Xi Jinping Isyaratkan Akhir Perang Harga di China, Tekanan Deflasi Jadi Sorotan

Wait 5 sec.

Presiden China Xi Jinping melambaikan tangan saat tiba untuk kunjungan kenegaraan selama dua hari, di Bandara Internasional Noi Bai, Hanoi, Vietnam, Senin (14/4/2025). Foto: Athit Perawongmetha/REUTERSSetelah bertahun-tahun dihantui ancaman deflasi dan perang harga yang melumpuhkan berbagai sektor industri, Pemerintahan China yang dipimpin Presiden Xi Jinping mulai menunjukkan perubahan sikap.Mengutip Bloomberg, Sabtu (12/7), dalam beberapa pekan terakhir, pemerintahan Xi mengisyaratkan niat untuk mengendalikan perang harga yang merugikan pelaku usaha di berbagai sektor, mulai dari baja, panel surya, hingga kendaraan listrik.Perubahan arah kebijakan ini muncul di tengah tekanan deflasi yang berlangsung selama hampir tiga tahun berturut-turut, ditambah meningkatnya tensi dagang dengan Amerika Serikat (AS).Pemerintah China tampaknya semakin menyadari bahwa kelebihan kapasitas industri bukan hanya menjadi masalah domestik, tetapi juga menjadi sumber gesekan dengan mitra dagang global.“Kalau dijalankan dengan tepat, ini bisa membantu perdagangan global, khususnya dalam meredakan ketegangan akibat kelebihan kapasitas produksi China yang membanjiri pasar dunia,” ujar Kepala Strategi Ekuitas Asia dan China di JPMorgan Chase & Co, Wendy Liu.“Namun dalam jangka pendek, kebijakan ini tidak ramah terhadap pertumbuhan ekonomi atau lapangan kerja, jadi ini adalah ujian keseimbangan," lanjut dia.Data terbaru menunjukkan tekanan deflasi di tingkat produsen masih berlanjut hingga bulan Juni 2025. Indeks harga produsen (PPI) China tercatat turun 3,6 persen secara tahunan, ini menjadi penurunan terdalam sejak Juli 2023 dan lebih buruk dari perkiraan para ekonom.Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Jiangsu, China, Minggu (18/5/2025). Foto: Stringer/AFPKondisi ini memperkuat urgensi reformasi. Dalam pertemuan terbaru badan tertinggi Partai Komunis yang mengatur kebijakan ekonomi, pemerintah mulai secara terbuka mengakui akar masalahnya mulai dari dorongan pemerintah daerah untuk menggenjot investasi hingga sistem pajak yang mendorong produksi massal, bukan efisiensi.Meskipun tidak secara eksplisit menyebut “deflasi”, yang selama ini menjadi topik tabu di Beijing, pernyataan tersebut dianggap sebagai sinyal paling kuat pemerintah ingin mengakhiri “kompetisi tidak sehat” dan perang harga, khususnya di sektor kendaraan listrik.“Pernyataan ini merupakan sinyal terkuat sejauh ini bahwa para pembuat kebijakan di China berencana mengatasi persaingan tidak teratur dan perang harga di sektor seperti otomotif,” kata Duncan Wrigley, Kepala Ekonom China di Pantheon Macroeconomics.Pantheon juga mencatat tidak adanya penyebutan asosiasi industri yang selama ini gagal menahan produksi melalui regulasi sendiri menunjukkan kemungkinan pendekatan baru yang lebih terpusat dari pemerintah pusat.Model Pertumbuhan China Mulai DirevisiBeberapa perusahaan mulai merespons dengan merencanakan pemangkasan produksi. Harga baja tulangan, produk penting untuk konstruksi, telah jatuh ke level terendah sejak 2017. Harga kaca juga mendekati titik terendah dalam sembilan tahun terakhir.Bank Sentral China (PBOC), untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, menyebut “harga yang terus berada di level rendah” sebagai tantangan utama ekonomi.Pada Mei lalu, lembaga tersebut juga menerbitkan analisis tekanan harga yang menyoroti keterbatasan pelonggaran moneter dalam mendorong pertumbuhan jika model ekonomi tetap berat di sisi investasi dan produksi.Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi Tiongkok (MIIT) pun menggelar pertemuan dengan perusahaan panel surya. Lebih dari 30 perusahaan konstruksi menandatangani inisiatif “anti-involution” atau istilah yang merujuk pada kompetisi ekstrem akibat kelebihan pasokan.Pemerintah juga meluncurkan platform pengaduan terkait keterlambatan pembayaran supplier, sebagai bagian dari upaya membersihkan praktik bisnis yang tidak adil.Ilustrasi pabrik di China. Foto: Quality Stock Arts/ShutterstockNamun, belum adanya kebijakan konkret membuat ekspektasi pasar masih tertahan. Sejumlah ekonom memperkirakan pemerintah akan menempuh kembali jalur reformasi pasokan seperti pada periode 2015–2017, ketika China memangkas kapasitas industri berat seperti baja dan batubara secara agresif, serta mendorong program relokasi warga untuk pembelian rumah baru (shantytown redevelopment).Meski pendekatan serupa berhasil menstabilkan harga komoditas dan menopang penjualan rumah, tantangan saat ini dinilai lebih kompleks. Permintaan domestik masih lesu, prospek ekspor memburuk, dan sektor yang paling terdampak perang harga seperti kendaraan listrik yang banyak didominasi oleh perusahaan swasta, yang lebih sulit dikendalikan oleh pemerintah pusat.Sikap pemerintah daerah juga berpotensi menjadi penghambat. Kekhawatiran bakal meningkatnya pengangguran membuat mereka cenderung mempertahankan perusahaan yang tidak menguntungkan demi menjaga stabilitas sosial.Pada reformasi sebelumnya, antara tahun 2016 hingga 2019, China kehilangan sekitar 31 persen tenaga kerja di sektor baja, semen, kaca, dan batubara. Untuk meredam dampaknya, pemerintah pusat saat itu mengalokasikan dana CNY 100 miliar untuk program pelatihan dan penempatan ulang pekerja yang terkena PHK.Di sisi lain, meski ingin meredam tekanan harga, Beijing juga bertekad memperkuat basis industrinya dalam menghadapi tekanan dari Presiden AS Donald Trump yang terus mendorong relokasi manufaktur kembali ke AS.Pabrik Honda di China pekerjakan robot dan gunakan teknologi AI untuk produksi mobil listrik. Foto: HondaBloomberg melaporkan, China tengah mempertimbangkan versi baru dari program “Made in 2025” untuk meningkatkan produksi barang teknologi tinggi.Menurut Citigroup Inc., langkah kebijakan yang mungkin diambil mencakup pemangkasan kapasitas di sektor yang didominasi BUMN seperti baja, batubara, dan semen. Di sisi lain, pemerintah bisa memperketat penerapan standar lingkungan, ketenagakerjaan, dan kualitas di sektor swasta.Pengurangan subsidi industri dan penghapusan insentif pajak ekspor, seperti yang telah dilakukan pada produk aluminium, tembaga, dan baterai di akhir 2024, juga bisa kembali diterapkan.Pemerintah juga akan terus menindak praktik bisnis yang merugikan mitra usaha, seperti keterlambatan pembayaran. Sejak Maret 2025 lalu, aturan baru mewajibkan pembayaran supplier maksimal dalam 60 hari, dan sejumlah produsen otomotif telah berkomitmen untuk mematuhinya.Analis HSBC menilai kebijakan sisi permintaan sama pentingnya. Pemerintah didorong untuk memperkuat jaring pengaman sosial, menstabilkan lapangan kerja, dan mendukung pemulihan sektor properti.Spekulasi pertemuan tingkat tinggi akan digelar minggu depan untuk menyelamatkan sektor properti telah memicu lonjakan harga saham perusahaan properti China, yang mencatat kenaikan harian terbesar dalam sembilan bulan terakhir.Namun untuk menciptakan perubahan jangka panjang, para ekonom menilai China perlu melakukan reformasi struktural terhadap model pertumbuhannya, yang selama ini bertumpu pada investasi dan ekspansi produksi.Morgan Stanley menyarankan agar indikator evaluasi pejabat daerah tidak lagi hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mencakup pertumbuhan konsumsi dan pendapatan.Untuk saat ini, sinyal perubahan dari Beijing memang lebih kuat dari sebelumnya. Tapi tanpa kebijakan yang konkret dan mekanisme pelaksanaan yang jelas, hasilnya masih sulit diprediksi.“Nada kebijakan lebih tegas, niatnya lebih jelas,” tulis para ekonom Morgan Stanley yang dipimpin Robin Xing dalam laporan mereka.