Ilustrasi unjuk rasa mahasiswa di Gedung DPR Senayan Jakarta 1998 (arsip ANTARA)YOGYAKARTA - Gelombang kekecewaan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencuat setelah mendapat anggaran tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan untuk setiap anggotanya. Nilai yang fantastis ini dinilai bertolak belakang dengan kondisi ekonomi masyarakat yang tengah menghadapi berbagai kesulitan.Tak ayal warganet ramai-ramai menyerukan agar DPR dibubarkan sebagai bentuk luapan kekecewaan publik yang merasa semakin jauh dari wakil rakyatnya. Seruan di media sosial ini berkembang menjadi aksi demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta, yang berujung bentrok dengan aparat keamanan.Pertanyaannya, mungkinkah DPR benar-benar dibubarkan? Atau apakah seruan tersebut hanya sebuah ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap anggota dewan?Mungkinkah Membubarkan DPR? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu memahami peran DPR. Dalam UUD 1945, DPR memiliki tiga fungsi utama yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi ini menjadi fondasi dari prinsip check and balance yang menjadi ciri khas negara demokrasi. Tanpa DPR, seluruh kekuasaan sekaligus pengawasan akan terpusat di tangan Presiden.Sejarah Indonesia mencatat ketiadaan parlemen yang berfungsi efektif hanya melahirkan konsentrasi kekuasaan. Pada masa Demokrasi Terpimpin di era Sukarno maupun Orde Baru di bawah Soeharto, parlemen hanya menjadi pelengkap formalitas.Ketika kekuasaan terpusat pada Presiden, demokrasi praktis lumpuh. Hal ini sejalan dengan pernyataan Guru Besar Hukum Tata Negara UI, Jimly Asshiddiqie, yang menegaskan bahwa tanpa parlemen, demokrasi hanyalah nama, sementara kekuasaan jatuh ke satu tangan yang berpotensi absolut.Karena itu, membubarkan DPR sejatinya sama dengan mematikan fungsi representasi rakyat dan membuka jalan menuju otoritarianisme.Melihat sejarah, wacana pembubaran lembaga legislatif bukanlah hal baru di Indonesia. Pada 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Dewan Konstituante karena gagal menyusun undang-undang dasar baru.Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga pernah mencoba langkah serupa dengan menerbitkan dekrit untuk membekukan DPR, MPR, dan membubarkan partai politik tertentu. Namun hal itu dinyatakan tidak berfungsi melalui sidang istimewa MPR.Kedua peristiwa tersebut menunjukkan bahwa langkah membubarkan lembaga legislatif selalu diiringi konsekuensi politik yang besar.Pasca reformasi 1998, Indonesia melakukan amandemen UUD 1945 untuk memperkuat posisi DPR. Salah satu perubahan penting terdapat pada Pasal 7C yang menyatakan bahwa “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.” Ketentuan ini lahir sebagai tameng agar lembaga legislatif tidak lagi berada di bawah bayang-bayang eksekutif.Dengan demikian, secara hukum, Presiden tidak mungkin membubarkan DPR. Satu-satunya cara untuk menghapus DPR adalah dengan mengubah kembali konstitusi melalui mekanisme amandemen UUD 1945. Namun, prosedur ini nyaris mustahil, karena memerlukan persetujuan MPR, yang sebagian besar anggotanya berasal dari DPR itu sendiri.Menurut pengamat politik Sugiyanto (SGY), alternatif lain bisa dilakukan melalui pemilu. Jika rakyat tidak lagi memilih calon legislatif, maka DPR tidak akan terbentuk. Namun, skenario ini pun kemungkinannya sangat kecil, mengingat demokrasi selalu membuka ruang bagi partisipasi politik.SGY menambahkan bahwa tidak menutup kemungkinan adanya jalan non-hukum seperti revolusi. Secara teori, gerakan semacam itu bisa mengubah seluruh tatanan negara, termasuk menghapus DPR. Namun, jalan ini berisiko besar menciptakan instabilitas politik, krisis ekonomi, bahkan kekacauan sosial. Selain menyalahi hukum, revolusi tidak memiliki legitimasi demokratis.“Menyinggung istilah ‘kecuali revolusi?’, memang secara teori, revolusi atau kudeta bisa mengganti seluruh tatanan negara, termasuk membubarkan DPR. Namun jalan ini jelas berpotensi destruktif, menyalahi hukum, tidak memiliki legitimasi demokratis, dan berisiko besar menciptakan instabilitas politik serta kerusakan ekonomi,” kata SGY, dalam keterangan tertulis, Minggu, 24 Agustus.SGY menilai kekecewaan publik terhadap DPR wajar muncul, terlebih melihat gaya hidup mewah para anggotanya, lemahnya pengawasan, hingga kebijakan yang kerap kontraproduktif. Namun, jalan keluar bukanlah dengan membubarkan lembaga ini, melainkan reformasi. Reformasi dapat dilakukan melalui mekanisme demokratis, dari pemilu, revisi aturan internal, hingga penguatan fungsi pengawasan oleh masyarakat.Dalam demokrasi, rakyat memiliki senjata paling ampuh yakni suara. Melalui pemilu, publik dapat memilih wakil-wakil yang dianggap lebih layak dan menyingkirkan mereka yang tak mampu menjalankan amanah. Jika suara rakyat konsisten diarahkan untuk perubahan, DPR bisa bertransformasi menjadi lembaga yang benar-benar merepresentasikan aspirasi publik.