Presiden Prabowo Subianto berpidato di depan para pekerja pada peringatan Hari Buruh Internasional di Monas, Jakarta, 1 Mei 2025. Donny Hery/Shutterstock● Prabowo melabeli aksi protes yang dilakukan masyarakat sipil sebagai tindakan makar dan terorisme.● Label tersebut mengancam nilai-nilai demokrasi dan mengganggu penerapan hukum pencegahan terorisme.● Tuduhan Prabowo justru bisa memprovokasi kekerasan lanjutan. Dalam merespons serangkaian demonstrasi yang menuntut pembubaran DPR dan reformasi kepolisian, Presiden Prabowo Subianto menyebutkan adanya indikasi tindakan yang mengarah kepada makar dan terorisme. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, tindakan seperti apa yang dimaksud oleh Prabowo sebagai makar dan terorisme tersebut. Pidato lengkap Prabowo yang menyebut demonstrasi mengarah pada tindakan makar dan terorisme. Unjuk rasa yang semula damai memang berujung panas setelah Affan Kurniawan, pengemudi ojek online (21 tahun), meninggal akibat ditabrak dan dilindas oleh kendaraan taktis milik Satuan Brimob. Kejadian tersebut menyulut amarah publik, memantik aksi massa yang makin meluas di kota-kota luar Jakarta.Memang sempat terjadi pengrusakan dan pembakaran fasilitas umum dan gedung DPRD di beberapa daerah, tapi belum terbukti apakah benar dilakukan oleh massa aksi.Alih-alih meredakan amarah publik, melabeli aksi protes sebagai tindakan makar, terlebih terorisme, justru berisiko memicu kekerasan yang lebih luas. Aksi protes bukan makar dan terorismeMenurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) makar adalah tindakan dengan niat untuk melakukan perbuatan kejahatan dengan tujuan menggulingkan pemerintah yang sah atau meniadakan kemampuan memerintah presiden/wakil presiden. Aksi protes di depan gedung DPR/MPR RI oleh para aktivis dalam menolak RUU TNI yang memperluas peran militer. Jakarta, 20 Maret 2025. Toto Santiko Budi/Shutterstock Namun, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam laporannya menyebutkan bahwa pengertian makar dalam KUHP ini bersifat sangat luas sehingga berpotensi membatasi ekspresi politik warga. Mayoritas penggunaan pasal-pasal makar justru menyasar kepada ekspresi politik, baik kebebasan berpendapat maupun kebebasan berekpresi.Dalam unjuk rasa belakangan ini, seruan pembubaran DPR memang menggema menjadi salah satu tuntutan massa. Namun, tuntutan ini adalah bentuk kritik masyarakat terhadap kenaikan tunjangan DPR di tengah gaung efisiensi anggaran dan kinerja yang tidak memuaskan.Terlebih, beberapa anggota DPR justru merespons kritik tersebut dengan komentar bernada menghina—semakin menguatkan kekecewaan masyarakat terhadap lembaga ini. Jelas, pelabelan aksi protes sebagai tindakan makar sangat tidak berdasar, apalagi menyebutnya sebagai aksi terorisme. Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 2018, terorisme tergolong kejahatan serius yang dapat membahayakan ideologi, keamanan, dan kedaulatan negara.“Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.” Di Indonesia, label teroris selama ini ditujukan pada kelompok ekstremis Islam, seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Jamaah Islamiyah (JI). Didasari oleh ideologi agama, ketiga kelompok ini telah melakukan teror berskala besar.Sebagai contoh, kelompok JI terbukti sebagai dalang dari peristiwa Bom Bali 2002 yang telah menewaskan lebih dari 200 korban jiwa.Menyamakan demontrasi oleh mahasiswa dan kelompok sipil sebagai kejahatan besar seperti ketiga kelompok ekstremis tersebut dapat mengancam nilai-nilai demokrasi dan berpotensi mengganggu penerapan hukum pencegahan terorisme itu sendiri. Bahaya tuduhan terorismeIndonesia perlu belajar dari label terorisme yang memicu penangkapan banyak demonstran di negara lain. Sebagai contoh, Inggris menangkap ratusan demonstran yang sedang memajang dukungan terhadap Palestina. Ini terjadi karena Undang-Undang Terorisme Inggris menganggap aksi Palestina (Palestine Action) sebagai tindakan teror. Pasukan gabungan militer dan kepolisian sedang melakukan simulasi penanganan terorisme selama Asian Games ke-18 di Jakarta Selatan pada 18 Juli 2019. BahbahAconk/Shutterstock Penggunaan hukum terorisme didasari oleh beberapa aksi penyerangan ke pangkalan militer yang oleh demonstran dipercaya telah berkontribusi dalam genosida di Gaza.Pelabelan terorisme juga diberikan oleh pemerintah Georgia, Amerika Serikat, kepada 42 aktivis yang menolak pembangunan fasilitas pelatihan polisi di sebuah hutan di Atlanta Tenggara yang merusak lingkungan. Atas dugaan perusakan properti dan pelanggaran hukum saat berunjuk rasa, para aktivis lingkungan tersebut telah didakwa dengan “terorisme domestik” berdasarkan hukum negara bagian Georgia, AS. Dalam konteks pelarangan ini, siapa saja bisa ditangkap atas dugaan tindak pidana terorisme, meskipun hanya karena menggunakan haknya untuk membela kelompok yang sedang ditindas.Potensi kekerasan lanjutanUntuk meredam suasana demo yang semakin memanas, presiden seharusnya hadir dengan membuka dialog dan menjawab tuntutan-tuntutan massa aksi.Melabeli aksi tersebut sebagai tindakan makar dan terorisme hanya akan memperburuk suasana dan berpotensi memicu kekerasan yang lebih luas. Ada dua konsekuensi jika label makar dan terorisme terus digaungkan di tengah aksi protes oleh masyarakat:1. Membenarkan tindakan kekerasan oleh TNI-PolriMakar dan terorisme adalah aksi kriminal. Jika aksi protes dilabeli sebagai makar dan terorisme, maka kekerasan yang dilakukan oleh TNI-Polri kepada massa aksi dianggap sebagai tindakan untuk melawan tindakan kriminal.Hal ini kemudian diperkuat dengan instruksi Prabowo untuk menindak tegas para pendemo yang melanggar hukum.Dalam praktiknya, “tindakan tegas” seringkali diterjemahkan aparat sebagai aksi kekerasan yang ditujukan pada siapa saja. Poster penolakan Rancangan Undang-Undang TNI dan perluasan peran militer di Jakarta, pada 20 Maret 2025. Toto Santiko Budi/Shutterstock Terbukti, setelah instruksi Prabowo itu, rekaman video yang tersebar di media sosial pada Selasa, 2 September 2025, memperlihatkan TNI dan Polisi menembakkan gas air mata ke mahasiswa di dekat Universitas Islam Bandung (Unisba). 2. Semakin menyulut kemarahan publik Melabeli demo masyarakat sebagai makar dan terorisme juga menambah deretan kekecewaan masyarakat pada pemerintah dan justru berpotensi memicu gelombang protes yang lebih besar.Semakin besar massa aksi, semakin besar pula kemungkinan terjadi kericuhan dan penggunaan cara-cara kekerasan oleh aparat untuk memukul mundur massa.Pelabelan makar dan terorisme justru memperlihatkan bahwa pemerintahlah yang memprovokasi kericuhan. Padahal, jika pemerintah bersedia membuka dialog dan menjawab tuntutan massa, segala bentuk kekerasan tidak akan pernah ada. Rani Dwi Putri tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.