Pohon zaitun. (Vasilis Caravitis-Unsplash)JAKARTA - Sebagai penjaga pohon zaitun tertua di Tepi Barat, Salah Abu Ali rajin merawat memangkas cabang-cabangnya hingga memanen buahnya. Bahkan dilakukan di tengah kekerasan yang melanda wilayah Palestina selama panen tahun ini. "Ini bukan pohon biasa. Kita berbicara tentang sejarah, tentang peradaban, tentang sebuah simbol," ujar Abu Ali tersenyum di balik janggut tebalnya di Desa Al-Walajah, selatan Yerusalem, Tepi Barat, dikutip dari AFP. Lebih lanjut, pria berusia 52 tahun itu dengan bangga mengatakan, para ahli memperkirakan pohon zaitun itu berusia antara 3.000 dan 5.500 tahun. Pohon tersebut telah bertahan selama ribuan tahun menghadapi kekeringan dan perang di tanah gersang yang dilanda konflik itu. Di sekitar batang pohon yang besar dan belasan cabangnya—beberapa dinamai menurut nama anggota keluarganya—Abu Ali telah menciptakan oasis kecil yang tenang. Beberapa langkah dari sana, tembok pemisah dimahkotai kawat berduri yang dibangun Israel untuk mengasingkan Tepi Barat berdiri setinggi lima meter. Lebih dari separuh tanah asli Al-Walajah kini terletak di sisi terjauh tembok keamanan Israel itu. Namun sejauh ini, desa yang dihuni Abu Ali terhindar dari serangan pemukim ilegal Israel yang kerap merusak panen zaitun tahun ini, yang memicu banyak warga Palestina di daerah pendudukan Tepi Barat terluka. Jericho wilayah Tepi Barat di Palestina. (Pexels-Michalis Pafralis) Israel telah menduduki Tepi Barat sejak 1967. Sekitar 500.000 pemukim ilegal Israel tinggal di wilayah Palestina tersebut. Mereka hampir setiap hari sepanjang 2025 menyerang petani sekaligus pohon zaitunnya, sejak musim dimulai pada pertengahan Oktober 2025. Komisi Penjajahan dan Perlawanan Tembok Otoritas Palestina, yang berkantor pusat di Ramallah, telah mendokumentasikan 2.350 serangan semacam itu di Tepi Barat hanya pada bulan Oktober 2025. Namun, hampir tidak ada pelaku yang dimintai pertanggungjawaban oleh otoritas Israel terkait serangan terhadap petani warga sipil Palestina itu. Pasukan Israel justru sering membubarkan warga Palestina yang sedang santai duduk-duduk dengan gas air mata atau memblokir akses petani ke tanah mereka sendiri, sebagaimana disaksikan oleh jurnalis AFP dalam beberapa kesempatan. Namun di Al-Walajah untuk saat ini, Abu Ali bebas merawat pohon zaitun tersebut. Pada tahun yang baik, katanya, pohon tersebut dapat menghasilkan 500 hingga 600 kilogram (1.100 hingga 1.300 pon) buah zaitun. Tahun ini, curah hujan yang rendah menyebabkan hasil panen di Tepi Barat menurun. “Pohon ini telah menjadi simbol ketahanan Palestina. Pohon zaitun mewakili rakyat Palestina sendiri, yang telah berakar di tanah ini selama ribuan tahun,” kata Wali Kota Al-Walajah, Khader Al-Araj. Kementerian Pertanian Palestina, bahkan mengakui pohon tersebut sebagai landmark alam Palestina dan menunjuk Abu Ali sebagai pengurus resminya. Kebanyakan pohon zaitun diketahui mencapai tinggi sekitar tiga meter saat dewasa. Pohon zaitun yang satu ini menjulang tinggi di atas pohon-pohon lainnya, batang utamanya selebar hampir dua meter, diapit oleh belasan cabang yang sama besarnya dengan pohon zaitun biasa. Israel menghancurkan rumah, toko, jalan, infrastruktur air, pembuangan limbah, dan listrik di Tepi Barat Palestina di tengah ribuan warga sipil yang sulit mendapatkan makanan. (X UNISPAL) "Emas hijau" Abu Ali mengatakan minyak yang dihasilkan pohon zaitun mempunyai banyak manfaat. Dia bilang, nilainya juga menguntungkan. “Minyak dari pohon ini luar biasa. Semakin tua pohonnya, semakin kaya minyaknya,” kata Abu Ali. Ia mencatat bahwa hal itu sumber daya berharga. Ia menyebutnya sebagai “emas hijau” lantaran harganya 4-5 kali lipat lebih mahal daripada minyak biasa. Dahulu, para wisatawan berbondong-bondong datang untuk melihat pohon zaitun tertua di Tepi Barat yang dirawat Abu Ali. Namun, jumlahnya terus berkurang sejak Israel melakukan invasi darat di Gaza pada Oktober 2023. Termasuk, kata Abu Ali, makin ketatnya pos pemeriksaan yang dijaga pasukan Israel di Tepi Barat. Pohon zaitun dan buahnya. (Unsplash-Michał Kostrzyński) Desa Al-Walajah sebenarnya tidak sepenuhnya kebal terhadap masalah yang kerap dihadapi penduduk Palestina di Tepi Barat. Pada tahun 1949, setelah pembentukan Israel, sebagian besar lahan desa di Tepi Barat dirampas, dan banyak keluarga Palestina harus meninggalkan rumah mereka untuk menetap di seberang garis gencatan senjata. Setelah Israel melakukan pendudukan tahun 1967, 66 persen wilayah di Tepi Barat ditetapkan sebagai Area C —di bawah kendali penuh Israel. Hal itu berdasarkan Perjanjian Oslo 1993, yang dimaksudkan untuk mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel. Namun, penetapan itu menyebabkan banyak rumah penduduk Pelestina di Tepi Barat dibongkar atas perintah militer Israel dengan dalih tidak memiliki izin, yang menjadi bukti nyata adanya penjajahan karena Israel membuat aturan di tanah negara lain. “Saat ini, Al-Walajah mewujudkan hampir setiap kebijakan Israel di Tepi Barat: permukiman, tembok, pembongkaran rumah, penyitaan tanah, dan penutupan,” ujar Wali Kota Al-Araj kepada AFP. Untuk saat ini, Abu Ali terus merawat pohon zaitun tersebut. Ia menanam herba dan pohon buah di sekitarnya. Disiapkannya juga buku tamu berisi pesan-pesan dari para pengunjung dalam puluhan bahasa di dekat pohon zaitun tersebut. “Saya telah menjadi bagian dari pohon ini. Saya tidak bisa hidup tanpanya,” katanya.