Seorang pekerja mengamplas kerajinan rotan yang akan dijual di Sentra Rotan Grogol, Jakarta Timur, Selasa (28/11/2023). (ANTARA/Nadia Putri Rahmani/wpa/foc)JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) dilaporkan ke dua lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena angka pertumbuhan yang dipublikasikan tidak sesuai realitas di lapangan. Data tersebut berpotensi merugikan masyarakat.Adalah lembaga riset yang berbasis di Jakarta, Center of Economic and Law Studies (CELIOS), yang mengirimkan surat kepada Unites Nations Statistic Division (UNDS) dan United Nations Statistical Commision pada Jumat (8/8/2025).Surat dari lembaga riset yang fokus dengan isu ekonomi itu, terkait permintaan untuk mengaudit data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (5/8/2025). CELIOS menilai data pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh BPS menimbulkan indikasi adanya perbedaan dengan kondisi riil perekonomian Indonesia.“Surat yang dikirimkan ke PBB memuat permintaan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi pada triwulan ke-II 2025 yang sebesar 5,12 persen year-on-year (yoy),” kata Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, dalam keterangan resmi.Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) RI Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan sambutan di sela pengukuhan Kepala BPS Kepri di Gedung Daerah, Tanjungpinang, Jumat (23/5/2025) malam. (ANTARA/Ogen)Sementara itu, Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS Media Wahyudi Askar menuturkan, sebagai lembaga pemerintah yang tunduk pada standar statistik internasional, BPS seharusnya bebas dari kepentingan politik, transparan, dan menjaga integritas data.Oleh karena itu, CELIOS berharap UNSD dan UN Statistical Commission segera melakukan investigasi teknis atas metode penghitungan PDB Indonesia, khususnya Triwulan II 2025.BPS Harus TransparanPada awal Agustus lalu, BPS merilis data yang menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia selama April-Juni sebesar 5,12 persen. Angka tersebut naik dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 4,87 persen.CELIOS mencatat sejumlah kejanggalan dalam laporan BPS soal pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II. Salah satu anomali yang disoroti lembaga riset ini adalah, tidak ada momen yang bisa menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi selama April-Juli lalu.Secara historis, menurut data CELIOS, pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada kuartal yang bertepatan dengan Ramadhan dan Idulfitri, yang mana pada tahun ini jatuh di periode Januari-Maret 2025. Pada momen tersebut pertumbuhan ekonomi tergerek peningkatan konsumsi rumah tangga berkat tunjangan hari raya atau THR.CELIOS menduga adanya kemungkinan inkonsistensi dan ketidakakuratan data pendapatan domestik bruto (PDB) yang diklaim BPS tumbuh 5,12 persen pada kuartal kedua 2025.Bhima Yudhistira mendesak BPS untuk menjelaskan metodologi dan indikator yang mereka gunakan. Hal ini perlu dilakukan supaya kepercayaan investor, baik di dalam maupun luar negeri, tidak anjlok.Melalui surat yang dilayangkan, CELIOS meminta dua badan statistik di bawah PBB itu mengaudit data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang dirilis BPS. Permintaan itu, menurut Bhima Yudhistira, penting untuk menjaga kredibilitas data BPS yang kerap digunakan pengusaha, peneliti, dan masyarakat secara umum."PBB seharusnya datang dan mengecek, bertemu BPS dan pemerintah untuk menginvestigasi. Harapan kami, agar BPS transparan," kata Bhima kepada VOI.Kelas Menengah Kena LagiAnomali pada data pertumbuhan ekonomi BPS, kata Bhima Yudhistira, bisa berdampak besar, terutama pada masyarakat. Efek langsung bagi masyarakat bisa berupa pemangkasan bantuan sosial (bansos) dan subsidi energi, seperti bahan bakar minyak atau gas elpiji."Kalau pemerintah gunakan data BPS yang tidak akurat, pertumbuhan ekonomi dipersepsikan baik. Bansos berkurang dengan alasan ekonomi menguat padahal masih banyak masyarakat menengah dan miskin yang butuh bantuan pemerintah," ujar Bhima.Dampak lainnya dari data pertumbuhan ekonomi yang tidak akurat adalah adanya potensi dilanjutkannya efisiensi anggaran dan berisiko melemahkan ekonomi daerah.Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga bisa menjadi korban akibat data tersebut karena salah memprediksi. Kepercayaan pelaku usaha terhadap data BPS bisa mendorong mereka melakukan ekspansi dengan mengajukan pinjaman untuk pembelian bahan baku berlebih dan mesin baru, padahal fakta di lapangan permintaan lemah.“Akibatnya bisa gagal bayar atau kredit macet,” ia menambahkan.Masyarakat antre untuk mencari pekerjaan di bursa kerja (job fair) tahap kedua tahun 2025 di GOR Ciracas, Jakarta Timur, Senin (19/5/2025). (ANTARA/Siti Nurhaliza)Dalam jangka panjang, anomali data itu dinilai akan memengaruhi kepercayaan investor terhadap iklim investasi di Indonesia."Ini [data BPS] kan berkaitan dengan rating utang kita. Pertumbuhan ekonomi dan industri kan salah satu pertimbangan rating utang. Kalau ada data yang harus direvisi, itu akan berdampak pada trust," terang Bhima.Kelompok ekonomi kelas menengah lagi-lagi menjadi kelompok yang tertekan dengan pertumbuhan ekonomi 5,12 persen. Mereka dipersepsikan dapat menanggung beban pajak yang lebih besar."Pemerintah berasumsi masyarakat sekarang harus didorong kepatuhan dan peningkatan pajaknya. Akhirnya ini akan membuat persepsi yang salah. Justru masyarakat sekarang harus dikasih keringanan pajak," tandasnya.Asian Develoment Bank pada April lalu menyatakan kelas menengah merupakan tulang punggung pendorong perekonomian Indonesia, namun jumlahnya terus menurun sejak 2019. Badan Pusat Statistik mencatat kelas menengah mencapai 57,33 juta pada 2019, tapi turun menjadi 47,85 juta pada 2024.