Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Salivanchuk Semen/ShutterstockPelayanan kesehatan kepada pasien oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan adalah pelayanan yang didasarkan pada standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, dan etika profesi. Setiap penyimpangan terhadap standar dan etika dalam pelayanan kesehatan berpotensi menimbulkan pelanggaran disiplin profesi yang dapat berkembang menjadi sengketa medis. Karena itu, penting bagi tenaga medis dan pasien untuk memahami prosedur penyelesaian sengketa medis di Indonesia.Pengertian dan Jenis PelanggaranUndang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) Pasal 304–310 mengatur bahwa tenaga medis (dokter) dan tenaga kesehatan (perawat atau profesi lain selain dokter) yang diduga melakukan pelanggaran hukum dalam pelayanan kesehatan—yang dapat dikenai sanksi pidana atau perdata—harus terlebih dahulu diperiksa oleh suatu majelis profesi.Ketentuan ini mewajibkan penyelesaian awal sengketa medis dilakukan di luar pengadilan, melalui mekanisme etik dan disiplin profesi. Adanya atau tidaknya sengketa medis ditentukan oleh hasil pemeriksaan majelis. Jika majelis menemukan pelanggaran standar atau etika profesi, sengketa medis dapat berlanjut ke proses hukum sesuai ketentuan pidana atau perdata.Majelis yang dimaksud adalah Majelis Disiplin Profesi (MDP) yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 3 Tahun 2025 tentang Penegakan Disiplin Profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.MDP berfungsi mendukung tugas Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) dalam memastikan tegaknya disiplin profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan.Ilustrasi tenaga medis. Foto: Maulana Saputra/kumparanMenurut Permenkes No. 3 Tahun 2025, pelanggaran disiplin profesi mencakup setiap tindakan keprofesian yang tidak mematuhi kewajiban disiplin dalam pelayanan kesehatan, termasuk pelanggaran terhadap standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.Jenis Pelanggaran Disiplin ProfesiJenis pelanggaran yang meliputi pelanggaran standar dan etika antara lain:Praktik tidak kompeten;Tidak merujuk pasien kepada tenaga medis atau tenaga kesehatan yang kompeten;Merujuk pasien kepada tenaga medis atau tenaga kesehatan yang tidak kompeten;Mengabaikan tanggung jawab profesi;Menghentikan kehamilan tanpa dasar hukum;Penyalahgunaan kewenangan profesi;Penyalahgunaan alkohol, obat terlarang, atau zat berbahaya;Tidak jujur atau tidak memberikan penjelasan memadai kepada pasien;Membuka rahasia kesehatan pasien tanpa izin;Melakukan perbuatan tidak patut atau asusila;Menolak atau menghentikan tindakan medis tanpa alasan;Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan;Memberikan atau meresepkan obat yang tidak sesuai indikasi;Tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis;Membuat keterangan medis tanpa dasar pemeriksaan;Ikut serta dalam penyiksaan atau tindakan kejam; dan/atauMengiklankan diri dan melakukan perang tarif.Prosedur PengaduanPihak yang dapat bertindak sebagai pengadu kepada majelis adalah pasien dan keluarganya yang meliputi suami/istri, saudara kandung, anak dan atau orang tua. Kasus yang dapat diadukan adalah belum lewat 3 (tiga) tahun sejak tanggal pengaduan, tidak pernah diputus sebelumnya, antara pengadu dan teradu ada hubungan terapeutik sebelumnya, serta tenaga medis dan tenaga kesehatan yang diadukan bukan gadungan. Pengaduan dapat disampaikan melalui pengisian formulir pada Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKN) pada link berikut https://rc.kemkes.go.id/sistem-informasi-kesehatan atau secara manual kepada MDP. Isi pengaduan setidaknya memuat identitas pengadu, nama dan alamat tempat praktik pengadu dan waktu tindakan medis yang diadukan terjadi, kronologis kejadian, lalu sebutkan jenis pelanggaran yang terjadi dengan merujuk pada 17 kategori jenis pelanggaran disiplin profesi.Ilustrasi operasi medis telerobotik. Foto: ShutterstockSelain itu, pengadu juga harus menyatakan kesediaannya untuk memenuhi panggilan sidang dan dibuka rekam medisnya. Ketika pasien mengadukan tindakan medis sebagai obyek pemeriksaan di MDP, maka berdasarkan Pasal 35 Permenkes 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, rekam medis pasien selaku pengadu dapat dibukan tanpa persetujuan pasien, namun tetap harus disamarkan namanya. Namun, dalam hal pasien sendiri telah menginformasikan isi rekam medisnya kepada media massa, maka pasien dianggap telah melepaskan haknya atas kerahasiaan rekam medisnya.Tata Cara PemeriksaanSebelum dilakukan pemeriksaan materi pengaduan oleh MDP, terlebih dahulu dilakukan dismissal process atau pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh panitera. Proses ini bertujuan untuk memverifikasi kesesuaian ketentuan dengan dokumen administrasi pengaduan.Melalui proses ini MDP dapat menyampaikan penolakan pengaduan dalam hal prosedur pengaduan tidak terpenuhi secara materil sesuai Pasal 7 ayat (2), tetapi jika hanya aspek formil dari Pasal 7 ayat (2) yang tidak terpenuhi, pengadu diberi kesempatan untuk melengkapi pengaduan sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2).Setelah berkas pengaduan lengkap, teradu yaitu tenaga medis dan tenaga kesehatan diminta menyampaikan tanggapan terhadap pengaduan pasien. Teradu dalam tanggapannya harus menguraikan kronologis, rekam medis, standar prosedur operasional, surat penugasan klinis, STR dan SIP. Tanggapan teradu tersebut harus disampaikan paling lama 5 (lima) hari sejak surat MDP diterima. Apabila setelah lewat waktu yang ditentukan tersebut, teradu tidak menyampaikan tanggapan, pemeriksaan pengaduan dilanjutkan.Ilustrasi Hukum. Foto: ShutterstockTim Pemeriksa dibentuk oleh MDP untuk setiap pemeriksaan pengaduan yang terdiri atas 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang dari Dinas Kesehatan, seorang dari profesi tenaga medis atau tenaga kesehatan, seorang dari perwakilan fasilitas pelayanan kesehatan, dan seorang dari unsur masyarakat.Syarat menjadi anggota Tim Pemeriksa adalah WNI, maksimal 65 tahun, bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan telah berpraktik dan telah memilik STR paling sedikit 10 tahun, tidak pernah dan tidak sedang menjalani sanksi disiplin etik dan hukum, serta tidak merangkap jabatan yang berpotensi konflik kepentingan.Sidang dinyatakan sah apabila tim pemeriksa lengkap, sehingga dalam hal ada anggota tim pemeriksa yang berhalangan tetap, Ketua MDP dapat menetapkan tim pemeriksa pengganti. Acara sidang pemeriksaan dilangsungkan secara luring pada kantor MDP atau kantor Dinas Kesehatan Provinsi maupun kabupaten/kota. Akan tetapi dalam hal kondisi tertentu dapat dilakukan sidang pemeriksaan secara daring.Mengenai pembuktian, alat-alat bukti dalam acara pemeriksaan pengaduan meliputi dokumen cetak dan elektronik, barang bukti, keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan teradu. Baik pengadu maupun teradu dapat mengajukan saksi atau ahli sesuai dengan kebutuhan untuk diperiksa dalam acara persidangan.Ilustrasi Hukum. Foto: ShutterstockTim Pemeriksa harus memutus pengaduan dalam waktu 60 (enam puluh) hari kalender sejak tim pemeriksa mulai melakukan pemeriksaan terhadap pengaduan, tetapi dalam hal tim pemeriksa gagal memutuskan dalam tenggat waktu tersebut, ketua MDP menetapkan Tim Pemeriksa Pengganti.Pemeriksaan juga dapat dihentikan oleh Tim Pemeriksa apabila Pengadu 2 (dua) kali tidak hadir secara berturut-turut setelah dipanggil secara patut, Teradu meninggal dunia sebelum dijatuhkan putusan dan pengaduan dicabut secara tertulis sebelum sidang pemeriksaan dimulai. Setiap Pengaduan yang dihentikan berdasarkan alasan tersebut tidak dapat diadukan kembali ke MDP.Pengambilan keputusan atas hasil pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa dilakukan secara musyawarah dalam rapat pleno MDP. Selanjutnya, setiap putusan dibacakan oleh Tim Pemeriksa dalam suatu sidang terbuka untuk umum. Pengadu dan teradu kemudian mendapat salinan putusan. Selain itu, juga disampaikan kepada Ketua KKI dan menteri.Upaya HukumTerhadap putusan Tim Pemeriksa dapat diajukan upaya peninjauan kembali (PK) kepada menteri. Upaya PK tersebut hanya boleh dilakukan sekali dan harus dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah putusan dibacakan. Alasan PK adalah ditemukan bukti baru, terdapat dugaan kesalahan penerapan Pelanggaran Disiplin Profesi atau terdapat dugaan konflik kepentingan Tim Pemeriksa degan yang diperiksa.Gedung Kementerian Kesehatan RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparanPemeriksaan PK berada di bawah wewenang Direktur Jenderal (Dirjen) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dirjen kemudian membentuk Tim Peninjauan Kembali yang semuanya merupakan aparatur sipil negara di Kemenkes yang terdiri atas unsur ahli bidang hukum, ahli bidang pelayanan kesehatan, dan ahli bidang sumber daya manusia kesehatan.Hasil pemeriksaan Tim Peninjauan Kembali selanjutnya dilaporkan ke Menteri melalui Dirjen. Selanjutnya atas nama Menteri, Dirjen menerbitkan keputusan atas PK dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak permohonan diterima yang isinya dapat berupa membatalkan, mengubah atau menguatkan putusan MDP.Putusan PK bersifat final dan mengikat. Upaya PK ini tidak dapat digunakan untuk menguji putusan yang diadili oleh Majelis Kehormatan Dispilin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai lembaga yang sebelumnya diberi wewenang mengadili dugaan pelanggaran disiplin kedokteran berdasarkan Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang telah dicabut oleh Undang-undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.Pelaksanaan Sanksi dan RekomendasiMenurut Pasal 44–52 Permenkes No. 3 Tahun 2025, setiap putusan MDP yang menetapkan adanya pelanggaran disiplin profesi wajib diikuti dengan penjatuhan sanksi disiplin dan/atau rekomendasi tindakan administratif.1. Jenis Sanksi DisiplinSanksi disiplin dapat berupa:Teguran tertulis;Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan ulang;Pembatasan sementara kewenangan praktik;Pencabutan sementara izin praktik (SIP); atauRekomendasi pencabutan tetap izin praktik jika pelanggaran berat atau berulang.Penetapan jenis sanksi mempertimbangkan:Tingkat kesalahan atau kelalaian;Dampak terhadap keselamatan pasien;Riwayat disiplin sebelumnya; danItikad baik tenaga medis dalam memperbaiki kesalahan.Ilustrasi tenaga medis Foto: Maulana Saputra/kumparan2. Mekanisme Pelaksanaan SanksiPutusan MDP bersifat mengikat secara administratif bagi pihak terkait. Salinan putusan disampaikan kepada:Menteri Kesehatan;Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI);Pemerintah daerah tempat tenaga medis berpraktik; danFasilitas pelayanan kesehatan tempat pelanggaran terjadi.Selanjutnya, Dinas Kesehatan dan KKI wajib menindaklanjuti dengan mencatat sanksi dalam sistem registrasi tenaga kesehatan nasional dan menyesuaikan status izin praktik. Dalam hal izin praktik dicabut sementara atau tetap, tenaga medis dilarang memberikan pelayanan selama jangka waktu sanksi.3. Rekomendasi Non-DisiplinerSelain sanksi terhadap pelaku, MDP dapat memberikan rekomendasi sistemik kepada fasilitas pelayanan kesehatan atau Kemenkes apabila ditemukan:Kelemahan sistem pelayanan atau pengawasan internal;Ketidaksesuaian prosedur operasional standar; atauKekurangan fasilitas yang berkontribusi terhadap pelanggaran.Rekomendasi ini bertujuan mencegah berulangnya pelanggaran disiplin serta memperkuat tata kelola mutu pelayanan kesehatan.4. Pemantauan dan RehabilitasiIlustrasi dokter menutupi wajah. Foto: Shutter StockTenaga medis yang dikenai sanksi pelatihan atau pembatasan kewenangan praktik wajib mengikuti program rehabilitasi profesional yang diawasi oleh organisasi profesi dan Dinas Kesehatan. Setelah menyelesaikan kewajibannya, yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pemulihan izin praktik kepada KKI.Sengketa medis di Indonesia kini diatur dengan mekanisme yang lebih sistematis melalui UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 dan Permenkes No. 3 Tahun 2025. Prosedur ini menegaskan bahwa penyelesaian sengketa tidak semata-mata bertujuan menghukum, tetapi juga memperbaiki kualitas pelayanan dan menjaga kepercayaan publik terhadap profesi medis.Dengan memahami prosedur, hak, dan kewajiban dalam proses ini, baik tenaga medis maupun pasien dapat memastikan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan secara profesional, transparan, dan berkeadilan.