Rezim Epithumia

Wait 5 sec.

Ilustrasi Rezim Epithumia. Dibuat oleh AIDalam filsafat Plato, epithumia merujuk pada bagian jiwa yang tidak rasional, yang terutama terkait dengan nafsu dan keinginan akan kesenangan fisik. Bagian ini merupakan salah satu dari tiga komponen utama jiwa, berdampingan dengan akal budi atau rasio (logos) dan segala yang berkaitan dengan emosi, semangat, keberanian, dan harga diri (thumos).Epithumia sering digambarkan sebagai makhluk berkepala banyak, yang melambangkan sifatnya yang tidak pernah puas, serta sulit dikendalikan. Secara khusus, epithumia berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan dorongan fisik dasar, seperti rasa lapar, dahaga, dan nafsu seksual. Plato meyakini bahwa jika bagian ini dibiarkan tanpa pengendalian, ia dapat menjadi sangat rakus dan menyebabkan seseorang hanya mengejar kesenangan sesaat, tanpa memperoleh pemenuhan sejati dalam hidupnya. Gambaran makhluk berkepala banyak tersebut menegaskan bagaimana nafsu ini bisa bersifat liar dan berpotensi merusak.Pada konsep teori jiwa tiga bagian dari Plato, logos berperan penting sebagai pengatur dan pengendali epithumia serta thumos, dengan tujuan menciptakan kehidupan yang harmonis dan berbudi luhur.Sementara epithumia berkaitan dengan keinginan fisik dasar, thumos merepresentasikan emosi seperti kemarahan dan ambisi; keduanya adalah aspek jiwa yang tidak rasional yang harus diarahkan oleh logos, agar tidak berlebihan dan merugikan diri sendiri maupun komunitas.Plato berpendapat bahwa hanya satu dari makhluk-makhluk ini yang bisa menjadi tuan, sementara sisanya adalah budaknya. Namun, bagi kebanyakan orang, epithumia justru menjadi tuan itu sendiri.Dalam situasi ini, seseorang menggunakan seluruh kecerdasan, dorongan, kegigihan, dan keberaniannya hanya untuk memuaskan bagian dirinya yang paling tidak cerdas—hasrat yang acak dan buta dari epithumia.Simbolisme makhluk berkepala banyak ini mengingatkan kita pada mitos hydra, di mana jika satu kepala dipenggal, dua kepala lainnya akan tumbuh menggantikannya. Hal ini menggambarkan hasrat yang membara dan tidak terarah, yang tak pernah benar-benar terpuaskan dan terus tumbuh tanpa henti.Sayangnya, Indonesia hari ini, dengan segala kompleksitas politiknya, menampilkan gejala-gejala yang mengkhawatirkan dari dominasi epithumia dalam penyelenggaraan negara.Manifestasi Epithumia dalam OligakriIlustrasi Plato. Foto: Dok. NYPL Digital CollectionsKonsep epithumia Plato menemukan manifestasi konkretnya pada oligarki yang berkembang di Indonesia. Ketika epithumia—bagian jiwa yang tidak rasional dan rakus akan kesenangan materi—menjadi “tuan” yang menguasai individu, maka lahirlah perilaku oligarkis yang mengutamakan akumulasi kekayaan dan kekuasaan tanpa batas.Oligarki pada dasarnya adalah institusionalisasi dari dominasi epithumia dalam skala sosial-politik. Seorang oligark yang “mengendalikan dan menguasai sebagian besar sumber daya material”, menunjukkan bagaimana nafsu akan kekayaan telah mengalahkan logos sebagai pengatur kehidupan bernegara.Oligark menggunakan “seluruh kecerdasan, dorongan, kegigihan, dan keberanian” bukan untuk kebaikan bersama, melainkan untuk “memuaskan bagian dirinya yang paling tidak cerdas”, yakni hasrat materialistis yang buta.Data yang dirilis oleh Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) telah menunjukkan ketimpangan kekayaan yang ekstrem di Indonesia: harta empat orang terkaya setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Empat orang tersebut memiliki kekayaan sebesar USD 25 miliar (sekitar Rp333,8 triliun), sedangkan total kekayaan 100 juta penduduk miskin hanya mencapai USD 24 miliar (sekitar Rp 320,3 triliun).Disparitas tersebut bukan sekadar masalah distribusi kekayaan, tetapi juga berdampak langsung pada distribusi kekuasaan, karena kekayaan merupakan sumber daya politik yang sangat kuat dan fleksibel. Inilah yang menjadi inti dari oligarki.Di sini, kekayaan bukan hanya sumber daya ekonomi, namun dapat juga digunakan sebagai instrumen politik yang fleksibel, yang bisa dipakai untuk membeli pengaruh, membentuk kebijakan, dan membungkam perlawanan.Epithumia, melalui oligarki, tidak mengenal kata cukup. Setiap kebijakan yang memotong satu privilege, akan melahirkan dua privilege baru melalui lobi, regulasi, atau kooptasi. Yang ironis, instrumen-instrumen negara seperti parlemen, eksekutif, bahkan aparat penegak hukum, yang sering kali berperan sebagai pembela keadilan, justru menjadi pengawal setia bagi sang tuan epithumia.Seperti hydra yang kepala-kepalanya terus bertumbuh, hasrat oligark untuk mengakumulasi kekayaan dan mempertahankan “posisi sosial yang eksklusif” tidak pernah benar-benar terpuaskan. Semakin banyak kekayaan yang dikuasai, semakin besar juga nafsu untuk menguasai lebih banyak lagi.Dominasi epithumia, melalui sistem oligarki, menciptakan kondisi di mana kepentingan publik dikorbankan demi kepentingan akumulasi kekayaan.Logos yang seharusnya mengatur kehidupan bernegara akhirnya dikalahkan, sehingga negara tidak lagi dikelola dengan kebijaksanaan, melainkan dengan logika akumulasi dan konsetrasi kekayaan material kepada individu.Akibatnya, dominasi oligarki menciptakan kesenjangan yang semakin tajam antara kelompok kaya yang memiliki akses terhadap kekayaan, dan mayoritas masyarakat yang kurang beruntung, sehingga memperkuat pola ketimpangan sosial dan hambatan terhadap mobilitas sosial.Manifestasi Epithumia pada Elite PolitikIlustrasi manajemen keuangan keluarga. Foto: Nugroho Sejati/kumparanSelain termanifestasi dalam tubuh oligark, elite politik nasional juga ikut tersandera oleh dominasi epithumia dalam ranah kekuasaan. Dominasi epithumia di kalangan elite politik menemukan bentuk konkretnya pada praktik perburuan rente (rent-seeking).Perburuan rente terjadi ketika kekuasaan politik digunakan bukan untuk menciptakan nilai ekonomi baru, melainkan untuk memperoleh keuntungan ekonomi secara instan melalui akses eksklusif terhadap kebijakan, izin, monopoli, atau sumber daya publik.Dalam logika epithumia, jabatan publik menjadi instrumen untuk mengamankan privilege ekonomi, bukan sebagai amanah untuk mengelola kepentingan rakyat. Elite politik yang terlibat dalam perburuan rente cenderung mengarahkan proses legislasi, kebijakan fiskal, atau regulasi sektoral, demi memastikan aliran keuntungan menuju lingkaran kekuasaan mereka.Mekanisme ini sering beroperasi melalui kontrak pengadaan yang direkayasa, pemberian konsesi sumber daya alam kepada pihak tertentu, atau pengaturan tarif dan pajak yang menguntungkan kelompok tertentu.Situasi ini menggerus daya saing nasional, karena sumber daya dialokasikan berdasarkan kedekatan politik, bukan efisiensi atau produktivitas.Setiap kebijakan yang berhasil menghapus satu bentuk perburuan rente, sering kali diikuti kemunculan bentuk-bentuk baru yang lebih tersembunyi, baik melalui lobbying, jaringan kroni, maupun pemanfaatan celah hukum.Praktik ini, pada akhirnya, mengubah negara menjadi arena privat, di mana logos politik kepentingan bersama dikalahkan oleh hasrat materialistik yang rakus dan tidak terkendali.Korupsi sebagai Budaya EpithumiaKorupsi, dalam konteks Plato, adalah manifestasi paling gamblang dari kemenangan epithumia atas logos. Ketika para penyelenggara negara lebih memprioritaskan pengumpulan kekayaan pribadi daripada pelayanan publik, maka rasionalitas dalam pengambilan kebijakan menjadi terdistorsi.Proyek-proyek pembangunan tidak lagi dipilih berdasarkan urgensi kebutuhan masyarakat, melainkan berdasarkan potensi keuntungan yang dapat diperoleh elite.Budaya “setoran” dalam birokrasi, mark-up anggaran yang sistematis, dan praktik suap dalam tender proyek, mencerminkan bagaimana epithumia telah menginfeksi seluruh sistem administrasi negara.Yang lebih mengkhawatirkan, praktik-praktik ini telah dinormalisasi sedemikian rupa hingga dianggap sebagai bagian dari “permainan politik” yang wajar.Degradasi Logos dalam Kebijakan PublikLogos, yang seharusnya menjadi sentral dalam kebijakan publik, dalam rezim epithumia, mengalami degradasi. Setidaknya, terdapat dua hal dalam konteks ini.Pertama, akibat degradasi logos, muncul kondisi anti-intelektualisme. Salah satu ciri rezim epithumia adalah marginalisasi peran intelektual dan ahli dalam proses pengambilan keputusan.Di Indonesia, fenomena ini terlihat dalam kecenderungan mengabaikan kajian akademis, riset empiris, dan saran para pakar dalam merumuskan kebijakan.Keputusan politik seringkali diambil berdasarkan pertimbangan popularitas atau kepentingan sesaat, bukan analisis rasional terhadap dampak jangka panjang bagi rakyat.Kasus pembatasan aktivitas organisasi masyarakat sipil, intimidasi terhadap akademisi kritis, dan penyederhanaan isu-isu kompleks menjadi slogan-slogan populer, telah menunjukkan bagaimana rezim epithumia merasa terancam oleh kekuatan logos yang dapat mengekspos ketidak-rasionalan kebijakan-kebijakannya.Kedua, munculnya pragmatisme tanpa prinsip. Dalam republik ideal Plato, kebijaksanaan (sophia) dan keadilan (dikaiosyne) harus menjadi panduan utama dalam pemerintahan. Namun demikian, dalam rezim epithumia, justru pragmatisme politik mengabaikan prinsip-prinsip fundamental menjadi norma.Koalisi politik dibentuk dan dibubarkan semata-mata berdasarkan kalkulasi kekuasaan, tanpa mempertimbangkan kesamaan visi atau platform ideologis.Fenomena “pindah partai” yang masif menjelang pemilu, politik transaksional dalam rekrutmen calon, dan kompromi-kompromi yang mengkhianati janji kampanye, menunjukkan bagaimana epithumia telah mengikis fondasi moral politik Indonesia.Dampak Sistemik Rezim EpithumiaIlustrasi politik identitas. Foto: Shutter StockSelain mengakibatkan degradasi logos dalam kebijakan publik, rezim epithumia juga melahirkan dampak sistemik dan menyasar pada beberapa hal berikut.Pertama, dominasi epithumia dalam penyelenggaraan negara pada akhirnya menimbulkan krisis legitimasi. Ketika rakyat menyadari bahwa para penguasa lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum, maka kontrak sosial antara negara dan warga negara mulai mengalami erosi.Skeptisisme terhadap institusi politik, apati politik di kalangan generasi muda, dan polarisasi sosial yang menguat adalah gejala-gejala dari krisis legitimasi ini.Kedua, rezim epithumia secara inheren menghasilkan ketimpangan struktural, oleh karena sumber daya negara dialokasikan berdasarkan kedekatan dengan pusat kekuasaan, bukan berdasarkan kebutuhan objektif masyarakat.Elite politik dan ekonomi yang berada dalam lingkaran kekuasaan menikmati akses istimewa terhadap kesempatan dan fasilitas, sementara mayoritas rakyat menjadi terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan.Selain itu, dalam situasi keterpinggiran rakyat tersebut, rezim epithumia memanfaatkan situasi ini melalui populisme konsumeris, yang mengeksploitasi hasrat massa akan kemudahan dan kesenangan instan.Program-program pemerintah seringkali dikemas dalam bentuk bantuan langsung tunai, subsidi, atau kemudahan-kemudahan yang bersifat konsumtif, alih-alih investasi jangka panjang dalam pendidikan, infrastruktur produktif, atau pengembangan kapasitas masyarakat.Ketiga, terjadinya degradasi institusi, di mana institusi-institusi negara yang seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan (checks and balances) mengalami degradasi fungsi dalam rezim epithumia.Lembaga legislatif yang seharusnya mengawasi eksekutif justru terlibat dalam praktik kolusi. Sistem peradilan yang seharusnya menegakkan keadilan justru terpolitisasi dan dapat dibeli. Sedangkan media massa yang seharusnya menjadi watchdog demokrasi terjerembab dan dikuasai oleh oligarki.Jalan Keluar: Kembali kepada LogosSetidaknya, dari uraian yang telah disampaikan tersebut, terdapat tawaran sebagai jalan keluar dari situasi rezim epithumia.Pertama, untuk mengatasi dominasi epithumia, diperlukan revitalisasi sistem pendidikan yang mengutamakan pengembangan kemampuan berpikir kritis dan etika publik.Pendidikan tidak boleh hanya diorientasikan pada penciptaan tenaga kerja yang siap pakai, tetapi juga pada pembentukan karakter warga negara yang memiliki integritas dan komitmen terhadap kepentingan umum.Kedua, perlunya penguatan institusi deliberatif, di mana demokrasi tidak boleh tereduksi menjadi sekadar mekanisme elektoral yang dapat dimanipulasi oleh oligarki dan elite politik.Untuk itu, perlu penciptaan ruang-ruang deliberatif di mana warga negara dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan.Forum-forum diskusi publik, konsultasi kebijakan yang terbuka, dan mekanisme partisipasi yang lebih inklusif, dapat menjadi antidot terhadap politik transaksional yang didominasi epithumia.Terakhir, perlu adanya suatu perbaikan fundamental terhadap sistem politik yang memungkinkan kemenangan logos atas epithumia.Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan sistem kepartaian yang mengutamakan ideologi dan program daripada kepentingan elite, perbaikan sistem pemilu yang mengurangi biaya politik dan ketergantungan pada donatur besar, serta penguatan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.Pada akhirnya, rezim epithumia di Indonesia bukanlah sekadar fenomena politik sesaat, melainkan cermin dari krisis logos dalam permasalahan kebangsaan kita.Ketika nafsu terhadap kekayaan dan kekuasaan mengalahkan komitmen terhadap keadilan dan kebijaksanaan, maka republik yang dicita-citakan para founding fathers kita akan semakin jauh dari kenyataan.Kritik terhadap rezim epithumia ini bukanlah pesimisme yang destruktif, melainkan panggilan untuk kembali kepada nilai-nilai mendasar yang harus menjadi panduan penyelenggaraan negara.Sebagaimana keadilan dalam negara mencerminkan keadilan dalam jiwa individu, maka transformasi politik Indonesia harus dimulai dari transformasi akal budi setiap warga negaranya.Hanya dengan menundukkan epithumia, termasuk thumos di bawah kendali logos, Indonesia bisa optimis mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya: sebuah republik yang adil, makmur, dan bermartabat bagi seluruh rakyatnya.Tugas ini memerlukan keberanian untuk mengkritik, kebijaksanaan untuk memahami, dan komitmen untuk bertindak, demi kepentingan yang lebih tinggi dari sekadar nafsu kekuasaan dan kekayaan semata.