Tandan buah segar kelapa sawit. Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparanDirektorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan banyaknya eksportir sawit yang melakukan kecurangan pajak. Mereka diduga memanipulasi data ekspor dengan memalsukan jenis barang. Ekspornya dilaporkan seolah-olah berupa Palm Oil Mill Effluent (POME) dan fatty matter, padahal bukan.Modus lama ini kembali mencuat setelah DJP menemukan indikasi kuat adanya praktik under-invoicing atau pelaporan nilai ekspor yang tidak sesuai dengan barang sebenarnya.Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan, hasil analisis tahun 2025 menunjukkan ada 257 eksportir sawit yang diduga menjalankan modus fatty matter dengan nilai transaksi mencapai Rp 2,08 triliun. Potensi kerugian negara dari manipulasi ini ditaksir sekitar Rp 140 miliar."Jadi bea masuknya itu bisa 10 kali lipat lah yang katakanlah diduga di under-invoicing," ujar Bimo kepada awak media di Tanjung Priok, Kamis (6/11).Bimo menjelaskan, cara para eksportir ini adalah dengan mengubah kode HS barang ekspor. Produk yang sebenarnya bernilai tinggi justru dilaporkan sebagai POME atau fatty matter agar terhindar dari kewajiban pajak lebih besar."Kami deteksi di tahun 2025 itu ada sekitar 25 wajib pajak (POME) pelaku ekspor yang menggunakan modus yang sama," katanya.Bimo menyebut temuan ini bukan kasus tunggal. Sejak 2021 hingga 2024, DJP mencatat ada 282 wajib pajak yang memakai pola serupa, dengan total nilai Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) mencapai Rp 45,9 triliun. Seluruhnya kini tengah diproses oleh Tim Penegakan Hukum DJP.Sebagai langkah lanjut, DJP akan menelusuri lebih jauh seluruh eksportir yang terlibat. "Jadi rencana kami, kami sudah laporkan kepada Bapak Menteri Keuangan, setelah ini 282 wajib pajak yang melakukan ekspor serupa itu akan kami periksa, akan kami bukper dan akan kami sidik sesuai dengan kecukupan bukti awal," pungkasnya.