Ilustrasi pluralitas kebenaran (Foto: Pormadi)Era postmodernitas telah mengikis fondasi pemahaman kita tentang kebenaran tunggal. Dulu, kita mungkin percaya ada satu kebenaran universal yang objektif, yang bisa dicapai melalui sains, agama, atau ideologi tertentu.Namun, kini, lanskap telah berubah. Dalam pusaran modernitas cair yang digagas sosiolog Zygmunt Bauman, kebenaran tidak lagi solid, melainkan menjadi sesuatu yang fluid, kontekstual, dan seringkali memiliki logikanya sendiri.Opini ini akan mengulas bagaimana setiap klaim kebenaran, bahkan yang paling kontradiktif sekalipun, memiliki rasionalitas internalnya sendiri, dan bagaimana fenomena ini terwujud dalam realitas Indonesia.Posmodernitas: Senja Kala Meta-Narasi dan Lahirnya Pluralitas KebenaranPostmodernitas menandai berakhirnya dominasi meta-narasi, yaitu cerita-cerita besar yang mengeklaim menjelaskan seluruh aspek kehidupan dan menawarkan satu kebenaran absolut. Filsuf Jean-François Lyotard menyebutnya sebagai "ketidakpercayaan terhadap meta-narasi."Dalam The Postmodern Condition, Lyotard (1984) menyatakan, The computerization of society has made the 'data bank' into the contemporary mode of universality. The old principle that the acquisition of knowledge is indissociable from the formation of minds, or even of subjects, is becoming obsolete. Kutipan ini, meskipun menyoroti teknologi, secara implisit menunjukkan bagaimana pengetahuan, dan dengan itu kebenaran, telah beralih dari narasi besar ke data terfragmentasi.Sains, agama, dan ideologi politik kini tak lagi dilihat sebagai cermin realitas murni, melainkan sebagai konstruksi sosial yang sarat kepentingan dan asumsi tersembunyi. Konsekuensinya, klaim kebenaran tak lagi dipandang sebagai refleksi objektif, melainkan hasil dari interpretasi, negosiasi, dan bahkan perebutan makna.Dalam konteks ini, modernitas cair Bauman menawarkan kerangka yang relevan. Di era ini, segala sesuatu—mulai dari nilai, norma, identitas, hingga pengetahuan—bersifat sementara, fleksibel, dan mudah berubah. Tidak ada lagi fondasi yang kokoh, tidak ada struktur yang permanen.Dalam Liquid Modernity, Bauman (2000) menulis, Fluidity is the quality of liquids and gases. What defines their difference from solids is that they cannot be contained except in a vessel; they cannot be contained in any particular shape of their own; they are shapeless, and tend to change their shape under the slightest pressure. Analogi cairan ini menggambarkan bagaimana kebenaran di era ini tidak bisa lagi "ditampung" dalam satu bentuk tunggal yang tetap.Bauman berargumen, di tengah kondisi ini, upaya mencari kebenaran tunggal adalah ilusi. Kebenaran tidak lagi berakar pada esensi abadi, melainkan menjadi kontingen, kontekstual, dan situasional. Ia adalah produk interaksi sosial, kekuatan diskursif, dan dinamika kekuasaan. Ini bukan berarti kebenaran lenyap, tetapi setiap "kebenaran" yang muncul memiliki logikanya sendiri, yang valid dalam kerangka acuan dan perspektif tertentu.Setiap Kebenaran Punya Logika: Berbagai ContohJika kebenaran tak lagi tunggal, lantas bagaimana kita memahami berbagai klaim "kebenaran" yang ada di sekitar kita? Bauman menyiratkan bahwa setiap klaim kebenaran, terlepas dari penilaian eksternal kita, memiliki logika dan rasionalitas internalnya sendiri. Ini berarti setiap kelompok, komunitas, atau individu membentuk pemahaman mereka tentang realitas berdasarkan pengalaman, nilai-nilai, dan kerangka kognitif mereka. Mari kita lihat beberapa contoh konkret dari Indonesia:Dinamika Politik dan "Kebenaran" ElektoralAmbil contoh pemilu presiden di Indonesia. Selama masa kampanye, masing-masing kubu memiliki "kebenaran" tentang siapa yang paling layak memimpin. Kubu A mungkin menekankan program ekonomi yang pro-rakyat kecil, dengan data dan janji-janji konkret yang mereka yakini sebagai "kebenaran" terbaik untuk kesejahteraan bangsa. Sementara itu, Kubu B mungkin menyoroti integritas kandidat, rekam jejak anti-korupsi, dan visi moral sebagai "kebenaran" yang lebih esensial untuk masa depan negara.Bagi pendukung Kubu A, argumen Kubu B mungkin terasa tidak relevan atau bahkan menyesatkan, dan sebaliknya. Namun, dari sudut pandang Bauman, kedua belah pihak beroperasi di bawah logika internal mereka sendiri. Para pendukung Kubu A menemukan rasionalitas dalam janji ekonomi, karena itu yang paling penting bagi mereka. Sementara pendukung Kubu B melihat rasionalitas pada integritas moral, karena itu yang mereka prioritaskan. Kebenaran mereka tidak saling meniadakan secara absolut, melainkan hidup berdampingan dalam kerangka rasionalitas yang berbeda.Isu Lingkungan dan Konflik PembangunanKonflik antara pembangunan infrastruktur dan pelestarian lingkungan juga sering menunjukkan fenomena ini. Pemerintah, dengan logikanya sendiri, menganggap pembangunan bendungan atau jalan tol sebagai "kebenaran" mutlak untuk kemajuan ekonomi dan konektivitas. Mereka mungkin menyajikan data pertumbuhan PDB, efisiensi distribusi barang, dan peningkatan akses sebagai bukti rasionalitasnya.Di sisi lain, komunitas adat atau aktivis lingkungan memiliki "kebenaran" yang berbeda. Bagi mereka, keberlanjutan ekosistem, hak tanah ulayat, dan kehidupan tradisional adalah kebenaran yang tak boleh dikorbankan. Mereka mungkin menunjukkan data hilangnya keanekaragaman hayati, dampak sosial terhadap masyarakat lokal, dan potensi bencana lingkungan. Kedua pandangan ini, meskipun bertolak belakang, masing-masing memiliki logika internal yang kuat dan rasional bagi pihak yang memegangnya.Pandemi dan Kontroversi VaksinSelama pandemi COVID-19, kita melihat jelas bagaimana berbagai "kebenaran" beredar, terutama terkait vaksin. Pemerintah dan sebagian besar ilmuwan mengklaim bahwa vaksin adalah solusi paling efektif dan rasional untuk mengendalikan pandemi, didukung oleh data penelitian dan konsensus ilmiah global. Ini adalah "kebenaran" yang didasarkan pada logika sains biomedis.Namun, ada juga kelompok yang skeptis terhadap vaksin, atau bahkan menentangnya. Mereka mungkin mengutip efek samping yang jarang terjadi, dugaan konspirasi, atau memprioritaskan kekebalan alami. Bagi mereka, "kebenaran" tentang tubuh yang tidak boleh diintervensi zat asing atau ketidakpercayaan pada otoritas medis tertentu menjadi rasionalitas di balik penolakan mereka. Kedua belah pihak yakin pada "kebenaran" mereka sendiri, yang dibangun di atas set asumsi dan prioritas yang berbeda.Implikasi Etis dan Sosial: Menavigasi PluralitasMemahami bahwa setiap kebenaran memiliki logikanya sendiri memiliki implikasi signifikan. Pertama, ini mendorong sikap toleransi dan empati terhadap perbedaan pandangan. Kita didorong untuk memahami perspektif orang lain, alih-alih langsung menolaknya sebagai "salah" atau "irasional."Kedua, ini menuntut kita untuk menjadi kritis terhadap klaim kebenaran yang dominan, mengingat bahwa mereka pun adalah konstruksi yang memiliki kepentingan di baliknya. Ketiga, ini menegaskan bahwa tanggung jawab untuk merumuskan dan mempertahankan "kebenaran" terletak pada setiap individu dan komunitas, bukan pada otoritas tunggal yang berkuasa.Dalam Postmodern Ethics, Bauman (1993) menegaskan, Postmodernity means, among other things, a world without a single, commanding authority. Kutipan ini sangat relevan untuk menyimpulkan bahwa dalam dunia yang "tanpa otoritas tunggal" ini, pencarian kebenaran tidak lagi tentang menemukan satu jawaban absolut, melainkan tentang belajar bagaimana hidup berdampingan dengan banyak "kebenaran."Pada akhirnya, dalam dunia yang terus berubah ini, kebijaksanaan sejati mungkin terletak pada kemampuan kita untuk menavigasi lautan kebenaran-kebenasan yang cair, dengan menghargai logika di balik setiap gelombangnya. Bukan tentang mencari satu kebenaran yang mutlak, melainkan tentang memahami beragam cara kebenaran diproduksi dan dimaknai dalam konteks sosial kita.