Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Hendarto, pemilik PT Sakti Mait Jaya Langit (SMJL) dan PT Mega Alam Sejahtera (MAS)/FOTO: Wardhany Tsa Tsia-VOIJAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Hendarto, pemilik PT Sakti Mait Jaya Langit (SMJL) dan PT Mega Alam Sejahtera (MAS) pada grup PT Bara Jaya Utama (BJU) pada hari ini.Upaya paksa ini dilakukan setelah dia ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).“KPK kembali menetapkan dan menahan satu orang tersangka yakni saudara HD,” kata pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu kepada wartawan dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 28 Agustus.Asep mengatakan Hendarto tidak menggunakan kredit yang didapatnya untuk dua perusahaannya. Dia justru menggunakan duit itu untuk kepentingan pribadi, termasuk berjudi.“Dalam prosesnya, diketahui saudara HD tidak menggunakan pembiayaan dimaksud sepenuhnya untuk kebutuhan dua perusahaan miliknya, melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti pembelian aset, kendaraan, kebutuhan keluarga, hingga bermain judi,” tegas Asep yang juga menjabat sebagai Direktur Penyidikan KPK tersebut.“Berdasarkan informasi yang diterima hampir mencapai Rp150 miliar untuk berjudi,” sambung dia.Asep menerangkan perusahaan itu mendapat fasilitas Kredit Investasi Ekspor (KIE) dan Kredit Modal Kerja Ekspor (KMKE) dari LPEI pada 2015 dengan rincian sebagai berikut:Pada periode Oktober 2014 hingga Oktober 2015, PT SMJL mendapatkan fasilitas KIE sebanyak dua kali dengan total mencapai Rp950 miliar untuk refinancing kebun kelapa sawit dengan luas lahan inti sekitar 13.075 Ha di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dengan jangka waktu 9 tahun sejak 25 November 2014 sampai dengan25 Oktober 2023;Sementara, PT SMJL mendapat KMKE senilai Rp115 miliar untuk refinancing kebun kelapa sawit milik PT SMJL;Kemudian, untuk PT MAS, pada April 2015 mendapat fasilitas dari LPEI sebesar USD 50 juta atau sekitar Rp670 miliar berdasarkan kurs dollar di tahun 2015.Dalam prosesnya, KPK menyebut ada mens rea atau niat jahat dalam proses pengajuan kredit PT SMJL oleh perusahaan itu maupun LPEI selaku kreditur.Selaku debitur, PT SMJL mengajukan kredit dengan menggunakan agunan berupa lahan kebun sawit yang berada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Padahal, perusahaan itu tak berizin atau sudah dicabut izin konservasinya dan tak memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan atas PT SMJL. Sementara selaku kreditur, LPEI tetap memproses pengajuan Memorandum Analisis Pembiayaan (MAP) yang sudah dikondisikan. “Padahal diketahui bahwa isi dari MAP tersebut dengan sengaja mengabaikan ketentuan dan prinsip-prinsip pembiayaan yang telah diatur dalam peraturan LPEI,” ungkap Asep.Sedangkan PT MAS disebut KPK tak layak mendapat pembiayaan hingga 50 juta dolar Amerika Serikat. Ada beberapa penyebab, di antaranya proyeksi cash flow PT MAS dari tahun 2016 sampai 2019 terkait penjualan tambang berpotensi mengalami kerugian, sehingga sumber cashflow yang hanya berasal dari tambang diproyeksi tidak dapat melunasi kewajiban PT MAS membayar pinjaman bank.Adapun uang yang didapat dari kredit LPEI itu hanya digunakan Rp17 miliar atau 3,01 persen dari total pinjaman untuk operasional PT SMJL.“Dan kebutuhan operasional PT MAS senilai USD 8,2 juta, yakni sekitar Rp110 miliar berdasarkan kurs dollar di tahun 2015 atau sekitar 16,4 persen dari total pinjaman,” jelas Asep.Akibat perbuatannya, Hendarto diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp1,7 triliun.Selain itu, KPK juga sudah menyita uang tunai, tanah bangunan, kendaraan bermotor, perhiasan, tas mewah dan barang mewah lainnya senilai total mencapai Rp540 miliar.Dia kemudian disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.