ILUSTRASI UNSPLASH/Ivars UtinānsJAKARTA - Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) yang akan digelar di Belem, Brasil, para ilmuwan kembali mengingatkan hutan Amazon, hutan tropis terbesar di dunia, sedang bergerak menuju titik kritis yang tidak dapat dipulihkan.Amazon berperan vital dalam mengatur iklim global dan keanekaragaman hayati. Namun, tekanan yang terus meningkat akibat deforestasi, pemanasan global, dan kekeringan ekstrem mendorong sebagian hutan hujan tropis itu menuju transformasi ekologi permanen.“Proses ini sudah terjadi di wilayah selatan Cekungan Amazon,” kata Jhan-Carlo Espinoza, peneliti keturunan Prancis-Peru dari Institut Penelitian untuk Pembangunan (IRD) Prancis, sebagaimana dilaporkan Anadolu pada Kamis, 6 November dilansir ANTARA.Espinoza menuturkan wilayah Amazon Bolivia mengalami kekeringan yang semakin parah dan berkepanjangan, serta mulai berubah menyerupai sabana Cerrado di Brasil. Kekeringan tersebut memecahkan rekor yang tercatat pada 2023 dan 2024.Sementara itu, bagian utara Amazon menghadapi siklus hidrologis yang semakin intens yang ditandai banjir ekstrem dan banjir dahsyat.Meskipun para ilmuwan belum dapat memastikan kapan tepatnya Amazon mencapai titik yang tidak dapat dipulihkan, mereka sepakat ada batas kritis yang tidak boleh dilampaui.“Antara 17–20 persen hutan Amazon telah ditebangi, setara gabungan luas Prancis dan Jerman. Sekitar 17 persen lainnya mengalami degradasi akibat aktivitas manusia,” ucap Espinoza.Selama dua dekade terakhir, suhu global juga telah mencapai level tertinggi sejak pencatatan modern dimulai. Kombinasi tersebut memperlemah kemampuan Amazon menyerap karbon dan mengganggu siklus air. Sekitar 50 persen curah hujan Amazon, jelas Espinoza,didaur ulang oleh pepohonan melalui evapotranspirasi atau penguapan air dari permukaan tanah.Peneliti itu menyebut tren itu kini mengancam ketersediaan air dan ketahanan pangan di negara-negara seperti Bolivia dan Peru.Adapun KTT Iklim COP30 yang dijadwalkan berlangsung 10–21 November 2025 di Brasil akan berfokus pada upaya mewujudkan komitmen iklim menjadi aksi konkret dan peningkatan pendanaan bagi negara rentan, di tengah ketegangan geopolitik dan sengketa perdagangan yang terus menguji kerja sama global untuk melawan krisis iklim.