumnya terjadi pada Agustus 2022, saat pandemi masih berlangsung. Waktu itu kami melihat industri aviasi memang belum pulih, namun prediksi kami menyatakan bahwa sektor ini akan bangkit dan tumbuh berkali-kali lipat dibanding sebelum pandemi. Dan benar saja, ritme perjalanan orang sudah berubah. Saat ini, secara global, pertumbuhan industri penerbangan sudah dua kali lipat dari sebelum pandemi.Anda membidik pasar menengah ke atas. Apa pertimbangannya?Tahun 1960–1970 adalah era keemasan penerbangan premium. Sekarang, pasar didominasi oleh LCC (low cost carrier) atau penerbangan murah. Menurut saya, LCC tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat. Bukan berarti mereka tidak mampu membeli tiket kelas bisnis, tetapi karena kelas bisnisnya yang tidak tersedia. Setelah kami cek, banyak masyarakat Indonesia—terutama yang bepergian jauh—lebih memilih kelas bisnis. Artinya, pasarnya ada untuk layanan premium.Jadi, tidak takut bersaing dengan pemain lama?Kenapa harus takut? Pasarnya ada, dan potensi itulah yang akan kami garap. Selama ini, jumlah orang kaya di Indonesia banyak, tapi ketersediaan kursi penerbangan kelas bisnis sedikit. Akhirnya, mereka mencari penerbangan luar negeri. Inilah peluang yang akan kami tangkap.Apa kelebihan yang akan Anda tawarkan kepada calon penumpang?Kami menawarkan konsep end to end service, yaitu konsep keramahtamahan Indonesia (hospitality) yang sudah lama ditinggalkan. Mulai dari proses pembelian tiket, kami sudah memberikan pelayanan terbaik. Karena itu, kami merekrut tenaga berpengalaman dari maskapai luar negeri.Kami ingin membentuk fondasi yang kuat di Indonesia Airlines, baik dari sisi operasional, keselamatan (safety), maupun keramahtamahan. Sebab, inilah kunci agar sebuah maskapai dapat tumbuh dan berkelanjutan.Meski sudah banyak maskapai yang sudah eksis saat ini,  CEO Indonesia Airlines Iskandar tak takut bersaing. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Melihat bandara internasional Soekarno Hatta saat ini, seperti apa posisinya jika disandingkan dengan negara tetangga?Setelah banyak berdiskusi dengan orang luar negeri, mereka sepakat bahwa seharusnya Bandara Soekarno-Hatta menjadi yang terbesar di Asia Pasifik. Namun, hal itu belum terjadi hingga saat ini. Inilah mimpi besar yang ingin kami wujudkan di masa depan. Sekarang, posisinya masih kalah jauh dari Bandara Changi dan Kuala Lumpur. Dari jumlah penumpang, memang Soekarno-Hatta lebih tinggi dibanding dua bandara tersebut. Namun, dari sisi pendapatan, kita tertinggal jauh.Bagaimana pengelolaan bandara kita?Sangat mungkin Bandara Soekarno-Hatta, Ngurah Rai, dan Bandara Bali Utara (yang sudah disetujui pembangunannya) menjadi yang terbesar di kawasan ini. Kami sudah melakukan kajian, dan angkanya tidak main-main: bisa mencapai 77 juta penumpang per tahun yang akan singgah di bandara kita.Minimal, jika setiap penumpang yang transit membeli segelas kopi dan camilan seharga Rp100 ribu, lalu dikalikan 77 juta orang, berapa besar nilainya. Belum lagi pajak 11% yang akan menjadi pemasukan negara. Potensi inilah yang ingin kami raih untuk menjadikan Indonesia sebagai yang terdepan.Anda optimis?Kita harus optimis. Lee Kuan Yew pada 1979, ketika ingin menata Bandara Changi, sempat ditertawakan dunia. Tapi sejak 1 Juli 1981, ketika Singapore Airlines pertama kali mendarat di Changi, barulah dunia mengakui. Semua itu karena mereka memiliki rencana dan bekerja sepenuh hati. Kita juga bisa seperti itu, bahkan lebih besar, karena kita punya segalanya di sini.Salah satu maskapai kita melakukan code-share dengan Singapore Airlines, bagaimana tanggapan Anda?Ini yang saya sayangkan. Seharusnya kita menjadi yang terbesar di Asia Pasifik, tapi malah menjadi feeder bagi pihak lain. Terminal 5 Changi sudah selesai studi sejak akhir tahun lalu, namun belum dipublikasikan sampai kesepakatan code-share itu terjadi. Mengapa? Karena mereka butuh penumpang dari Indonesia. Sampai kapan kita mau menjadi pihak yang hanya memperkaya orang lain?Apa yang harus dilakukan pemerintah atau pengelola bandara di Indonesia agar hub itu bisa pindah ke kita?Saya pernah menyampaikan ke pemerintahan sebelumnya bahwa Indonesia terlalu banyak membuka bandara internasional, dan ini tidak tepat. Terlalu banyak gerbang membuat kekuatan kita terpecah. Gerbang utama seharusnya hanya sedikit, sisanya adalah pintu dan jendela.Menurut pengamatan saya, Indonesia cukup memiliki tiga bandara internasional: Soekarno-Hatta, Medan, dan Surabaya atau Bali. Sisanya cukup bandara domestik. Kalau ini diterapkan, 10 maskapai pun tidak akan cukup untuk mendistribusikan penumpang dari tiga bandara internasional itu ke seluruh Indonesia.Akibatnya, saat ini justru maskapai negara lain yang mendapatkan banyak keuntungan. Contohnya Emirates yang menurunkan Airbus A-380 langsung ke Ngurah Rai—penerbangannya selalu penuh. Bandingkan dengan kita yang hanya menjadi tempat landing. Jika hanya tiga bandara internasional yang beroperasi, penyerapan tenaga kerja di sektor aviasi akan sangat besar.Rute mana yang diproyeksikan menjadi andalan atau flagship route Indonesia Airlines?Kami memang memiliki beberapa kota tujuan di luar negeri, dan itu bukan rute domestik bagi kami. Karena kami akan membuat in-direct ke tujuan internasional. Misalnya, untuk rute Hong Kong, kami akan membuat penerbangan langsung dari Jakarta, dan sebagian in-direct dari kota lain. Hal yang sama untuk tujuan Australia dan Eropa. Kota mana saja yang akan menjadi tujuan, dan layanan apa yang akan diberikan, akan kami umumkan saat soft launching dalam waktu dekat.Dengan banyaknya maskapai mapan di Indonesia dan kawasan, bagaimana strategi Anda menghadapi persaingan?Banyak bisnis yang gagal karena sudah takut duluan dengan kompetitor. Sebagai pendatang baru, kita harus hadir dengan sesuatu yang unik, menarik, dan spesifik. Selanjutnya, kita membangun base market sendiri yang juga baru.Yang saya pelajari, jika maskapai saat ini hanya berfokus pada penjualan tiket, tiket itu akan sulit laku. Di Indonesia Airlines, kami akan membuat terobosan yang akan dijelaskan secara gamblang saat soft launching.Target penjualan tiket Anda berapa besar?Dengan terobosan ini, sejak awal kami yakin okupansi minimal di atas 80% sejak penerbangan perdana.Dari mana Anda mendapatkan angka tersebut?Ini berdasarkan studi dan analisis pasar yang kami lakukan. Kami yakin ada daya beli yang cukup di pasar Indonesia, Australia, Asia, dan Eropa, yang akan menjadi target utama kami.Kalau dirangkum, apa saja selling point maskapai Anda ini?Kami punya tagline: The World Festive Icon. Kami akan menjadi ikon festival dunia dari Indonesia.Untuk mewujudkan semua itu, apakah Anda akan menjalin aliansi dengan mitra global maupun di Indonesia?Untuk aliansi, kami sedang menjajaki kerja sama dengan maskapai dunia dari Australia, Eropa, dan Asia. Mereka sudah mempelajari program kami dan, alhamdulillah, tertarik. Mereka menawarkan konsep strategic partnership dan juga code-share dengan Indonesia Airlines.Tanda tanya besarnya adalah: mengapa orang luar cepat tertarik? Bukan karena Indonesia Airlines yang seksi, tapi karena bisnis aviasi di Indonesia dan dunia ini yang sangat seksi—dan potensi ini belum dimaksimalkan sebelumnya.Untuk mendirikan perusahaan aviasi ini, berapa besar modal awal yang disiapkan?Sejak awal kami bukan hanya mengembangkan maskapai, tapi industri aviasi. Di dalamnya mencakup penerbangan, pabrikasi, rantai pasok (supply chain), dan pengembangan SDM. Inilah yang akan digarap oleh holding ini. Total keseluruhan dana yang disepakati adalah 12 miliar Euro untuk pengembangan industri aviasi ini.Jika semua sesuai rencana, kapan estimasi BEP?Untuk maskapai, dari studi kelayakan diperkirakan 4,8 tahun bisa mencapai BEP.Bagaimana dengan perizinan di Indonesia? Apakah semua sudah beres atau masih ada yang dalam proses?Ini yang perlu saya klarifikasi terkait perizinan. Yang kami ketahui, Indonesia memiliki sistem perizinan berjenjang. Saat kami mengembangkan sektor energi, ada perizinan yang harus dikeluarkan oleh beberapa instansi; Kementerian Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup, BPN, dan ESDM. Begitu juga di aviasi, AOC (Air Operator Certificate) adalah nilai akhir dari rangkaian jenjang perizinan.Alhamdulillah, kami sudah mendapatkan izin penerbangan berjadwal dan tidak berjadwal, baik domestik maupun internasional. Dari izin yang sudah ada, tinggal diverifikasi oleh Kementerian Perhubungan. Akhir Juli semoga sudah selesai, dan pertengahan Agustus diharapkan AOC rampung.Bagaimana kesiapan untuk terbang perdana?Untuk tahap awal, kami menyiapkan 7 armada. Saya sudah melakukan penjajakan ke Boeing dan Airbus. Kami tetap komit pada langkah yang sudah ditetapkan, meskipun ada yang bilang 3 pesawat saja sudah cukup untuk beroperasi. Namun kami tidak mau terburu-buru.Ada reciprocal tarif dari Donald Trump, apakah ini mengganggu rencana Anda?Kami memang lebih condong ke Airbus, namun tidak menutup kemungkinan dengan Boeing. Bahkan kami bisa mendapatkan beberapa pesawat berbadan lebar dari Boeing.Holding perusahaan Anda didirikan di Singapura, bagaimana dengan Indonesia Airlines?Indonesia Airlines adalah perusahaan yang terdaftar di Indonesia, kepemilikannya oleh Calypte Holding Pte. Ltd. yang terdaftar di Singapura. Mengapa didirikan di Singapura? Karena pusat investasi, teknologi, dan perdagangan di kawasan ini saat ini ada di sana. Namun seluruh proyek dan program dalam bidang energi baru terbarukan, pertanian, dan aviasi dikembangkan di Indonesia. Investasi dicari di Singapura, tapi dijalankan di Indonesia.Anda menggunakan nama Indonesia Airlines. Bagaimana perusahaan akan memastikan komitmen nasionalisme dan kontribusi terhadap industri aviasi nasional?Ini sering ditanyakan kepada saya. Yang paling berhak menggunakan nama Indonesia Airlines itu adalah orang Aceh. Karena sejarah penerbangan kita dimulai dari RI 001 Seulawah yang disumbang rakyat Aceh — cikal bakal penerbangan komersial Indonesia — bukan Garuda Indonesia yang ada sekarang. Saat beroperasi, RI 001 itu untung. Dari keuntungan itu bisa membeli pesawat RI 007 dan RI 009, serta menghasilkan banyak pilot. Jadi sejarahnya berbeda dengan Garuda Indonesia.Nama Indonesia Airlines terdengar mirip dengan Indonesian Airlines yang dulu eksis sekitar tahun 1999–2003. Bagaimana Anda menanggapi potensi sengketa nama ini?Saat ini tim legal kami di Singapura dan Indonesia sedang memproses hal ini. Ada juga opsi untuk menggunakan nama lain selain Indonesia Airlines. Jawabannya akan kami umumkan saat soft launching nanti.Untuk nama lain, apakah bisa dibocorkan?Kami tetap akan menggunakan unsur dan khazanah Indonesia, sesuai tujuan untuk mengangkat potensi Indonesia di pentas dunia. Mimpi besar saya lewat perusahaan aviasi ini adalah membuat branding Indonesia lebih bergema di dunia, karena sekarang kita kalah dengan Singapura dan Malaysia. Padahal kita punya banyak keunggulan yang bisa dipromosikan.Tadi Anda sudah bilang target Break Even Point atau BEP 4,8 tahun. Lalu apa target atau milestone 5 tahun pertama Indonesia Airlines?Fokus kami bukan hanya penjualan tiket dan penerbangan pesawat. Kami menangani industri aviasi secara menyeluruh. Kami akan memadukannya dengan beberapa program lain seperti pariwisata, showbiz, hiburan, perdagangan, dan pengembangan SDM. Sebab, jika hanya fokus pada penerbangan saja, 10 tahun pun belum tentu bisa BEP.Dunia sedang tidak baik-baik saja sekarang. Apa strategi menghadapi fluktuasi harga avtur dan risiko geopolitik internasional?Pertanyaannya, apakah pernah dunia ini baik-baik saja? Tidak pernah, selalu ada gejolak di berbagai kawasan. Kita harus cermat melihat peluang dan berbuat sesuatu. Kalau kita menunggu dunia baik-baik saja, itu tidak akan pernah terjadi. Kita harus membaca situasi, menciptakan peluang, dan mengubahnya menjadi hasil. Yang penting konsisten dengan yang sudah direncanakan. Insya Allah akan berhasil.-=-= human interest -=-=-= Kisah Perjalanan Iskandar yang Pernah DicibirBanyak berjalan membuat Iskandar bisa melihat kekayaan wisata di Indonesia. Potensi ini kata Iskandar belum dioptimalkan. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Tiap daerah di Indonesia, bagi Iskandar yang juga CEO Indonesia Airlines, memiliki keindahan alam yang unik. Saat berkesempatan menyambangi suatu daerah untuk urusan pekerjaan, ia selalu menyempatkan diri mengunjungi objek wisata yang ada di sana. Dari perjalanan itu, ia membagikan ceritanya ke media sosial.Sembari melakoni pekerjaan, ia juga mengunjungi tempat wisata. “Objek wisatanya saya eksplorasi — ada pantai, gunung, sabana, kuliner, dan sebagainya. Setelah itu saya unggah di media sosial. Ternyata tak semua memberikan jempol, ada juga yang mencibir saat melihat postingan saya itu: ‘Kerja atau jalan-jalan?’” katanya menirukan cibiran warganet.Dari perjalanan tersebut, Iskandar menyimpulkan bahwa potensi pariwisata Indonesia sangat besar, hanya saja belum dikelola secara maksimal. “Kalau dikelola dengan baik, ini akan menjadi sumber pendapatan yang tak ada habisnya,” ujar pria kelahiran Bireuen, Aceh, 7 April 1983.“Kita masih belum punya biaya, manajemen yang mumpuni untuk mengelolanya juga belum ada, dan teknologi masih terbatas. Jadi keindahan alam kita belum bisa dimaksimalkan, belum menjadi objek wisata yang bisa diandalkan,” tambahnya.Desa Wisata yang digalakkan pemerintah saat ini, menurut Iskandar, adalah contoh bagus untuk memaksimalkan potensi yang ada. “Syukur kita punya program Desa Wisata. Kalau ini bisa dieksplorasi dan dikembangkan lagi, potensinya luar biasa. Dari Sabang sampai Merauke banyak sekali,” katanya. Amat BerkesanCaptionIskandar senang mengamati budaya dan kebiasaan penduduk di daerah wisata yang dikunjunginya.“Sejak dulu saya senang mengamati kebiasaan, pola interaksi, dan bagaimana mereka beradaptasi dengan sesuatu yang baru,” ujarnya.Saat berkunjung ke negara-negara maju, ceritanya lain lagi. Ia kagum dengan masyarakat yang amat disiplin.“Kok bisa mereka disiplin dan teratur sekali hidupnya? Apa bisa bangsa Indonesia seperti itu?” tukasnya.Padahal, lanjutnya, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.“Islam itu kan mengajarkan kedisiplinan, tata tertib, etika, dan akhlak. Ternyata kita sering mengabaikan hal-hal yang fundamental ini,” keluh Iskandar. Berani HijrahSesuai dengan studi yang dilakukan CEO Indonesia Airlines Iskandar opitimis mereka akan BEP dalam 4,8 Tahun. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Sebelum terjun ke dunia bisnis, Iskandar adalah seorang karyawan. Setelah menyelesaikan studi di Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, ia bekerja di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias pasca-tsunami. Lalu pindah ke PLN hingga 2009, kemudian beralih ke perbankan dan asuransi sampai 2015.Diakuinya, bukan perkara mudah untuk akhirnya berhenti menjadi karyawan dan sepenuhnya terjun sebagai pebisnis energi baru terbarukan.“Hijrah yang saya lakukan ini tidak ringan. Saya harus berjuang dari nol sebagai seorang entrepreneur,” katanya.Ia amat terkesan dengan salah satu pepatah Batak yang menginspirasi:“Sebesar apa pun yang kita lakukan di kampung sendiri, tetap akan dianggap kecil. Beda kalau merantau lalu berkarya dan membuat sesuatu — sekecil apa pun itu — maka akan dianggap besar. Jadi jangan takut untuk memulai,” sarannya.Bagaimana dengan bayangan gagal? “Gagal itu biasa, tak perlu ditakutkan. Yang penting kita harus punya perencanaan matang, konsisten, dan yakin. Kalau itu yang kita pegang, pasti akan ada hasilnya,” ujar Iskandar yang berprinsip tak perlu banyak rencana — sedikit saja, yang penting terealisasi.Dari setiap tempat yang disinggahinya, Iskandar belajar. “Saya lahir di Aceh, lalu tumbuh dan berkembang di Jakarta. Kemudian hijrah ke Singapura. Sekarang bolak-balik Jakarta–Singapura. Saya banyak bertemu orang, di sanalah saya belajar dan terus belajar,” ungkap Iskandar, yang sejak remaja senang berkorespondensi sebagai sahabat pena.Kini usahanya berkembang, dari energi baru terbarukan merambah ke bidang pertanian dan aviasi. Jalan yang harus dilalui masih panjang, namun Iskandar yakin dengan tujuan yang ingin ia capai. Ia ingin berhasil dalam bisnis yang dirintisnya.