Ini Kata Asosiasi Perusahaan Otobus soal Bus Tanpa Musik

Wait 5 sec.

Bus PO SAN. Foto: dok. PO SANSuasana perjalanan menggunakan bus pariwisata atau antar kota antar provinsi (AKAP) terasa berbeda. Biasanya penumpang ditemani dengan alunan musik atau tayangan video di dalam kabin, namun kini suasananya cenderung hening.Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI), Kurnia Lesani Adnan atau akrab disapa Sani, menegaskan bahwa pihaknya telah mengambil sikap untuk menonaktifkan audio maupun video di seluruh armada, sebagai respons atas pemberlakuan royalti musik untuk layanan publik yang bersifat komersial, salah satunya di transportasi umum bus.“Kami semua sudah sejak 15 Agustus membuat internal memo kepada seluruh kru untuk tidak mengaktifkan audio,” ujar Sani saat dikonfirmasi kumparan akhir pekan lalu.Langkah tersebut kata Sani diambil untuk menghindari beban tambahan dari kewajiban royalti lagu. Karena nantinya bisa berdampak ke konsumen dengan adanya penyesuaian tarif.Ilustrasi bus pariwisata Foto: yahyaernanda/Shutterstock“Aturan royalti ini membebani masyarakat karena pada akhirnya kami harus charge ke pengguna bus,” lanjutnya.Ia menambahkan, bila operator tetap memutar musik atau video yang memiliki hak cipta di dalam bus, maka konsekuensinya harga tiket akan naik akibat biaya tambahan yang harus ditanggung. Menurutnya, sejauh ini para penumpang bisa menerima kebijakan tersebut.“Daripada di-charge biaya tambahan, penumpang bisa mengerti kenapa audio dan video kami matikan,” kata Sani.Respons itu pun kemudian diviralkan di media sosial dengan tagar #transportasiindonesiahening, sebagai sikap dan arahan kepada seluruh operator bus untuk sementara waktu tidak memutar lagu melalui platform apapun. Pria yang juga menjabat Direktur Utama PO SAN ini juga mengungkapkan banyak operator bus yang juga mengambil langkah serupa.Sebagai catatan, kewajiban pembayaran royalti musik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam beleid tersebut, setiap penggunaan lagu atau musik secara komersial wajib membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Aturan ini diperkuat lewat peraturan turunan yang mewajibkan sektor transportasi, termasuk bus pariwisata dan AKAP, untuk ikut serta dalam skema pembayaran.Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Dalam Pasal 3 ayat (1) PP tersebut ditegaskan bahwa:“Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN.”Lebih lanjut, pada Pasal 3 ayat (2) juga disebutkan bahwa bentuk layanan publik komersial yang dimaksud meliputi restoran, hotel, bioskop, karaoke, hingga moda transportasi seperti pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut.Dengan aturan tersebut, artinya setiap pemutaran musik atau lagu di dalam bus dianggap sebagai bentuk pemanfaatan komersial, sehingga operator wajib membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).Ilustrasi Bus. Foto: Dok. Ditjen Perhubungan Darat KemenhubRegulasi ini diperkuat dengan terbitnya Permenkumham Nomor 27 Tahun 2025. Aturan baru tersebut membatasi biaya operasional LMKN maksimal 8 persen serta memperjelas mekanisme pengelolaan hingga distribusi royalti kepada pencipta lagu.Namun, implementasi aturan ini menuai pro kontra. Di satu sisi, regulasi royalti dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap hak cipta musisi Indonesia. Namun, di sisi lain, operator transportasi merasa terbebani karena harus menanggung biaya tambahan yang ujungnya berpotensi dialihkan kepada konsumen.“Kalau pun harus dipaksakan, akhirnya tiket bus bisa naik. Dampaknya justru dirasakan langsung masyarakat,” tuntas Sani.