Sejumlah warga mengikuti tradisi gumbregan atau selamatan hewan ternak di Pedukuhan Tanjung, Kalurahan Bleberan, Kapanewon Playen, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, Selasa (20/8/2024). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparanBudaya Jawa adalah salah satu mozaik kebudayaan yang paling kaya di Indonesia. Di dalamnya, tersimpan nilai-nilai spiritual, etika sosial, serta cara pandang hidup yang berakar kuat pada keseimbangan dan harmoni. Dari sekian banyak tradisi yang masih lestari, slametan menempati posisi istimewa. Ia bukan hanya sekadar ritual adat, melainkan juga cermin pandangan hidup masyarakat Jawa yang menekankan keseimbangan antara dunia lahir dan batin.Jejak Asal dan Latar SejarahKata slametan diyakini berasal dari bahasa Arab salāmah, yang bermakna keselamatan. Namun dalam budaya Jawa, maknanya berkembang menjadi harapan agar seseorang dan lingkungannya senantiasa berada dalam kedamaian dan perlindungan Tuhan. Sebelum Islam menyebar di Jawa, masyarakat telah mengenal berbagai upacara untuk menghormati roh leluhur dan penjaga alam. Tradisi tersebut kemudian berakulturasi dengan ajaran Islam setelah datangnya para wali penyebar agama, terutama Walisongo.Para wali tidak menghapus praktik lokal, tetapi menyesuaikannya dengan nilai-nilai Islam. Dari sinilah muncul bentuk slametan seperti yang dikenal saat ini perpaduan antara doa keagamaan dan ungkapan syukur tradisional. Inilah contoh nyata dari cara masyarakat Jawa menggabungkan spiritualitas lama dan baru tanpa kehilangan makna dasarnya.Tahapan dan Simbolisme UpacaraSlametan umumnya diadakan ketika keluarga memiliki hajat tertentu, seperti kelahiran anak, pernikahan, pindah rumah, panen raya, atau kematian. Biasanya acara dilakukan malam hari, setelah salat Isya, dengan mengundang tetangga dan kerabat dekat. Mereka duduk melingkar di ruang tamu atau pendopo, melambangkan kesetaraan dan kebersamaan tanpa perbedaan derajat.Ilustrasi nasi tumpeng Foto: dok.shutterstockRangkaian acaranya sederhana: pembukaan oleh tuan rumah, pembacaan doa bersama, dan diakhiri dengan jamuan makan. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersimpan filosofi mendalam. Hidangan yang disajikan selalu penuh simbol.Tumpeng, nasi kerucut berwarna putih, menjadi pusat perhatian. Bentuknya yang meruncing ke atas menggambarkan hubungan spiritual manusia dengan Tuhan. Lauk-pauk di sekitarnya, seperti ayam ingkung, urap sayur, dan telur rebus, melambangkan kelimpahan rezeki, kesucian niat, dan harmoni dalam keluarga.Selain makanan, cara penyajian dan perilaku tamu juga bermakna simbolik. Tidak ada suara keras, tidak ada tawa berlebihan. Semua dilakukan dengan rasa hormat dan tenang karena slametan dianggap sebagai pertemuan suci yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta dan sesamanya.Makna Filosofis dan Nilai SosialSlametan merupakan manifestasi dari falsafah hidup orang Jawa yang disebut “memayu hayuning bawana”, menjaga keindahan dan keseimbangan dunia. Tradisi ini menanamkan kesadaran bahwa keselamatan seseorang bukan hanya bergantung pada dirinya sendiri, melainkan juga pada hubungan harmonis dengan orang lain dan alam sekitarnya.Ilustrasi masyarakat. Foto: Djem/ShutterstockMelalui slametan, nilai rukun dan gotong royong dijaga. Masyarakat saling membantu mempersiapkan acara, mulai dari memasak hingga menyiapkan tempat. Tidak ada unsur pamer atau kemewahan; yang utama adalah niat tulus untuk bersyukur dan berbagi. Dalam tradisi ini, manusia diingatkan bahwa kebahagiaan sejati lahir dari kebersamaan, bukan dari kelebihan pribadi.Selain nilai sosial, slametan juga memiliki makna spiritual. Doa yang dibacakan mencerminkan permohonan agar hidup senantiasa diberkahi dan dijauhkan dari malapetaka. Dengan demikian, slametan berfungsi ganda: mempererat hubungan antarwarga sekaligus mempertebal iman dan rasa syukur kepada Tuhan.Ragam Bentuk dan Adaptasi di Berbagai DaerahDi berbagai wilayah Jawa, slametan hadir dalam variasi yang unik sesuai kondisi sosial dan geografisnya. Di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, slametan lebih menonjolkan aspek religius Islam dengan doa tahlil dan pembacaan surah Yasin. Sedangkan di Jawa Timur, terutama di pedesaan, unsur kepercayaan tradisional masih tampak, misalnya melalui penyajian sesajen sederhana bagi roh leluhur.Di Banyuwangi, terdapat tradisi petik laut yang dilakukan oleh nelayan untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil tangkapan dan memohon keselamatan di lautan. Bukit Teletubbies di Desa Giring, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul, Yogyakarta. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparanDi daerah pertanian, seperti Gunung Kidul atau Klaten, masyarakat mengadakan slametan wiwit tandur sebelum menanam padi sebagai doa agar musim tanam berjalan lancar. Meskipun bentuk dan tujuannya berbeda, seluruh variasi tersebut tetap berlandaskan pada semangat yang sama: menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan.Slametan di tengah Arus ModernisasiPerubahan zaman membawa banyak tantangan bagi kelestarian budaya lokal. Namun, slametan membuktikan dirinya sebagai tradisi yang lentur dan mampu beradaptasi tanpa kehilangan ruhnya. Kini, acara slametan tidak selalu dilakukan dengan peralatan tradisional atau hidangan besar.Banyak keluarga yang menggunakan wadah praktis seperti kotak nasi atau bahkan mengirim makanan melalui jasa pesan antar. Meski bentuknya berubah, makna dasarnya tetap sama: berbagi rezeki, mendoakan keselamatan, dan mempererat tali silaturahmi.Menariknya, generasi muda Jawa mulai menunjukkan minat baru terhadap tradisi ini. Di berbagai kota besar, komunitas budaya, dan organisasi mahasiswa kerap mengadakan slametan sebagai simbol kebersamaan dan identitas budaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa slametan bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan juga medium untuk membangun rasa kebersamaan di tengah dunia yang semakin individualistik.Nilai-Nilai yang Tetap RelevanIlustrasi anak bersalaman mengucapkan selamat. Foto: Shutter StockSlametan mengajarkan prinsip universal yang tetap relevan lintas zaman: bersyukur, hidup selaras, dan menjaga harmoni sosial. Nilai-nilai tersebut menjadi penyeimbang di tengah gaya hidup modern yang serba cepat dan kompetitif. Melalui slametan, masyarakat Jawa belajar bahwa kesejahteraan tidak hanya diukur dari kekayaan materi, tetapi juga dari kedamaian batin dan hubungan baik dengan sesama.Filosofi ini sekaligus menegaskan identitas budaya Jawa sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi keselarasan dan ketenangan batin. Tradisi slametan menjadi sarana untuk menanamkan kesadaran moral bahwa hidup yang bermakna bukanlah hidup yang mengejar kemegahan, melainkan hidup yang berlandaskan syukur dan kebersamaan.Slametan lebih dari sekadar ritual; ia merupakan jantung spiritual budaya Jawa. Melalui doa, makanan, dan kebersamaan, masyarakat Jawa memelihara nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur mereka. Dalam dunia modern yang sering kali kehilangan makna kebersamaan, slametan hadir sebagai pengingat bahwa kesejahteraan sejati hanya bisa dicapai jika manusia hidup selaras dengan Tuhan, sesama, dan alam.Tradisi ini membuktikan bahwa budaya Jawa tidak lekang oleh waktu. Ia terus hidup, bertransformasi, dan memberi inspirasi tentang bagaimana manusia dapat menjaga keseimbangan dalam hidup tanpa kehilangan akar budaya dan spritualitasnya.