Freeport di Indonesia: Kisah Panjang Kerusakan Lingkungan Hidup dan Pemiskinan di Papua

Wait 5 sec.

Potret penambangan yang dilakukan Freeport di Grasberg, Mimika, Papua. (Wikimedia Commons)JAKARTA - Tiada yang meragukan eksistensi Soeharto dan Orde Baru (Orba) melawan krisis ekonomi. Mereka punya siasat buka keran investasi asing. Kondisi itu dimanfaatkan oleh Freeport McMoran. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu ingin mengeruk sumber daya alam Papua dan berhasil.Kehadirannya membuat Freeport dan penguasa Orba untung. Namun, tidak dengan masyarakat adat di Papua. Kehadiran Freeport dianggap bawa petaka. Alih-alih Freeport hanya merusak alam, perusahaan itu jadi biang keladi kemiskinan yang menjamur.Usaha pemerintah Soeharto dan Orba keluar dari krisis peninggalan Orde Lama tak mudah. Empunya kuasa berusaha mengubah kiblat Indonesia yang dulunya condong ke blok timur (Uni Soviet) ke blok barat (Amerika Serikat dan Sekutunya). Narasi itu membuat Indonesia bak menyerahkan diri kepada sistem kapitalis – kekuatan modal.Keran investasi dibuka lebar. Kondisi itu membuat perusahaan besar dunia tertarik masuk ke Indonesia. Ketertarikan paling nyata muncul dari tokoh pertambangan dunia sekaligus pengusaha, James Robert Moffett.Pendiri perusahaan tambang, McMoran Exploration (kemudian jadi: Freeport McMoran) itu tertarik menambang di bumi Papua. Investasi besar digelontorkannya untuk mengeruk tembaga dari bumi Papua dan berhasil.Presiden Indonesia era 2014-2024, Joko Widodo (Jokowi) kala berkunjung ke tambang Grasberg Freeport. (Wikimedia Commons)Freeport pun mulai beroperasi di Ertsberg, Mimika, Papua. Suatu kawasan penambangan pertama yang ditemukan dan dieksploitasi oleh Freeport sedari 1967. Kemudian, Freeport pun menemukan lokasi baru yang kemudian dikenal sebagai Grasberg.Suatu kompleks pertambangan besar yang punya timbunan emas, perak, hingga tembaga besar. Potensi keuntungan Freeport kala itu bisa mencapai 1,8 miliar dolar AS per tahun. James menegaskan tambangnya akan membawakan kebaikan bagi rakyat Papua dan Indonesia – utamanya suku adat setempat.Pemerintah Indonesia terbuai. Izin eksploitasinya tak diganggu, bahkan ditambah. Semuanya karena Freeport menjelma jadi pembayar pajak terbesar di Indonesia era Orba. Freeport pun digadang-gadang membuka banyak lapangan pekerjaan. Sekalipun narasi itu jadi bahan kritikan karena penuh masalah.“Namun, lebih gemerlap lagi bagi Freeport sendiri. Hanya beberapa tahun setelah berproduksi, pada 1973, Freeport berhasil mengantongi perolehan bersih 60 juta dolar AS dari tembaga yang ditambangnya.”“Dan mujur bagi Freeport, pada 1988, yakni 18 tahun sebelum sewa tambangnya usai, perusahaan itu menemukan Grasberg--timbunan emas, perak, dan tembaga senilai 60 miliar dolar AS--tak jauh dari lokasi penambangan semula. Dan mendatangkan rezeki sekitar 1,8 miliar dolar AS untuk perusahaan itu setiap tahunnya,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Freeport: Berkah dan Kutukan (1999).Petaka Lingkungan dan MasyarakatMasyarakat adat menganggap kebaikan Freeport hanya menyentuh segelintir masyarakat saja. Itupun mayoritas keuntungan dinikmati oleh pejabat dan politisi. Masyarakat setempat menganggap kehadiran Freeport justru banyak membawa mudarat, ketimbang manfaat.Ancaman kerusakan lingkungan hidup yang dialami oleh masyarakat adat Papua, seperti suku Amungme cukup besar. Pembuangan tailing (limbah) yang sembarang ke Sungai Ajkwa dan Danau Wanagon bawa petaka. Sumber kehidupan mereka hancur lebur, dari sumber pangan hingga pekerjaan.Pengamat lingkungan hidup, Yani Sagaroa pun angkat bicara. Ia menganggap persoalan dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan Freeport sangat spektakuler. Citra itu bukan cuma hadir di Indonesia, tapi di seluruh dunia.Eksploitasi pertambangannya dilakukan secara masif. Kondisi itu membuat daya rusak Freeport tak main-main. Proses kemiskinan yang terjadi akibat tambang luar biasa. Urusan tailing yang dibuang – mencapai 40 juta ton per tahun tak main-main daya rusaknya.Mantan Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) era 2008-2012 itu menganggap Freeport dipandang sebagai perusak oleh masyarakat adat setempat. Pangan yang memburuk. Kemiskinan yang luar biasa. Belum lagi tingkat kesehatan masyarakat ikutan jadi buruk.Sisi lainnya perekrutan pekerja tambang terkesan diskriminatif. Pekerja kebanyakan didatangkan dari luar Papua, bahkan luar Indonesia. Kondisi itu membuat hajat hidup warga setempat jatuh pada titik terendah. Mereka bak terus dipaksa hidup dalam kemiskinan.Kondisi itu membuat Yani menegaskan kembali bahwa tidak pernah ada cerita masyarakat di sekitar tambang bisa sejahtera. Ia menegaskan pertambangan di Indonesia seraya dirancang hanya membuat pemodal untung dan rakyat jadi korban.Khususnya, kala berbicara soal Freeport. Kisah yang bisa dirangkum dari dinamika pertambangan Freeport adalah warisan besar dari kerusakan lingkungan hidup dan pemiskinan masyarakat asli.“Masyarakat di sekitar wilayah pertambangan Freeport tetap dalam situasi hidup yang miskin. Tentu ada banyak sekali masyarakat yang menolak untuk menyerah terhadap situasi itu. Mereka tetap melakukan perlawanan, salah satunya suku Amungme, saya mengenal perjuangan dari Mama Yosefa Alomang. Suatu perjuangan yang penuh tragedi yang dilakukan oleh kawan-kawan di Papua.”“Ada juga perjuangan Tom Beanal dan lainnya. Itu sekilas konflik yang terjadi. Pun setelah kepemilikan saham mulai diambil beberapa oleh Indonesia kondisi tak banyak berubah. Suku Amungme memang belakangan mendapatkan akses konsesi lahan. Namun, hal itu tak sebanding dengan sumber daya alam yang begitu dahsyat diambil dari bumi Papua,” ujar Yani Sagaroa kala dihubungi VOI, 8 September 2025.