Ilustrasi foto wanita menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Foto: siam.pukkato/ShutterstockKasus femisida masih menjadi masalah serius di berbagai belahan negara, termasuk Indonesia. Ini merupakan pembunuhan terhadap perempuan, menjadi bentuk paling ekstrim dari kekerasan berbasis gender.Menurut laporan femisida 2024 bertajuk “Menelusuri Kekerasan Berlapis: Ruang Aman Diabaikan, nyawa Perempuan Dikorbankan” yang dirilis oleh Jakarta Feminist, kasus femisida yang masih banyak terjadi. Mirisnya, kasus ini berawal dari hubungan kasih sayang.209 Perempuan Hilang Nyawa di Tahun 2024Ilustrasi foto perempuan. Foto: Chinnapong/ShutterstockData dalam laporan tersebut mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, sebanyak 209 perempuan menjadi korban femisida di Indonesia. Jika dirata-ratakan, maka setiap dua hari sekali, ada satu perempuan dibunuh.Ini bukan sekadar angka statistik, tetapi cerminan dari kegagalan dalam melindungi perempuan dari kekerasan yang mematikan.Kasus Femisida Berawal dari KDRT atau Kekerasan dalam PacaranIlustrasi perempuan sedang termenung. Foto: Tinnakorn jorruang/ShutterstockLadies, laporan tersebut juga mengungkap bahwa 43 persen dari kasus femisida berakar dari kekerasan dalam hubungan kasih sayang, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan dalam pacaran. Hubungan yang seharusnya dibangun atas dasar cinta dan kepercayaan justru menjadi ruang kekerasan yang pada akhirnya merenggut nyawa perempuan.Lebih mengkhawatirkan, angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang mencatat 37 persen. Artinya, kekerasan dalam relasi pribadi kian menjadi jalur menuju femisida.Rumah Bukan Lagi Tempat yang Aman Bagi PerempuanIlustrasi perempuan ketakutan. Foto: HTWE/ShutterstockSalah satu temuan yang paling memilukan dari laporan tersebut adalah bahwa lebih dari setengah kasus femisida, tepatnya 53 persen terjadi di sekitar area rumah korban. Tempat yang seharusnya menjadi ruang paling aman, justru menjadi lokasi paling mematikan bagi sebagian perempuan.Sisanya, femisida terjadi di ruang publik seperti sekolah, kebun, jalanan, atau tempat kerja. Namun tetap saja, fakta bahwa rumah menjadi lokasi paling dominan menunjukkan bahwa bahaya kerap datang dari lingkungan terdekat.“Ternyata rumah bukan jadi tempat yang aman buat perempuan. Rumah justru jadi tempat di mana perempuan meregang nyawa. Parahnya, kalau terjadi kekerasan, masih banyak di antara kita yang menganggap itu urusan privasi rumah tangga. Padahal, kalau tidak diintervensi bisa jadi femisida atau pembunuhan terhadap perempuan,” ujar Nur Khofifah, Program Officer Jakarta Feminist.Indonesia Tak Memiliki Undang-Undang FemisidaIlustrasi perempuan yang sedang bersedih. Foto: fizkes/ShutterstockSayangnya, meskipun kasus-kasus ini nyata dan terus terjadi, hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang mengakui femisida sebagai bentuk kejahatan berbeda dari pembunuhan biasa (homicide). Ini menciptakan kekosongan hukum yang serius dalam perlindungan terhadap perempuan.Dr. Erni Mustikasari, Deputi V Kemenko Polhukam, menjelaskan bahwa dalam KUHP Nasional, pembunuhan terhadap perempuan tidak diatur secara spesifik. Meskipun ada ketentuan pemberatan pidana misalnya penambahan sepertiga hukuman jika korban adalah istri atau anak, namun itu belum cukup untuk mengkategorikan femisida sebagai tindak pidana khusus.“UU Specialis seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU PTPPO atau UU TPKS tidak mengatur delik pembunuhan, melainkan kekerasan mengakibatkan mati, yang berbedadengan delik pembunuhan karena ditujukan terhadap tubuh bukan merampas nyawa. UU terkait HAM mengakui diskriminasi menurut jenis kelamin, namun delik yang diatur hanya delik berat terhadap HAM yaitu genosida dan delik kemanusiaan,” ujar Erni.Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan 2020–2025, menyoroti kekosongan hukum ini karena banyak negara yang sudah memasukan femisida kedalam undang-undang khusus.“Kalau di negara lain, ada Undang-Undang khusus soal femisida seperti di Costa Rica, Nicaragua, dan Venezuela. Di Peru dan Chili, femisida masuk dalam KUHP. Sementara di Brazil dan Argentina, femisida jadi pemberat hukuman. Nah sekarang pertanyaannya: Indonesia mau seperti apa?” pungkasnya.