Jaksa Belum Selesai Tanya, Tersangka Vonis Lepas CPO Sudah Jawab ‘Tidak Tahu’

Wait 5 sec.

Advokat yang juga tersangka suap dan TPPU, Ariyanto Bakri, ditahan penyidik Kejaksaan Agung. Foto: YouTube/ Kejaksaan RIJaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) menghadirkan seorang pengacara bernama Ariyanto Bakri sebagai salah satu saksi dalam persidangan kasus dugaan suap vonis lepas perkara CPO, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/8).Ariyanto bersaksi untuk lima orang terdakwa, yakni eks Wakil Ketua PN Jakpus Muhammad Arif Nuryanta, mantan Panitera Muda PN Jakpus Wahyu Gunawan, serta tiga orang hakim yang memvonis lepas terdakwa korporasi CPO, yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, serta Ali Muhtarom.Dalam kasus yang sama, Ariyanto juga telah dijerat sebagai tersangka. Hingga saat ini, penyidikannya belum rampung dan berkasnya belum dilimpahkan ke pengadilan.Dalam persidangan itu, jaksa sempat dibuat kesal dengan Ariyanto. Hal itu lantaran Ariyanto yang kerap menjawab 'tidak tahu', padahal pertanyaan yang diajukan jaksa belum rampung.Mulanya, jaksa mendalami pengetahuan Ariyanto terkait nama-nama perusahaan yang tergabung dalam korporasi yang dijerat sebagai terdakwa kasus persetujuan ekspor CPO. Adapun tiga terdakwa korporasi tersebut yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group."Ada tiga korporasi grup yang menjadi terdakwa di perkara minyak goreng, korporasi pertama Wilmar Group, yang terdiri dari PT Multimas Nabati, PT Multimas Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Sinar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati. Kemudian, ada Permata Hijau Group, yang terdiri dari PT Nagamas, PT Pelita Agung, PT Nubika, PT Permata Hijau, dan PT Permata Hijau Sawit. Dan terakhir, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musimas, PT Intibenua, PT Mikie Oleo, PT Agro Makmur, dan PT Musim Mas Fuji, dan Mega Surya. Saudara pernah mendengar perusahaan-perusahaan itu yang pada akhirnya menjadi klien dari AALF?" tanya jaksa dalam persidangan, Rabu (27/8)."Yang saya hanya mendengar sebatas Wilmar, selebihnya saya tidak ada yang tahu," jawab Ariyanto."Tidak tahu?" tanya jaksa mengkonfirmasi."Tidak tahu," jawab Ariyanto."Tidak tahu bahwa kaitan dengan dua group lainnya ini?" cecar jaksa."Tidak ada, tidak ada yang tahu, Pak," ujar Ariyanto.Jaksa kemudian mencecar Ariyanto terkait teknis operasional di kantor hukum Ariyanto Arnaldo Law Firm (AALF). Menurut Ariyanto, orang yang mengetahui hal tersebut adalah istrinya, Marcella Santoso.Dalam kasus ini, Marcella juga telah dijerat sebagai tersangka. Namun, perkaranya belum disidangkan di pengadilan. Adapun Ariyanto dan Marcella merupakan tim pengacara dari tiga terdakwa korporasi dalam kasus persetujuan ekspor CPO tersebut."Siapa yang lebih tahu di AALF terkait kerja sama ini?" tanya jaksa."Istri saya, Pak," jawab Ariyanto.Majelis Hakim yang memvonis lepas terdakwa korporasi perkara CPO, Djuyamto (kiri), Agam Syarief Baharudin (tengah) dan Ali Muhtarom (kanan) menjalani sidang dakwaan kasus suap atur vonis lepas perkara CPO di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/8). Foto: Dok. Istimewa"Berarti secara teknis Marcella ini yang menjalankan operasional di lapangan?" tanya jaksa."Betul, Pak," timpal Ariyanto."Itu selalu harus mendapatkan persetujuan atau pengetahuan-pengetahuan Saudara atau berdiri sendiri?" cecar jaksa."Tidak perlu, Pak," ucap Ariyanto.Jaksa kemudian menanyakan ihwal penunjukan tiga korporasi tersebut dalam persetujuan ekspor CPO. Ariyanto lagi-lagi mengaku tidak mengetahuinya."Kemudian, terkait penunjukan ini, Pak. Saudara pernah dilaporkan atau mendapatkan informasi, hal-hal apa saja yang disepakati dalam penunjukan Wilmar Group dan yang lainnya?" tanya jaksa."Hampir bisa dikatakan saya tidak tahu sama sekali, Pak," tutur Ariyanto."Tidak tahu juga?" tanya jaksa."Tidak tahu juga," timpal Ariyanto.Jaksa mulai geram saat mencecar Ariyanto terkait proses penanganan kasus persetujuan ekspor CPO yang menjerat tiga terdakwa korporasi. Pasalnya, Ariyanto sudah menjawab tidak tahu saat jaksa belum selesai mengajukan pertanyaan."Oke, saya ikutin Saudara, ya. Kemudian dalam penanganan perkaranya, Pak, ini kan perkara besar, ya. Banyak korporasi yang menjadi tersangkanya," kata jaksa."Hampir sama, Pak, saya tidak tahu sama sekali," timpal Ariyanto."Tidak tahu juga?" tanya jaksa."Tidak," jawab Ariyanto."Saya belum selesai nanya, Saudara tidak tahu," ucap jaksa."Kapan persidangannya pun saya tidak tahu," balas Ariyanto."Sebentar, saya belum selesai nanya," ujar jaksa heran."Betul, Pak," timpal Ariyanto."Saya belum selesai nanya," tutur jaksa."Oh baik, maaf," jawab Ariyanto."Pertanyaan belum selesai, Saudara sudah tidak tahu," kata jaksa."Maaf, Pak," timpal Ariyanto.Adapun dalam kasusnya, Majelis Hakim yang menjatuhkan vonis lepas dalam perkara persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) didakwa menerima suap dan gratifikasi. Majelis Hakim tersebut yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.Ia didakwa menerima suap bersama-sama dengan eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, dan mantan Panitera Muda PN Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan.Kelimanya didakwa menerima total uang suap sebesar Rp 40 miliar dalam menjatuhkan vonis lepas perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.Dalam dakwaannya, jaksa menyebut uang diduga suap tersebut diterima dari dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafe'i selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.Uang suap senilai Rp 40 miliar itu kemudian dibagi-bagi oleh Arif, Wahyu, dan tiga orang hakim yang mengadili perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.Rinciannya, yakni Arif didakwa menerima bagian suap sebesar Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima sekitar Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam Syarief dan Ali Muhtarom masing-masing mendapatkan bagian uang suap senilai Rp 6,2 miliar.Untuk Arif, ia didakwa dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Sementara itu, Wahyu didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Kemudian, Djuyamto, Agam, dan Ali didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.