Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparanPerkembangan media sosial telah mempercepat arus distribusi informasi dalam skala yang masif, instan, dan lintas batas. Setiap individu kini memiliki akses sekaligus kapasitas untuk memproduksi serta menyebarkan informasi tanpa melalui mekanisme filterisasi atau verifikasi yang ketat. Kondisi ini menghadirkan paradoks: di satu sisi, keterbukaan informasi memberi peluang bagi institusi untuk menjangkau publik secara lebih luas; namun di sisi lain, ia juga melahirkan risiko serius berupa penyebaran misinformasi, disinformasi, hingga hoaks yang sulit dikendalikan.Dalam konteks tata kelola komunikasi lembaga negara, tantangan tersebut menuntut adanya reposisi peran media yang agresif, bukan hanya sebagai penyampai pesan, melainkan juga sebagai penjaga kredibilitas dan penegak validitas informasi di ruang publik yang semakin cair dan rawan manipulasi.Yang terjadi saat ini, era post-truth ditandai dengan melemahnya posisi fakta objektif dalam memengaruhi opini publik, sementara emosi dan keyakinan personal justru menjadi landasan utama dalam pembentukan persepsi masyarakat. Fenomena ini membawa implikasi signifikan terhadap tata kelola komunikasi lembaga negara, khususnya dalam konteks media sebagai instrumen komunikasi strategis.Dengan demikian, tantangan utama bagi tata kelola komunikasi lembaga negara di era post-truth adalah memastikan pesan yang dikomunikasikan tidak sekadar efektif, tetapi juga akuntabel, berbasis data, serta mampu mengembalikan otoritas fakta di tengah derasnya arus opini. Urgensi pengembangan strategi komunikasi yang adaptif, inovatif, dan etis menjadi semakin relevan untuk dikaji dalam kerangka akademik maupun praktik profesional.DPR RI sebagai lembaga perwakilan dalam dinamika komunikasi publik kerap menghadapi tantangan serius. Berbagai survei opini publik menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR yang mudah mengalami fluktuasi. Akibatnya, DPR sering kali berada dalam kondisi krisis komunikasi, termasuk saat ada kebijakan atau pernyataan anggota DPR yang berpotensi memicu persepsi publik yang kontraproduktif terhadap citra kelembagaan.Di era post-truth, tantangan ini semakin kompleks. Arus informasi yang tidak terfilter di media sosial mempercepat pembentukan opini publik, bahkan sebelum klarifikasi resmi dirilis. Narasi negatif yang berkembang cenderung lebih cepat diterima dan diperkuat melalui mekanisme echo chamber, sehingga memperdalam jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPR. Kondisi ini tentu membuat misi untuk meningkatkan citra DPR tak semudah meningkatkan citra lembaga negara lain pada umumnya, karena upaya membangun citra positif sering kali tereduksi oleh dominasi wacana publik yang sarat emosi dan bias politik yang sudah tertanam di masyarakat.Sehingga menurut hemat saya, DPR RI hampir selalu beroperasi dalam situasi krisis komunikasi yang berkepanjangan. Hal ini menuntut penerapan strategi komunikasi yang tidak hanya bersifat reaktif dalam merespons isu, tetapi juga proaktif dalam membangun narasi yang transparan, akuntabel, serta berbasis pada kepentingan publik. Kehumasan DPR perlu memposisikan diri sebagai mediator yang mampu menghubungkan aspirasi rakyat dengan kerja kelembagaan melalui kanal komunikasi yang kredibel. Tanpa transformasi strategi komunikasi yang adaptif, citra DPR berisiko terus mengalami delegitimasi di ruang publik yang semakin terbuka, cepat, dan emosional.Dalam konteks citra DPR RI yang kerap berfluktuasi dan selalu berada dalam bayang-bayang krisis komunikasi, diperlukan sebuah kerangka kerja yang sistematis dan terukur. Salah satu pendekatan strategis yang relevan adalah penyusunan protokol komunikasi sebagai pedoman kelembagaan dalam merespons isu publik. Protokol ini berfungsi sebagai standar operasional dalam pengelolaan arus informasi, baik pada saat kondisi normal maupun ketika menghadapi krisis yang berpotensi merusak citra kelembagaan.DPR RI sebagai lembaga yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, terdapat banyak fraksi dan 580 anggota yang berasal dari berbagai latar belakang partai politik dan daerah pemilihan. Keberagaman ini tentu mencerminkan aspirasi masyarakat Indonesia yang majemuk, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya hak berpendapat bagi setiap anggota DPR.Namun dalam pengamatan saya, kebebasan berpendapat yang melekat pada anggota DPR kerap menimbulkan persoalan. Tidak jarang, pernyataan seorang anggota justru menimbulkan kontroversi dan berdampak negatif pada citra kelembagaan DPR secara keseluruhan. Fenomena ini menunjukkan adanya dilema: bagaimana menjaga hak berpendapat sebagai prinsip demokrasi, tetapi sekaligus memastikan bahwa pernyataan publik tidak merusak kredibilitas institusi.Sebagai wakil rakyat, anggota DPR memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan pandangan, baik di forum resmi maupun di ruang publik seperti media massa dan media sosial. Tentu, hak tersebut merupakan bagian dari representasi politik dan demokrasi.Namun, realitas menunjukkan bahwa pernyataan anggota DPR sering kali menimbulkan persepsi negatif. Hanya karena pernyataan satu anggota saja, lantas publik bisa langsung menilai DPR sebagai lembaga yang kerap mengeluarkan komentar yang tidak sensitif terhadap situasi, tidak selaras dengan kepentingan rakyat, bahkan kadang dianggap memperburuk krisis kepercayaan terhadap lembaga perwakilan.Media massa pun juga turut memperkuat dampak ini. Dengan logika pemberitaan yang menekankan pada konflik dan kontroversi, satu pernyataan individu bisa diperbesar menjadi isu nasional. Framing media ini akhirnya membentuk opini publik bahwa citra DPR buruk, meski sesungguhnya tidak semua anggota bersikap serupa. Bahkan sesungguhnya ada banyak sekali kerja-kerja DPR yang berdampak baik ke masyarakat berupa produk UU, pengawasan terhadap program pemerintah serta kerja-kerja penganggaran yang disusun tiap tahunnya dalam APBN. Beberapa contoh kerja positif DPR seperti keberhasilan DPR dalam menekan biaya haji selama dua tahun berturut-turut, lalu juga terdapat pengesahan produk UU yang seirama dengan kebutuhan masyarakat seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak hingga Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi. Kerja-kerja positif yang dilakukan DPR pun seolah sirna tak ternilai di mata masyarakat.Kondisi yang terjadi di DPR RI ini tentu tidak bisa disandingkan dengan lembaga atau kementerian lain, sehingga urgensi keberadaan protokol komunikasi ini tidak hanya terletak pada aspek teknis, melainkan juga pada dimensi strategis dan etis serta terpola dalam satu komando kelembagaan.Terlebih, di era post-truth, kecepatan penyebaran informasi membuat setiap celah keterlambatan atau inkonsistensi komunikasi dapat memperburuk persepsi publik. Oleh karena itu, protokol komunikasi menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa tim komunikasi DPR mampu berperan sebagai guardian of trust, yakni penjaga kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.Dengan penerapan protokol komunikasi yang adaptif dan terintegrasi, DPR RI memiliki peluang lebih besar untuk keluar dari lingkaran krisis komunikasi yang berulang, sekaligus membangun citra kelembagaan yang lebih kredibel, transparan, dan responsif terhadap dinamika masyarakat.Apa itu Protokol Komunikasi?Ilustrasi pernyataan dalam media. Foto: Shutter StockSecara umum, protokol komunikasi adalah seperangkat aturan, pedoman, dan mekanisme yang mengatur bagaimana suatu organisasi atau individu berinteraksi dan menyampaikan pesan kepada publik, media, maupun pemangku kepentingan lainnya.Dalam konteks DPR RI, protokol komunikasi berfungsi sebagai code of conduct (aturan etik) sekaligus strategi teknis agar setiap pernyataan anggota tidak menimbulkan tafsir yang merugikan citra kelembagaan. Kebebasan berpendapat tentu melekat pada setiap anggota sebagai bagian dari hak konstitusional. Namun, tanpa adanya tata kelola komunikasi yang jelas, pernyataan individual dapat menimbulkan tafsir yang beragam, bahkan berpotensi merugikan citra kelembagaan DPR di mata publik. Oleh karena itu, protokol komunikasi berfungsi sebagai kode etik sekaligus strategi teknis untuk menjaga konsistensi pesan kelembagaan.Jika dilihat dari dimensinya, protokol komunikasi mencakup tiga aspek utama. Pertama, aspek normatif yang mengatur standar etika, sopan santun, dan sensitivitas dalam berkomunikasi. Misalnya, larangan bagi anggota untuk melontarkan pernyataan diskriminatif atau yang berpotensi menyinggung kelompok masyarakat tertentu. Kedua, aspek teknis yang berhubungan dengan tata cara komunikasi kelembagaan, termasuk penentuan siapa yang berhak memberikan pernyataan resmi, bagaimana mekanisme klarifikasi dilakukan, serta aturan dalam menggunakan media sosial. Ketiga, aspek strategis yang memastikan setiap pernyataan individu selaras dengan narasi besar kelembagaan, sehingga publik tidak menangkap kesan adanya perbedaan tajam antara sikap personal seorang anggota dengan posisi resmi DPR.Tujuan dari penerapan protokol komunikasi ini sangat jelas. Ia bertujuan mencegah terjadinya misinformasi maupun disinformasi, menjaga konsistensi citra kelembagaan, mengelola isu serta krisis komunikasi secara efektif, dan pada saat yang sama membekali anggota dengan kemampuan komunikasi yang lebih profesional. Dengan begitu, DPR dapat meminimalisir risiko reputasi yang sering muncul akibat pernyataan yang tidak terkendali.Dalam praktiknya, protokol komunikasi dapat diwujudkan melalui berbagai langkah konkret. Misalnya, membatasi isu-isu strategis tertentu agar hanya disampaikan oleh pimpinan DPR atau juru bicara resmi. Selain itu, anggota dapat dibekali dengan panduan media briefing sebelum melakukan wawancara dengan jurnalis. DPR juga dapat menyusun pedoman penggunaan media sosial agar selaras dengan standar etika politik, serta membentuk tim tanggap krisis yang bertugas memberikan klarifikasi resmi apabila muncul polemik di ruang publik.Dari uraian ini, jelas bahwa protokol komunikasi bukanlah bentuk pembatasan terhadap kebebasan berpendapat anggota DPR. Sebaliknya, ia merupakan upaya pengaturan agar kebebasan tersebut tetap berjalan dalam koridor yang mendukung kepentingan kelembagaan dan menjaga kepercayaan publik. Dengan adanya protokol komunikasi, DPR dapat menjaga keseimbangan antara hak demokratis anggota dan citra institusional yang senantiasa menjadi sorotan masyarakat.Perlu dicatat juga, media sosial juga telah mengubah cara publik menerima, memproses, dan menilai informasi. Jika dahulu masyarakat lebih banyak bergantung pada media mainstream seperti televisi, kini publik bisa langsung memperoleh informasi dari berbagai sumber hanya dengan sentuhan jari. Lebih dari itu, publik juga dapat mengecek, mengkritisi, bahkan membantah pernyataan tokoh publik secara cepat melalui akses data yang terbuka di ruang digital.Bagi DPR RI, situasi ini menimbulkan tantangan tersendiri. Setiap pernyataan anggota DPR tidak lagi hanya berhenti di ruang sidang atau berita televisi, melainkan segera menyebar luas ke media sosial. Potongan video, kutipan singkat, hingga tangkapan layar (screenshot) bisa menjadi viral dan mengundang reaksi publik. Masalahnya, jika pernyataan itu tidak akurat atau dianggap tidak sesuai dengan fakta, publik bisa segera melakukan fact-checking dan menyebarkan bantahan secara massal. Hasilnya, bukan hanya anggota DPR yang disorot, tetapi citra lembaga secara keseluruhan ikut terdampak.Di era post-truth, di mana emosi sering kali lebih memengaruhi opini dibandingkan fakta, risiko kesalahan komunikasi menjadi semakin besar. Publik bisa dengan cepat terbentuk persepsinya hanya dari satu kutipan singkat, meskipun konteks lengkapnya belum jelas. Inilah mengapa anggota DPR harus ekstra hati-hati dalam berbicara.Untuk itu, setiap pernyataan yang disampaikan sebaiknya memenuhi prinsip FCR (Factual, Clear, Reliable). Factual, yakni setiap statement yang disampaikan berbasis data dan fakta yang terverifikasi, bukan sekadar opini atau spekulasi. Clear, disampaikan dengan bahasa yang jelas, tidak multitafsir, dan mudah dipahami publik. Reliable , yakni statement dapat dipercaya, konsisten, serta sesuai dengan posisi resmi lembaga atau fraksi.Protokol komunikasi dalam hal ini menjadi instrumen yang sangat penting. Ia tidak hanya mengatur siapa yang berwenang berbicara, tetapi juga menekankan standar kualitas informasi yang harus dipenuhi sebelum disampaikan ke publik. Dengan demikian, anggota DPR dapat menjaga kredibilitas dirinya sekaligus melindungi citra kelembagaan DPR.Di tengah derasnya arus informasi media sosial, publik kini tidak lagi pasif. Mereka aktif melakukan verifikasi, mengajukan bantahan, bahkan menyebarkan informasi tandingan. Oleh sebab itu, anggota DPR dituntut lebih berhati-hati dalam mengutarakan pendapat. Protokol komunikasi hadir untuk memastikan bahwa kebebasan berpendapat tetap berjalan, tetapi dengan landasan yang kokoh: berbasis fakta, jelas, dan dapat dipercaya.