Angklung Menggema di CHANDI 2025, Musik dari Harmoni Bambu hingga Diplomasi Budaya Indonesia

Wait 5 sec.

Ilustrasi angklung di gelaran CHANDI 2025. (dok. Kemenbud)JAKARTA - Instrumen bambu bernama angklung bukan hanya alat musik, melainkan juga cermin sejarah panjang masyarakat agraris di Nusantara. Bunyi khasnya lahir dari doa dan rasa syukur petani padi, jauh sebelum tampil di panggung modern.Di balik denting bambu yang sederhana, tersimpan filosofi kebersamaan, yakni satu tabung tak menghasilkan harmoni, tetapi bersama-sama ia membentuk melodi yang memikat.Dalam rangkaian Culture, Heritage, Art, Narrative, Diplomacy, and Innovation (CHANDI) 2025 di The Meru Sanur, Bali, 3–5 September 2025, angklung kembali diperdengarkan lewat lokakarya yang dipandu oleh Ika Yunus, pegiat budaya yang aktif memperkenalkan angklung di kancah internasional. Peserta tidak hanya diajak memahami sejarah dan filosofi angklung, tetapi juga berkesempatan membuat sekaligus memainkan instrumen ini secara langsung.“Angklung awalnya instrumen sakral dalam tradisi pertanian. Ia lahir dari doa, bukan dari panggung konser,” tutur Ika di Denpasar. Ia juga menyinggung perjalanan angklung sejak Daeng Soetigna memperkenalkan sistem nada diatonis dan kromatis, hingga tampil memukau dalam Konferensi Asia Afrika 1955, yang menegaskan angklung sebagai simbol diplomasi budaya Indonesia.Lebih dalam, Ika membahas soal pemilihan bahan. Bambu hitam atau awi hideung berusia 3–5 tahun disebut sebagai “usia emas” karena menghasilkan resonansi terbaik. “Kalau terlalu muda suaranya mendem, kalau terlalu tua bunyinya mati,” jelasnya.Suasana lokakarya semakin hidup saat para peserta mencoba membuat angklung sendiri dengan melilitkan rotan, lalu memainkan nada sesuai kode. Dari sana, lahirlah harmoni sederhana yang menggema dan menyatukan semua.“Angklung kini lebih dari sekadar musik tradisi. Ia adalah jembatan persahabatan antarbangsa, dengan pesan abadi: persatuan dan kerja sama melahirkan keindahan,” tutup Ika.