Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto/ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nzJAKARTA - Kuasa hukum Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah menyatakan kliennya tak pernah memerintahkan untuk menyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, dalam pengurusan Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR Harun Masiku.Perihal tersebut disampaikannya usai persidangan pembacaan replik oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus dugaan suap pengurusan pergantian antara waktu (PAW) DPR periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan Harun Masiku.Bermula saat Febri menyinggung argumentasi jaksa soal pengajuan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) sebagai bagian awal dari skenario suap. Menurutnya, tudingan itu merupakan kekeliruan logika.“Pengajuan judicial review itu sah secara hukum, dijamin konstitusi, dan diatur dalam undang-undang. Kami menilai ini bentuk ketidakmampuan penuntut umum membuktikan adanya perintah suap dari Pak Hasto, lalu diarahkan seolah-olah judicial review adalah perbuatan permulaan dari suap,” ujar Febri kepada wartawan, Senin, 14 Juli.Judicial review yang diajukan PDIP, kata Febri, bukan bertujuan untuk menguji undang-undang, melainkan menguji Peraturan KPU terhadap undang-undang. Sebab, terdapat kekosongan hukumPerihal langkah judicial review itupun ditegaskan tak melanggar aturan karena sepenuhnya sah dan sesuai konstitusional.Kemudian, saksi-saksi kunci yang telah dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) disebut semakin membuat terangan tak adanya keterkaitan Hasto dalam skenario suap seperti yang didakwakan.“Saksi Saiful Bahri dan Doni Tri Istiqomah dengan terang mengatakan bahwa skenario suap itu mereka buat sendiri. Tidak pernah ada arahan, perintah, atau laporan ke Pak Hasto,” ungkapnya.Febri juga menyoroti tak konsistennya jaksa dalam menyikapi dua putusan sebelumnya yang telah inkrah. Jika kasus yang melibatkannya kliennya merupakan perkara baru, seharusnya jaksa memulai dari proses penyelidikan yang benar sejak awal.Namun faktanya, penyelidikan yang digunakan oleh KPK masih merujuk pada kasus lama sejak Desember 2019 lalu.Selain itu, jaksa sebelumnya menyampaikan 16 poin yang dianggap memperkuat dugaan keterlibatan Hasto. Namun, seluruhnya dianggap hanya berkutat pada komunikasi antar pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan tindakan konstitusional PDIP melalui Hasto Kristiyanto.Febri pun menyampaikan pihaknya akan memberikan jawaban lengkap atas seluruh tuduhan jaksa pada agenda sidang duplik yang dijadwalkan pada Jumat, 18 Juli 2025 mendatang.“Kami akan uraikan secara tegas dan berdasarkan bukti-bukti hukum dalam duplik nanti. Yang pasti, penting bagi kita untuk memisahkan secara jernih mana perbuatan yang sah dan mana yang tidak sah,” kata Febri.Sebagai pengingat, Hasto dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan pidana penjara selama 7 tahun. Selain itu, jaksa turut menuntut Hasto Kristiyanto dengan pidana denda senilai Rp600 juta. Apabila tak dibayarkan akan diganti dengan hukuman penjara selama 6 bulan.Dalam perkara ini, Hasto didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah, eks kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku didakwa memberikan uang suap sebesar Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan (komisioner KPU) pada rentang waktu 2019-2020.Suap ini agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan PAW Caleg Dapil Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan.Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.Hasto didakwa dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.