Perang AI, PBB Ingin Adanya Standar yang Lindungi Negara Miskin

Wait 5 sec.

Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). (pixabay)JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meluncurkan strategi agresif dengan regulasi rendah yang bertujuan untuk memastikan Amerika tetap unggul dari China dalam hal artificial intelligence (AI).Hal ini pun berpotensi membuat pengembangan AI secara cepat, yang bisa menyebabkan dampak negatif bagi manusia. Kepala International Telecommunications Union (ITU) PBB, Doreen Bogdan-Martin, mengatakan dia berharap AI benar-benar dapat bermanfaat bagi umat manusia.Namun, seiring meningkatnya kekhawatiran atas risiko yang ditimbulkan oleh teknologi yang berkembang pesat ini, termasuk kekhawatiran akan hilangnya lapangan kerja massal, penyebaran deepfake dan disinformasi, serta memburuknya tatanan masyarakat, dia menegaskan diperlukan regulasi untuk mengatasinya."Ada urgensi untuk mencoba mendapatkan kerangka kerja yang tepat," ujarnya seperti dilansir dari CMNP.Di antara lebih dari 90 proposal, Trump menyerukan deregulasi menyeluruh untuk menghapus birokrasi dan regulasi yang memberatkan pengembangan AI di sektor swasta.Hanya saja, Bogdan-Martin masih menolak memberikan komentar tentang potensi teknologi AI ini mendorong pengurangan pekerjaan, bukan peningkatan. "Saya pikir ada berbagai pendekatan," ujarnya"Kita punya pendekatan Uni Eropa. Kita punya pendekatan China. Sekarang kita melihat pendekatan AS. Saya pikir yang dibutuhkan adalah pendekatan-pendekatan tersebut untuk berdialog," tambahnya.Pada saat yang sama, ia menekankan bahwa 85% negara di dunia ini belum memiliki kebijakan atau strategi AI. "Menurut saya perdebatan di tingkat global masih perlu dilakukan untuk mencari tahu seberapa banyak regulasi, seberapa sedikit regulasi yang dibutuhkan," ujarnya.Ketika negara-negara dan perusahaan berlomba-lomba untuk memperkuat dominasi mereka di sektor yang sedang berkembang pesat ini, muncul kekhawatiran bahwa tindakan pencegahan dapat membuat mereka kalah dalam persaingan, atau yang tidak memiliki kapasitas untuk berpartisipasi akan tertinggal.Meski demikian, ada risiko bahwa AI akan berakhir dengan "meningkatkan ketimpangan". Hal itu merujuk pada kesenjangan pada negara-negara miskin yang sampai saat ini belum memiliki akses ke internet."Kita memiliki 2,6 miliar orang yang tidak memiliki akses ke internet, yang berarti mereka tidak memiliki akses ke kecerdasan buatan," tegas Bogdan-Martin."Kita harus mengatasi kesenjangan tersebut jika kita benar-benar ingin memiliki sesuatu yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia," tambahnya.