Gen Z di Indonesia Terlalu Sadar Kesehatan Mental Hingga Tertekan

Wait 5 sec.

Ilustrasi Gen Z memutuskan hubungan. Foto: DimaBerlin/Shutterstock​Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan kesehatan mental Gen Z di Indonesia? Mengapa fenomena ini muncul, siapa saja yang terdampak, kapan isu ini mulai ramai dibicarakan, di mana masalahnya paling terasa, dan bagaimana cara mengatasinya? Pertanyaan-pertanyaan ini semakin sering kita dengar di tengah meningkatnya kesadaran sekaligus kekhawatiran akan kondisi psikologis generasi muda.Gen Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh di era digital dengan akses informasi tanpa batas. Mereka terbiasa mengonsumsi informasi secara instan, tetapi di sisi lain juga menghadapi tekanan sosial, ekonomi, dan budaya yang jauh lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya.​Data terbaru menggambarkan betapa seriusnya persoalan ini. Mulai dari Laporan Riskesdas 2024 mencatat prevalensi gangguan mental emosional pada remaja dan dewasa muda di Indonesia mencapai 13,5% pada kelompok usia 15–24 tahun. Angka ini tidak bisa dianggap kecil.Foto dari penulisSementara itu, Katadata Insight Center (KIC) 2024 menemukan bahwa 1 dari 4 Gen Z di perkotaan pernah mengalami gejala depresi atau kecemasan berlebih. Tekanan akademis, tuntutan ekonomi, budaya kerja yang serba cepat, hingga kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain di media sosial membuat mereka berada di posisi rawan yang disebut jadi "overthingking".​Ironisnya, tingginya kebutuhan akan layanan kesehatan mental tidak sejalan dengan ketersediaan tenaga profesional di Indonesia. Ikatan Psikiater Indonesia (PDSKJI) 2024 mencatat jumlah psikiater hanya sekitar 1.250 orang untuk melayani lebih dari 270 juta penduduk.Rasio ini jauh dari standar ideal WHO, yaitu satu psikiater untuk 30.000 orang. Tidak heran jika banyak Gen Z yang merasa kesulitan mendapat akses layanan, terutama mereka yang tinggal di luar kota besar. Kondisi ini sering kali membuat masalah semakin menumpuk karena tidak ada penanganan sejak awal.Ilustrasi mendukung orang tersayang yang mengidap gangguan mental. Foto: Odua Images/Shutterstock​Meski begitu, Gen Z tidak tinggal diam. Generasi ini justru dikenal lebih terbuka dalam membicarakan isu kesehatan mental. Di media sosial, misalnya, mereka aktif mengampanyekan pentingnya self-care, berbagi pengalaman pribadi, bahkan membangun komunitas daring untuk saling mendukung.Beberapa startup lokal juga ikut bergerak menghadirkan layanan konseling online yang lebih terjangkau. Platform seperti ini menjadi alternatif penting bagi mereka yang enggan bertemu tenaga profesional secara langsung karena faktor biaya, stigma, atau keterbatasan akses.​Namun, perlu diingat bahwa kesadaran berlebihan terhadap isu kesehatan mental juga punya sisi lain. Tidak sedikit Gen Z yang akhirnya merasa overwhelmed karena terlalu fokus menganalisis kondisi psikologis dirinya.Ilustrasi anak takut. Foto: Mama Belle and the kids/ShutterstockAlih-alih menjadi lebih sehat, mereka justru bisa terjebak dalam lingkaran tekanan baru: takut gagal, takut salah langkah, hingga cemas berlebihan hanya karena merasa tidak cukup baik. Fenomena inilah yang membuat label “terlalu sadar sampai terlalu tertekan” mulai disematkan pada generasi ini.​Kesehatan mental Gen Z pada akhirnya bukan sekadar masalah individu, melainkan juga isu sosial yang butuh perhatian bersama. Sekolah dan kampus perlu menyediakan konselor yang bisa diakses dengan mudah, tempat kerja harus lebih ramah terhadap isu mental health, dan pemerintah perlu memperluas layanan tenaga profesional di daerah. Peran keluarga juga tidak kalah penting karena dukungan terdekat sering kali menjadi fondasi utama bagi kesejahteraan psikologis anak muda.​Gen Z adalah generasi kreatif, kritis, dan adaptif. Jika diberikan ruang yang sehat untuk tumbuh, mereka bisa menjadi agen perubahan yang membawa Indonesia lebih maju. Sebaliknya, jika krisis kesehatan mental dibiarkan tanpa solusi, potensi besar mereka bisa terhambat. Kini saatnya melihat isu ini sebagai alarm serius. Dengan kolaborasi berbagai pihak pemerintah, masyarakat, keluarga, dan dunia digital harapan untuk melahirkan generasi yang lebih sehat, produktif, dan bahagia tetap terbuka lebar.