Implementasi Putusan MK Lebih Mendesak Dibandingkan Sekolah Rakyat

Wait 5 sec.

Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 dianggap memberikan terobosan baru terkait akses mendapatkan pendidikan dasar bagi seluruh warga negara Indonesia. Bagaimana tidak, melalui putusan itu, MK memerintahkan pemerintah menjamin pendidikan dasar mulai SD hingga SMP tanpa biaya baik di sekolah negeri maupun swasta.Putusan 3/2024 itu dikeluarkan setelah MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI.Hakim Konstitusi Enny Nurbayanti mengatakan, frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menimbulkan multitafsir dan perlakuan diskriminatif. Multitafsir dan diskriminatif itu membatasi warga negara untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan teknologi, seni, serta budaya guna meningkatkan kualitas hidup.Dia menjelaskan, Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah menjamin seluruh warga negara memperoleh hak mendapat pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup. Namun, Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 dianggap bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat apabila tidak dimaknai “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar”.“Tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat,” tegas Enny saat membacakan pertimbangan Putusan 3/2024, Selasa 27 Mei lalu.Sayangnya, putusan MK itu bak angin lalu-setidaknya hingga saat ini-bagi Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang memilih menggeber program Sekolah Rakyat mulai Juli 2025. Program ini menyasar anak-anak keluarga tidak mampu untuk mendapatkan pendidikan, nutrisi, dan pembinaan karakter secara terpadu.Menurut presiden, program Sekolah Rakyat bukan semata-mata pembangunan infrastruktur pendidikan, melainkan juga strategi untuk mengangkat taraf hidup masyarakat kurang mampu. Nantinya, anak-anak yang tergolong dalam keluarga miskin dan miskin ekstrem, berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), khususnya pada desil 1 dan desil 2 (kategori paling miskin) akan menjadi siswanya.Kategori desil 1 adalah kelompok dengan tingkat kesejahteraan terendah atau 10 persen terbawah dalam populasi rumah tangga nasional, dengan penghasilan kurang dari Rp800 ribu per bulan. Desil 2 mencakup penghasilan antara Rp800 ribu-Rp1,2 juta.Pembangunan Sekolah Rakyat (SR) di Maluku Utara/DOK FOTO Kementerian PU  Konsep Sekolah Rakyat ini tentu mengingatkan program SD Inpres yang digagas Presiden Soeharto pada awal 1970-an. SD Inpres hadir untuk memperluas akses pendidikan dasar, terutama bagi anak keluarga kurang mampu dan wilayah terpencil. Anak-anak usia 7–12 tahun diberi kesempatan mengenyam pendidikan di SD Inpres, lengkap dengan dukungan fasilitas seperti tenaga pengajar, buku pelajaran, serta sarana pembelajaran lainnya.Dikutip dari laman Indonesia.go.id, program SD Inpres mulai digulirkan setelah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1973 tentang Pembangunan SD dalam kerangka Pelita II. Selama 1973 hingga 1995, pemerintah berhasil membangun sekitar 150 ribu unit SD Inpres dan menempatkan lebih dari 1 juta guru. Total anggaran mencapai Rp6,5 triliun hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I). Atas keberhasilan program tersebut, pada 19 Juni 1993 Presiden Soeharto menerima penghargaan The Avicenna dari UNESCO. Nama penghargaan ini diambil dari tokoh ilmuwan Muslim abad ke-10, Ibnu Sina.Meski secara sekilas memiliki kemiripan, program Sekolah Rakyat dan SD Inpres punya perbedaan mendasar. Dari sisi tujuan, Sekolah Rakyat untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem dan memutus rantai kemiskinan antar generasi dengan menyasar anak dari keluarga desil 1 dan 2. Sementara SD Inpres justru menyasar golongan yang lebih luas karena bertujuan meratakan akses pendidikan dasar ke seluruh wilayah Indonesia dan menekan angka buta aksara. Artinya, program SD Inpres era Orde Baru yang menggunakan model sekolah dasar reguler yang dibangun untuk perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan lebih mampu akses pendidikan bagi jutaan anak.Pelaksanaan Putusan MK Lebih Efektif Mengurangi Angka Anak Putus SekolahKebijakan Presiden Prabowo yang lebih memprioritaskan program Sekolah Rakyat dibanding implementasi Putusan MK No 3/2024 ini disorot Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. Menurutnya, seharusnya pemerintah segera mengambil langkah konkret dalam menjalankan program sekolah gratis seperti diamanatkan oleh putusan MK. Pasalnya, putusan tersebut merupakan instruksi langsung kepada negara untuk memastikan terpenuhinya hak dasar pendidikan bagi anak-anak. Sementara program Sekolah Rakyat justru hanya akan menjadikan sekolah sebagai institusi yang eksklusif dan dihuni oleh anak-anak berdasarkan kasta atau kelas sosial-ekonomi tertentu.Dia menambahkan, program Sekolah Rakyat justru mengingatkan pada kebijakan pendidikan di era kolonial, di mana saat itu ada sekolah khusus anak keturunan penjajah, sekolah khusus pribumi, sekolah untuk para ningrat, dan sekolah untuk rakyat. Dengan begitu, Sekolah Rakyat justru akan memperkuat masalah ketimpangan kelas dan memperburuk akses pendidikan yang berkeadilan bagi seluruh anak Indonesia.“Kita ini sudah merdeka, mengapa sistem kasta dan segragasi era kolonial, kita praktikkan dan tanamkan kembali di sekolah-sekolah. Kita sudah punya pasal 31 UUD 1945 yang menyetarakan hak semua anak Indonesia, tapi mengapa perintah punya ide untuk memberikan layanan yang diskriminatif berdasarkan kasta dan prestasi,” ujar Ubaid.Sejumlah aktivis dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia berjalan sambil membentangkan spanduk dan poster di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (7/7/2024). (ANTARA/Asprilla Dwi Adha/tom/am)  Dia mengatakan, implementasi Putusan MK akan mendorong layanan pendidikan lebih bersifat inklusif, tidak seperti Sekolah Rakyat yang cenderung diskriminatif karena memisahkan siswa berdasarkan latar belakang sosial dan ekonomi. “Daripada menyelenggarakan kebijakan instan, pemerintah seharusnya membuat kebijakan strategis dan terstuktur dengan baik karena rakyat menginginkan semua sekolah kualitasnya unggulan alias terjamin mutunya dengan baik. Jadi sekolah di mana saja adalah sekolah terbaik,” imbuhnya.Ubaid menegaskan, Putusan MK sebenarnya sudah memberikan angin segar kepada sekolah swasta yang saat ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Selama ini sekolah swasta hanya mengandalkan dana dari siswa atau orang tua murid dan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Karena itu, dengan adanya Putusan MK maka sudah saatnya negara harus hadir untuk memastikan distribusi penganggaran juga sampai ke sekolah-sekolah swasta.“Alih-alih mendirikan sekolah baru, upaya pemerintah merevitalisasi sekolah yang sudah ada jauh lebih penting. Sistem pendidikan harus didesain agar terbuka kepada semua. Selain itu, pemerintah juga bisa lebih meningkatkan kualitas guru atau membuat kurikulum sesuai dengan zaman ini,” tukasnya.Dosen Program Studi Manajemen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (FISIP UGM), Dr Subarsono juga menilai program Sekolah Rakyat belum terlalu mendesak untuk dilaksanakan. Dia mengungkapkan, masih banyak sekolah konvensional yang masih butuh ditangani pemerintah, mulai dari masalah kondisi bangunan sekolah rusak hingga rendahnya gaji guru honorer. Karena itu, dia pemerintah disarankan untuk membenahi sistem hingga kualitas pendidikan dibandingkan memprioritaskan program Sekolah rakyat.“Bukan tidak efisien, tapi saya tidak yakin ketepatan untuk dilakukan saat ini. Kenapa kita tidak membenahi sistem yang sudah ada. Kan untuk sekolah itu mendapat Dana BOS dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan apabila ingin meningkatkan kualitas pendidikan bagaimana meningkatkan dana BOS, memperbaiki kurikulum, dan meningkatkan kompetensi guru,” terangnya.Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti mengakui bila putusan MK bersifat final dan mengikat. Karena itu, instansinya akan mengikuti dan melaksanakan putusan tersebut. Tapi dalam putusan itu, MK tidak menyebut kata “gratis” melainkan dibiayai negara yang sesuai dengan kemampuan finansial pemerintah.Selain itu, putusan MK juga menyebut sekolah swasta masih diperbolehkan untuk memungut biaya dari masyarakat. Kemendikdasmen, juga telah melakukan rapat dengan kementerian lain untuk membahas lebih lanjut putusan tersebut. Mu'ti berkilah, secara pelaksanaan sebetulnya pemerintah telah melaksanakan putusan, yaitu dengan memberikan bantuan biaya pendidikan seperti dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang berlaku bagi seluruh murid di sekolah negeri atau swasta.“Kemudian, dana program Indonesia pintar (PIP) untuk murid dengan kategori tidak mampu di tingkat sekolah dasar hingga menengah atau kartu Indonesia pintar (KIP) bagi mereka yang menempuh pendidikan tinggi, dan bantuan sarana serta prasarana pemerintah. Kami harus mengikuti putusan Mahkamah, tapi pelaksanaannya juga harus mengikuti isi putusan,” tuturnya.Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq menambahkan, pemerintah masih melakukan kajian terkait putusan MK yang mengamanatkan pendidikan gratis selama sembilan tahun di sekolah negeri dan swasta. Sebab, pelaksanaan pendidikan tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga melibatkan peran pemerintah daerah. “Urusan pendidikan bukan kewenangan absolut pemerintah pusat, tapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah karena bersifat konkuren. Apalagi, pendidikan dasar seperti SD dan SMP,” ungkapnya.Sementara Ketua KPAI, Aris Adi Leksono, mengungkapkan bahwa putusan MK Nomor 3/2024 perlu dimasukkan sebagai substansi penting dalam revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), termasuk pasal yang mengatur pembagian pembiayaan pendidikan oleh pemerintah pusat dan daerah.Dia mengungkapkan, alokasi dana pendidikan perlu diarahkan pada kegiatan yang benar-benar meningkatkan mutu pembelajaran dan kualitas lulusan. Sebab, KPAI masih menemukan beberapa pemerintah daerah yang belum sepenuhnya mematuhi ketentuan perundangan mengenai alokasi 20 persen dari APBD untuk pendidikan.KPAI menilai salah satu implikasi dari putusan MK adalah perlunya pemerintah menghitung ulang biaya pendidikan per anak (unit cost) agar mencakup kebutuhan pembelajaran, sarana dan prasarana, serta kegiatan penunjang lainnya. Aris menambahkan, jika unit cost tersebut terpenuhi, maka praktik pungutan liar di satuan pendidikan dapat dihilangkan.“Data BPS pada 2023, tercatat sebanyak 29,21 persen anak dari total 30,2 juta anak mengalami putus sekolah. Kami optimis dengan penerapan putusan MK ini, angka putus sekolah dapat berkurang, membuka peluang lebih besar untuk mewujudkan kesejahteraan anak-anak Indonesia,” tegasnya.