Putusan MK yang Membelah Pemilu Serentak

Wait 5 sec.

MK memutuskan pemilu nasional dipisah dengan pemilu daerah. (Antara)Ratusan nyawa hilang pada pemilu serentak 2029 dan 2024 lalu. Itulah harga yang tak pernah kita hitung dengan jujur. Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dipisah mulai 2029. Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini langsung mengguncang elite partai. Ketua DPD Golkar Kalimantan Utara, La Ode Muh Taufik, menilai keputusan itu membingungkan. Partai terpaksa beradaptasi dalam waktu singkat. PKS lebih keras. Juru bicara mereka, M Kholid, menuduh Mahkamah Konstitusi mengambil alih peran pembentuk undang-undang. Tapi mari kita lihat fakta. Pemilu Serentak ternyata sangat mahal. Biaya membengkak. Nyawa melayang. Pemilu 2019 mencatat rekor kelam. Sebanyak 894 petugas meninggal dunia. Biaya pemilu itu menembus Rp25,59 triliun, naik 61 persen dibanding Pemilu 2014. Pemilu 2024 tak lebih baik. Ada 181 petugas meninggal dan lebih dari 13.000 lainnya jatuh sakit. Anggaran pun meroket menjadi Rp71,3 triliun. Semua hanya demi satu hari pemilu serentak. Faktanya, Pemilu Serentak adalah rekayasa efisiensi yang memaksa negara menanggung beban di luar kemampuannya. Pemilu berubah jadi monster logistik. Penghitungan suara makan waktu lama. Petugas TPS kelelahan. Pemilih kebingungan dengan lima surat suara sekaligus. Putusan terbaru MK memaksa negara menyiapkan dua pemilu terpisah. Pemilu Nasional akan memilih presiden, DPR, dan DPD. Pemilu Daerah akan memilih gubernur, bupati, wali kota, dan DPRD. MK menyebut skema transisi sebagai kunci keberhasilan. Banyak yang ragu. Jadwal pemilu daerah bisa mundur jauh. Ada wacana pemilu lokal digelar dua tahun setelah pemilu nasional. Artinya, rakyat akan terus hidup dalam suasana kampanye yang tak pernah padam. Demokrasi berubah jadi panggung kontestasi tanpa jeda.Namun jika pemisahan pemilu bisa menyelamatkan ratusan nyawa, apa yang sebenarnya lebih penting? Biaya murah atau keselamatan manusia? Tak ada demokrasi yang sempurna. Tapi demokrasi yang sehat harus berpihak pada keselamatan petugas dan kesiapan pemilih. Bukan sekadar rekor partisipasi dan efisiensi semu. Putusan MK ini menjadi ujian bagi politisi. Apakah mereka siap menata ulang cara berkompetisi? Apakah mereka berani berhenti menjadikan pemilu sebagai ajang unjuk logistik? Pada akhirnya, keputusan ini bukan sekadar mundur. Tapi pulang. Pulang ke akal sehat demokrasi yang lebih manusiawi. Karena pemilu seharusnya bukan panggung kematian. Tapi ruang memilih masa depan tanpa darah yang sia-sia. Mungkin akan lain ceritanya jika pemilihan sudah bisa dilakukan secara digital atau online. Itulah sebabnya, keputusan MK ini, meski kontroversial, layak dihormati.