Porsi MBG dalam Anggaran Pendidikan Mengkhianati Konstitusi

Wait 5 sec.

Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA – Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp757,8 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 atau naik dari Rp724,3 triliun pada APBN 2025. Sayangnya, alokasi anggaran pendidikan yang disebut Presiden Prabowo Subianto “terbesar sepanjang sejarah” ini dianggap belum tepat untuk membenahi pendidikan di Indonesia.Awalnya, hampir setengah dari anggaran pendidikan RAPBN 2026 tepatnya Rp335 triliun akan dialokasikan ke program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, dalam keterangan terbaru, pemerintah mengoreksi alokasi anggaran pendidikan dalam Rancangan APBN 2026 untuk porsi program MBG. Semula porsi MBG Rp335 triliun, turun menjadi Rp223,6 triliun.“MBG yang masuk dalam anggaran pendidikan adalah Rp223,6 triliun berdasarkan jumlah siswa dan santri yang akan menikmati MBG di 2026, sebesar 71,9 juta siswa dan santri,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat dengan Badan Anggaran DPR, Kamis 21 Agustus lalu.Dia menjelaskan, target MBG untuk ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia dini nantinya masuk dalam kategori anggaran kesehatan Rp24,7 triliun, dan Rp19,7 triliun adalah anggaran fungsi ekonomi. Menkeu menegaskan bila alokasi anggaran pendidikan dalam RAPBN 2026 tetap meningkat dari tahun 2025. “Dari Rp757,8 triliun (alokasi pendidikan dalam RAPBN 2026), ini artinya naik 9,8 persen dibandingkan tahun 2025 yang outlook-nya ada Rp690 triliun,” imbuhnya.Bila dibandingkan presentasi Menkeu Sri Mulyani sebelumnya pada Jumat 15 Agustus, memang terdapat kenaikan alokasi anggaran pendidikan pada penerima manfaat guru, dosen dan tenaga pendidikan. Awalnya anggaran tersebut Rp178,7 triliun, naik menjadi Rp274,7 triliun. “Dari anggaran pendidikan yang langsung dinikmati oleh dosen, guru dan tenaga pendidik adalah Rp274,7 triliun, ini juga kenaikan dari tahun sebelumnya,” ungkap Sri Mulyani.Tapi, kenaikan ini hanya terjadi pada guru, dosen dan tenaga pendidik berstatus ASN dengan rincian pada Transfer Profesi Guru ASN Daerah semula Rp68,7 triliun menjadi Rp69 triliun. Lalu, Transfer Profesi Guru, Dosen dan Gaji Pendidik naik dari Rp82,9 triliun menjadi Rp120,3 triliun.Alokasi MBG dalam Anggaran Pendidikan Merusak Sistem PendidikanPolitik anggaran atau alokasi anggaran pendidikan pada RAPBN 2026 era Presiden Prabowo ini dinilai Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji telah menabrak konstitusi, terutama dengan mengalihkan anggaran yang begitu besar untuk MBG, sementara kewajiban konstitusional untuk pendidikan tanpa dipungut biaya malah diabaikan.Presiden Prabowo Subianto (tangkapan layar Youtube Setpres) Menurutnya, berdasarkan RAPBN 2026 Presiden Prabowo Subianto mengabaikan secara terang-terangan perintah Mahkamah Konstitusi (MK) terkait implementasi sekolah tanpa dipungut biaya. Perintah ini telah ditegaskan sebanyak dua kali, pada putusan perkara nomor 3/PUU-XXII/2024 dan kembali ditegaskan pada putusan perkara nomor 111/PUU-XXIII/2025. “Penegasan berulang ini seharusnya menjadi sinyal penting dan mendesak, namun pemerintah justru memilih memprioritaskan program MBG yang bahkan tidak diamanatkan dalam konstitusi,” kata Ubaid, Senin 25 Agustus 2025.Dia menegaskan, alokasi program MBG yang mencaplok alokasi anggaran pendidikan akan merusak sistem pendidikan di Indonesia. “Apalagi sudah merusak kemudian dilegitimasi seakan-akan memperbaiki itu bahaya sekali ya. Anggaran MBG itu jangan diambil dari anggaran pendidikan lah,” tukasnya.“Artinya, kalau dikait-kaitkan dengan pendidikan maka semua bisa terkait, misalnya membangun jembatan juga bisa menyangkut dunia pendidikan karena anak-anak sekolah melalui jembatan. Jadi kalau bangun jembatan menggunakan anggaran pendidikan dengan alasan anak-anak lewat situ kalau berangkat sekolah, ya ini beda, ini urusan pekerjaan umum, kementerian yang lain,” sambung Ubaid.Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, mengungkapkan, seharusnya anggaran pendidikan yang besar bisa difokuskan untuk mengatasi persoalan kekurangan guru dan kerusakan sekolah khususnya di daerah 3T yang selama ini berdampak besar pada kualitas pendidikan. “Anak-anak kesulitan memahami materi pelajaran, angka putus sekolah melonjak, dan kesenjangan pendidikan antara kota dan pelosok makin melebar. Jika dibiarkan, hal ini akan melahirkan ketidakadilan sosial dan menghambat pembangunan sumber daya manusia Indonesia,” tuturnya.“Jadi kami melihat anggaran pendidikan yang sangat fantastis ini angkanya mencapai Rp757 triliun dari APBN, tetapi sebenarnya tidak dinikmati dan belum berdampak pada kesejahteraan guru non-ASN,” tambahnya.Iman menyatakan, pihaknya telah membuat daftar persoalan mendasar pendidikan dan guru yang harus dibenahi dan dibiayai—bahkan ada yang belum disentuh pemerintah, seperti belum ada standar upah minimum guru non-ASN dan honorer sebagaimana amanat UU tentang Guru dan Dosen, pembenahan kemampuan matematika, literasi dan sains siswa Indonesia yang terbukti dari hasil PISA (Programme for International Student Assessment) bahwa skor literasi dan numerasi siswa Indonesia relatif rendah dibanding rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).“Peningkatan kompetensi guru. 1,4 juta guru dan belum mendapat tunjangan profesi. Selain itu, pemerintah juga belum merealisasikan Putusan MK tentang pendidikan dasar gratis di sekolah dan madrasah swasta. Namun pemerintah malah bikin Sekolah Rakyat, sekolah SMA Unggul Garuda yang ditafsirkan sebagai implementasi itu, menggratiskan sekolah secara bertahap. Padahal itu bukan makna dari Putusan MK,” beber Iman.Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti menambahkan, anggaran MBG seharusnya dapat dialokasikan untuk menutupi kekurangan pembiayaan dalam mengimplementasikan Putusan MK. Sebab, program MBG tidak terlalu diperlukan bagi murid dan sekolah yang berada di lingkungan kota besar, sehingga memungkinkan untuk dialokasikan ke sektor lain yang lebih mendesak. “Untuk di wilayah tertentu yang memang membutuhkan MBG bisa diprioritaskan. Tetapi, untuk yang di kota besar, mungkin bisa dialokasikan untuk mendukung Putusan MK,” ungkapnya.Hal yang sama dikemukakan peneliti ICW, Dewi Anggareni. Menurutnya, pemerintah seharusnya memenuhi kebutuhan anggaran untuk mengimplementasikan pendidikan dasar gratis. Salah satu caranya, dengan mengatur ulang alokasi anggaran di program yang tidak mendesak. Salah satunya adalah MBG yang dinilai bukan prioritas dan cenderung membebani anggaran negara.Dia menjelaskan anggaran pendidikan di 2025 dari APBN mewajibkan minimal 20 persen dialokasikan kepada sektor pendidikan. Masalahnya 29 persen dari alokasi anggaran pendidikan berada untuk pembiayaan program MBG. “Ini tidak tepat. Makanya kami menyarankan dialokasikan, atau kalau perlu dihentikan saja MBG,” ujar Dewi.Pemerintah harus Pertimbangkan Skema Pembiayaan MBG dari Sumber LainDekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Achmad Hidayatullah, menilai, program MBG sebenarnya memiliki dampak positif, baik bagi peningkatan gizi peserta didik maupun penciptaan lapangan kerja baru. Namun, dia menyoroti besarnya porsi anggaran MBG yang diambil dari pos pendidikan.“Yang menjadi catatan dan perdebatan di masyarakat, ketika anggaran MBG itu diambil dari alokasi anggaran pendidikan. Jika benar, maka anggaran untuk beasiswa, kesejahteraan guru dan dosen, riset, serta infrastruktur pendidikan masih kecil,” tandasnya.Menurut dia, pemerintah perlu menjelaskan lebih rinci skema pembiayaan MBG dan mempertimbangkan sumber pendanaan lain. Sebab, amanat konstitusi mengenai alokasi minimal 20 persen APBN untuk pendidikan harus tetap dijaga secara substansial, bukan hanya formalitas angka.Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana melihat langsung anak-anak sekolah penerima manfaat di Semarang, Jawa Tengah, Jumat, 22 Agustus/DOK BGN Dayat juga menyoroti masih lemahnya dukungan pendidikan di daerah tertinggal, kesejahteraan guru yang belum memadai, hingga minimnya anggaran riset di perguruan tinggi. “Kalau dibandingkan negara maju, anggaran pendidikan kita bukan hanya kecil, tapi juga terhambat kerumitan administrasi,” tuturnya.Di sisi lain, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, optimistis bila alokasi anggaran pendidikan dalam RAPBN 2026 yang besar akan berdampak nyata pada mutu pendidikan, termasuk sarana dan prasarana yang lebih baik, peningkatan kesejahteraan dan pelatihan guru dan bantuan bagi pelajar melalui PIP.Dia juga memastikan bahwa berbagai program strategis, termasuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), akan tetap tersalurkan sebagaimana mestinya. “Mudah-mudahan dengan anggaran ini, pendidikan kita bisa lebih maju dan semakin banyak langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia,” imbuhnya.Mu’ti menerangkan, dalam anggaran pendidikan 2026 juga mengalokasikan bantuan insentif guru non-ASN, bantuan subsidi upah (BSU) guru non-formal (PAUD), dan insentif bagi 12.500 guru untuk menempuh jenjang pendidikan S1. Subsidi upah diberikan kepada 253.470 guru PAUD non-formal, senilai Rp600.000 untuk total dua bulan. “Total BSU sebesar Rp125 miliar telah ditransfer langsung ke rekening masing-masing guru,” ungkapnya.Sementara itu, insentif guru non-ASN totalnya sebesar Rp2,1 juta. Insentif ini diberikan kepada 341.248 guru, ditransfer gelontoran ke rekening masing-masing guru untuk total tujuh bulan. “Program-program tersebut merupakan terobosan pemerintah, dan sekaligus kado Bapak Presiden Prabowo untuk para guru,” tambah Mu’ti.Selain insentif guru non-ASN, bantuan jenjang pendidikan, dan subsidi upah, Kemendikdasmen juga meningkatkan jumlah revitalisasi dan renovasi bangunan sekolah hingga 32,4 persen. Tahun lalu, revitalisasi dan renovasi sebanyak 10.395 sekolah, sekarang menjadi 13.763 sekolah. Mendikdasmen juga mengklaim bila tahun ini pihaknya mulai melakukan digitalisasi pendidikan, termasuk meningkatkan pelatihan guru untuk terampil dalam hal kepemimpinan, pembelajaran mendalam, dan kecerdasan buatan.