Setyo Budiyanto: RKUHAP Berpotensi Kurangi Tugas dan Fungsi KPK

Wait 5 sec.

Ketua KPK Setyo Budiyanto/FOTO: Wardhany Tsa Tsia-VOIJAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto mengungkap revisi Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) berpotensi mengurangi kewenangan lembaganya. Kondisi ini sudah dibahas dalam diskusi bersama sejumlah pakar.“Kami melihatnya ada potensi-potensi yang kemudian bisa berpengaruh terhadap kewenangan, mengurangi kewenangan tugas dan fungsi daripada Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Setyo kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 17 Juli.Setyo mengatakan ada 17 poin krusial yang paling disoroti lembaganya. Sehingga, para pembentuk undang-undang diminta tak buru-buru.“Prinsipnya KPK berharap bahwa RUU KUHAP ini disusun secara terbuka, artinya terbuka itu, ya, transparan,” tegasnya.“Semua bisa dilibatkan, ada partisipasi dari semua pihak sehingga pembuatan daripada RKUHAP memiliki semangat untuk membangun proses hukum yang bermanfaat dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat,” sambung eks Direktur Penyidikan KPK tersebut.   Adapun 17 permasalahan dalam RKUHAP yang bisa mengganggu kerja KPK adalah sebagai berikut: UU KPK yang mengatur soal penyelidik dan penyidik serta hukum acara yang bersifat khusus atau lex specialist berpotensi dimaknai tidak sinkron karena Pasal 329 dan 330 RKUHAP terdapat frasa: “… sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.”;Keberlanjutan penanganan perkara yang dilakukan KPK hanya dapat diselesaikan berdasarkan KUHAP. Padahal, KUHAP, UU KPK, dan UU Tipikor selama ini jadi pedoman;Keberadaan penyelidik KPK tidak diakomodir dalam RUU KUHAP. Penyelidik hanya berasal dari Polri dan penyelidik diawasi oleh Penyidik Polri. Aturan tersebut tidak sinkron dengan tugas dan fungsi KPK karena adanya kewenangan melakukan penyelidikan, mengangkat dan memberhentikan penyelidik; Penyelidikan hanya mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana. Padahal, penyelidikan KPK sudah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti;Keterangan saksi yang diakui sebagai alat bukti hanya yang diperoleh di tahap penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan;Penetapan tersangka ditentukan setelah penyidik mengumpulkan dan memperoleh dua alat bukti. Sehingga hal ini tak sejalan dengan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK soal penyelidikan;Penghentian penyidikan wajib melibatkan Penyidik Polri. UU KPK telah mengatur adanya penghentian penyidikan oleh KPK dan berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 angka 6, maka penghentian penyidikan oleh KPK wajib diberitahukan kepada Dewan Pengawas;Penyerahan berkas perkara ke Penuntut Umum melalui Penyidik Polri;Penggeledahan terhadap tersangka dan didampingi Penyidik Polri dari daerah hukum tempat penggeledahan;Penyitaan dengan permohonan izin Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini bertentangan karena upaya paksa ini sudah diatur UU KPK dan tak perlu lagi izin kepada pihak lain serta Dewan Pengawas pasti juga sudah diinformasikan;Penyadapan. KPK selama ini memiliki kewenangan melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri dan diberitahukan kepada Dewan Pengawas;Larangan bepergian ke luar negeri hanya terhadap tersangka. Padahal, KPK selama ini bisa melakukan pencekalan ke luar negeri bagi saksi sebagaimana diatur dalam UU KPK;Pokok perkara tindak pidana korupsi tidak dapat disidangkan selama proses Praperadilan;Kewenangan KPK dalam perkara koneksitas tidak diakomodir;Perlindungan terhadap Saksi/Pelapor hanya oleh LPSK;Penuntutan di luar daerah hukum dengan pengangkatan sementara Jaksa Agung. Padahal, selama ini penuntut KPK diangkat dan diberhentikan KPK dan memiliki kewenangan melakukan penuntutan di seluruh wilayah Indonesia; danPenuntut umum terdiri atas pejabat Kejaksaan dan suatu lembaga yang diberi kewenangan berdasarkan ketentuan UU. KPK menilai aturan tersebut sebaiknya ditulis pejabat KPK merupakan bagian dari penuntut umum.