Apa Itu Kepribadian Performative Male? Tidak Hanya Pakai Tote Bag dan Minum Matcha

Wait 5 sec.

Ilustrasi performative male (Pinterest/Mia Miller)YOGYAKARTA - Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh istilah performative male. Istilah ini menjadi viral di berbagai platform seperti TikTok, Instagram, hingga X. Bahkan, tren ini berkembang hingga melahirkan kompetisi di berbagai negara.Di Indonesia, kompetisi performative male digelar pada Sabtu, 2 Agustus lalu di Taman Langsat, Jakarta Selatan. Kompetisi yang diinisiasi oleh akun X @alergikiwi tersebut menetapkan Keenan Avalokita, putra dari penulis dan musisi Dewi Lestari, sebagai pemenang utama.Namun sebenarnya, apa yang dimaksud dengan performative male? Mengapa istilah ini begitu menarik perhatian, dan apa dampaknya terhadap budaya populer dan perilaku sosial, khususnya pada generasi muda?Apa Itu Performative male?Secara sederhana, performative male adalah istilah yang merujuk pada pria yang menampilkan atau mempertontonkan atribut, selera, atau perilaku tertentu yang dinilai menarik oleh perempuan. Hal itu dilakukan bukan karena minat atau kepribadian aslinya, melainkan sebagai bagian dari pencitraan diri atau semacam sandiwara identitas.Perilaku ini bisa muncul dalam banyak bentuk, seperti mengenakan kaus band indie yang bahkan belum pernah didengarnya, membaca literatur feminis di tempat umum, memakai tote bag, minum matcha, atau memainkan gitar akustik di taman sembari berbicara tentang filsafat atau politik.Intinya, aksi-aksi tersebut dilakukan di depan umum dan seringkali ditujukan untuk diposting di media sosial, bukan semata karena memang bagian dari identitas diri.Melansir Esquire, fenomena performative male muncul dari generasi Z, terutama pria usia 20-an, yang aktif di TikTok dan Instagram. Dalam upaya menampilkan diri sebagai sosok pria yang open-minded, sensitif, intelektual, dan artistik, banyak dari mereka sengaja mengadopsi selera dan gaya hidup yang diasosiasikan dengan kepekaan dan kedewasaan emosional.Hal itu diyakini sebagai daya tarik bagi perempuan modern yang menginginkan pasangan dengan kemampuan komunikasi emosional dan perspektif progresif. Namun, di balik semua itu, ada semacam kegelisahan akan orisinalitas.Banyak netizen mulai mempertanyakan, apakah perilaku tersebut benar-benar mencerminkan siapa mereka sebenarnya, atau hanya menjadi strategi untuk menarik perhatian? Di sinilah istilah performative male mengambil posisi satir sekaligus kritis.Dalam praktiknya, fenomena ini sering digunakan sebagai bahan candaan di media sosial. Misalnya, meme tentang pria yang bertanya, “Apa album Clairo favoritmu?” sambil menyeruput matcha dan menyodorkan kamera sekali pakai, telah menjadi template umum dari citra performative male.Begitu pula pria yang mengikat mainan labubu di pinggangnya, dengan kupluk tergulung setengah dan kumis terawat rapi, sering dijadikan contoh dari tren ini. Namun ironisnya, meski banyak yang mengolok-oloknya, tetap saja tren ini diikuti.Apakah Kamu Termasuk Performative male?Pertanyaan ini menjadi refleksi banyak pria muda saat ini. Apakah mereka benar-benar menyukai hal-hal tersebut, atau hanya melakukannya untuk tampil relevan di hadapan publik, terutama perempuan?Dilansir dari Stuff.co.nz, tes sederhana di bawah ini bisa membantu mengenali kecenderungan ini:Apakah kamu pernah membiarkan selera perempuan memengaruhi selera musikmu?Apakah kamu berpura-pura menyukai buku atau film tertentu agar terlihat “berwawasan”?Apakah kamu mengikuti tren hanya karena ingin mendapat validasi sosial?Apakah kamu merasa perlu tampil dengan gaya tertentu di media sosial agar terlihat menarik?Jika jawabannya “ya” pada beberapa poin, bisa jadi kamu termasuk dalam kategori performative male, meski bukan berarti ini sepenuhnya buruk.Fenomena performative male menunjukkan betapa identitas maskulin sedang mengalami pergeseran di era modern. Di antara upaya untuk melepaskan diri dari stereotip maskulinitas tradisional, dan dorongan untuk tetap relevan di ruang digital, muncul perilaku yang kompleks dan terkadang paradoks.Bukan sekadar gaya atau tren, performative male mencerminkan bagaimana generasi muda menavigasi identitas, emosi, dan pencitraan diri di era media sosial yang serba visual dan cepat berubah.Apakah ini bentuk ekspresi diri yang sehat, atau hanya pencitraan kosong? Mungkin jawabannya ada pada seberapa tulus kita dalam menjalani identitas yang kita pilih.