Sejumlah pendukung dari calon walikota New York City dari Partai Demokrat, Zohran Mamdani mengangkat tangan setelah pemilihan Wali Kota New York 2025 di borough Brooklyn, New York, Amerika Serikat, Selasa (4/11/2025). Foto: Jeenah Moon/REUTERSZohran Mamdani barangkali kini menjadi mimpi buruk untuk kaum super tajir di New York, bahkan Amerika Serikat. Bukan perkara ia Muslim atau keuturnan imigran, tetapi karena ia datang dengan janji untuk memajaki kekayaan para crazy rich demi kesejahteraan bersama warga kota New York. Suatu narasi yang begitu kental dengan pandangan sosial demokrasi. The Associated Press pada pukul 21.34 waktu setempat menyatakan Mamdani sebagai pemenang, dengan perolehan suara mencapai 50%, mengungguli rival terdekatnya, Andrew Cuomo yang memperoleh 41% suara. Selisih yang cukup signifikan ini tidak hanya menunjukkan keberhasilan strategi kampanye Mamdani, tetapi juga mencerminkan pergeseran preferensi politik warga New York menuju gagasan-gagasan yang lebih progresif dan egalitarian. Dalam konteks kota yang selama ini menjadi simbol kapitalisme global, hasil ini bisa dilihat sebagai sinyal perubahan arus ideologis.Yang membuat kemenangan ini semakin mencolok adalah keberanian Mamdani membawa dan mengartikulasikan ide-ide sosial demokrasi secara terbuka, dalam lanskap politik AS yang didominasi oleh neoliberalisme. Mamdani menyoroti ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin tinggi di New York, menyasar isu-isu perumahan yang tak terjangkau, biaya kesehatan yang terus meningkat, hingga stagnasi upah kelas pekerja. Pendekatannya jelas dan kritis. Kota harus kembali menjadi rumah hidup yang layak, bukan arena spekulasi kapital dan privilege segelintir elit ekonomi. Pesan ini resonan, terutama di kalangan kelas menengah, pekerja urban, imigran, dan generasi muda yang progresif.Selain itu, sosok Mamdani juga menarik perhatian karena latar belakangnya yang secara simbolik menantang konstruksi dominan tentang siapa yang “layak” memimpin kota sebesar New York. Ia adalah politisi muda, beragama Muslim, dan merupakan bagian dari diaspora. Minoritas dalam berbagai sudut pandang. Namun yang paling penting bukan identitasnya, melainkan cara ia memposisikannya. Bukan sebagai simbol politik identitas semata, tetapi sebagai penanda bahwa demokrasi di kota besar seperti New York masih memiliki ruang untuk inklusi representatif. Ia tampil bukan sebagai “wakil kelompok tertentu”, tetapi sebagai figur yang mengajak warga untuk memikirkan kembali struktur keadilan sosial kota.Di sisi lain, lawannya, Andrew Cuomo, hadir dengan kekuatan politik yang tidak main-main. Cuomo didukung oleh beberapa miliarder AS, jaringan korporasi donor berpengaruh, serta para pelobi pro-Israel yang memiliki pengaruh kuat dalam politik perkotaan dan kebijakan luar negeri AS. Konflik dukungan ini memperjelas peta pertarungan. Satu yang berorientasi pada ekonomi korporasi dan satu lagi yang berakar pada redistribusi sosial dan keadilan struktural. Pertarungan ini, dengan demikian, mendapat sorotan nasional dan global.Maka, kemenangan Mamdani dapat dibaca bukan hanya sebagai kemenangan politik elektoral, tetapi juga sebagai kemenangan pemikiran atau ideologis. Ia menunjukkan bahwa ide-ide sosial demokrasi tidak lagi dipandang sebagai gagasan utopis atau hayalan. Justru, ketika ketimpangan mencapai titik jenuh dan keterasingan sosial semakin dalam, gagasan-gagasan yang berfokus pada solidaritas, kesejahteraan bersama, dan tanggung jawab publik kembali menemukan relevansinya. Kiprah Zohran Mamdani dalam Politik ASWali Kota New York City terpilih, Zohran Mamdani, mengadakan konferensi pers di Unisphere, Queens, New York City, AS, Rabu (5/6/2025). Foto: Kylie Cooper/REUTERS Zohran Mamdani bukanlah figur yang baru hadir dalam percakapan politik progresif AS. Sejak menjabat sebagai anggota Majelis Negara Bagian New York, ia telah dikenal sebagai bagian dari gelombang politisi muda yang membawa orientasi sosial-demokrat dalam kebijakan publik. Salah satu kiprahnya yang menonjol adalah dukungannya terhadap pengembangan perumahan rakyat yang lebih terjangkau. Terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah yang selama bertahun-tahun tersingkir akibat gentrifikasi dan kenaikan harga sewa. Mamdani secara konsisten mendorong agar perumahan dipandang sebagai hak sosial, bukan komoditas pasar semata.Selain itu, Mamdani memiliki rekam jejak panjang dalam memperjuangkan akses kesehatan universal yang lebih terjangkau. Ia secara vokal mendukung penguatan sistem Medicaid New York dan perluasan fasilitas kesehatan berbasis komunitas. Dalam pidato dan kebijakan legislatifnya, ia sering menekankan bahwa tidak seharusnya hidup seseorang ditentukan oleh kemampuan membayar layanan medis. Pandangan ini sejalan dengan tradisi sosial-demokrat yang memandang kesehatan sebagai hak dasar dan tanggung jawab kolektif.Kiprah Mamdani juga terlihat pada isu transportasi publik. Ia mendorong transportasi massal yang lebih murah atau bahkan gratis sebagai bagian dari upaya mengurangi ketimpangan mobilitas sosial dan ekonomi. Gagasannya menekankan bahwa akses mobilitas adalah salah satu penentu kualitas hidup dan kesempatan ekonomi. Pendekatan ini mencerminkan ciri khas kebijakan sosial-demokrat di Eropa Utara yang memprioritaskan infrastruktur publik sebagai fondasi kesejahteraan bersama.Dalam kerangka ideologi, sosial demokrasi yang dibawa Mamdani berakar pada prinsip bahwa demokrasi politik tidak dapat dipisahkan dari demokrasi ekonomi. Artinya, kebebasan memilih di TPS tidak berarti banyak apabila warga tetap hidup dalam ketidaksetaraan struktural yang membuat mereka rentan secara ekonomi. Dengan demikian, Mamdani menawarkan pendekatan yang ingin menghubungkan kembali demokrasi dengan keadilan sosial, sesuatu yang sering hilang dalam politik Amerika modern.Yang menarik, Mamdani juga membawa pendekatan sosial demokrasi yang tidak dogmatis dan tidak retoris. Ia tidak berbicara dalam bahasa ideologi abstrak, melainkan dalam bentuk persoalan konkret. Yakni biaya sewa rumah, harga obat, ongkos transportasi, dan upah minimum. Inilah yang membuatnya mudah diterima. Sosial demokrasi dalam gaya Mamdani bukan teori, tetapi pengalaman hidup warga sehari-hari. Ia menjadikan politik sebagai ruang pemulihan kehidupan, bukan arena kompetisi kekuasaan saja.Melihat Sosial Demokrasi dalam Perspektif TeoritisSejumlah pendukung dari calon walikota New York City dari Partai Demokrat, Zohran Mamdani berkumpul setelah pemilihan Wali Kota New York 2025 di borough Brooklyn, New York, Amerika Serikat, Selasa (4/11/2025). Foto: Jeenah Moon/REUTERSSocial democracy lahir dari perdebatan internal dalam gerakan sosialisme pada akhir abad ke-19. Eduard Bernstein adalah tokoh yang paling banyak dikenang sebagai perumus awal ide ini. Berbeda dengan Karl Marx yang menekankan revolusi proletariat sebagai jalan menuju transformasi struktur ekonomi, Bernstein melihat bahwa perubahan dapat dilakukan secara bertahap melalui institusi-institusi demokrasi. Dalam karyanya Evolutionary Socialism, Bernstein (1899) menegaskan bahwa penataan ulang ekonomi dapat terjadi tanpa kekerasan, tanpa penghapusan pasar, dan tanpa negara satu partai.Teori sosial demokrasi kemudian diperkuat oleh pemikiran John Maynard Keynes pada dekade 1930-an. Keynes menunjukkan bahwa pasar bebas tidak mampu mengatur dirinya sendiri dan cenderung menciptakan krisis ekonomi yang berulang. Karena itu, negara harus hadir mengintervensi pasar melalui kebijakan fiskal, investasi publik, dan regulasi. Pemikiran Keynes menjadi fondasi welfare state pasca Perang Dunia II, terutama di Eropa Barat, ketika pemulihan ekonomi dan rekonstruksi sosial menjadi kebutuhan utama.Selanjutnya, T.H. Marshall memperluas fondasi teoretis sosial demokrasi melalui konsep social citizenship. Menurut Marshall, warga negara tidak hanya memiliki hak sipil dan politik, tetapi juga hak sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Hak sosial inilah yang memastikan bahwa partisipasi warga dalam demokrasi bermakna. Tanpa hak sosial, demokrasi hanya menjadi ritual prosedural yang kehilangan tujuan moralnya.Penerapan paling sukses dari sosial demokrasi dapat dilihat pada model kesejahteraan Skandinavia. Swedia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia berhasil mengembangkan sistem yang menggabungkan ekonomi pasar dengan kebijakan redistributif dan pelayanan publik universal. Pajak progresif diterapkan untuk mendanai pendidikan gratis, jaminan kesehatan universal, subsidi perumahan, hingga dukungan bagi orang tua dan lansia. Mereka menunjukkan bahwa kesejahteraan kolektif dan pertumbuhan ekonomi bukan dua hal yang saling menghalangi.Model sosial demokrasi di Skandinavia juga bertumpu pada kekuatan serikat pekerja dan demokrasi industri. Dalam model ini, pekerja memiliki suara dalam pengambilan keputusan manajerial melalui serikat buruh yang kuat dan terorganisir. Hal ini memastikan bahwa hubungan antara modal dan tenaga kerja tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan pasar, tetapi oleh negosiasi sosial yang berlandaskan kesetaraan.Dengan demikian, sosial demokrasi bukanlah ide yang lahir dari romantisme utopis atau hasrat untuk menggantikan kapitalisme secara total. Ia adalah strategi politik praktis yang membangun kesejahteraan sosial melalui mekanisme yang demokratis, terukur, dan bertahap. Ia adalah jawaban atas pertanyaan bagaimana menciptakan masyarakat yang adil tanpa mematikan inovasi ekonomi dan dinamika pasar.Gelombang Baru Sosial Demokrasi dalam Politik KontemporerCalon Wali Kota New York City dari Partai Demokrat, Zohran Mamdani, berpidato setelah memenangkan pemilihan Wali Kota New York City 2025, pada rapat umum malam pemilihan di wilayah Brooklyn, New York City, New York, AS, Rabu (5/11/2025). Foto: Jeenah Moon/REUTERSKemenangan Mamdani di New York dapat menjadi titik balik penting bagi kebangkitan sosial demokrasi dalam politik kontemporer. Di tengah meningkatnya ketimpangan ekonomi global dan menguatnya politik identitas yang memecah belah, kemenangan ini menawarkan jalan alternatif yakni politik redistribusi, solidaritas, dan pemulihan kesejahteraan sosial. Mamdani membawa pemantik bahwa masyarakat berhak mendapat negara yang hadir dan peduli.Jika Mamdani berhasil merealisasikan janji-janji kebijakannya, terutama dalam isu perumahan, kesehatan, dan upah hidup layak, maka New York berpotensi menjadi model kota sosial-demokratis pertama yang lahir di jantung kapitalisme global. Keberhasilan seperti itu tidak hanya akan memengaruhi kota-kota lain di AS, tetapi juga dapat memberi inspirasi bagi kota-kota besar dunia yang menghadapi tantangan serupa seperti ketimpangan ekonomi yang ekstrem, biaya hidup yang tidak terjangkau, dan krisis keterjangkauan perumahan.Kemenangan ini juga memiliki implikasi internasional yang lebih luas. Ketika banyak negara sedang berjuang menghadapi polarisasi politik dan gagalnya neoliberalisme dalam menjawab persoalan kesejahteraan, kebangkitan kembali sosial demokrasi memberi kemungkinan arah baru. Ia menawarkan ide bahwa pemerataan, solidaritas, dan investasi publik bukan ancaman bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi justru prasyarat bagi stabilitas sosial jangka panjang.Tentu, tantangan akan tetap besar. Kelompok kepentingan ekonomis yang selama ini diuntungkan dari struktur ketimpangan tidak akan tinggal diam. Mereka memiliki sumber daya, jaringan, dan pengaruh politik yang signifikan. Namun kemenangan Mamdani menunjukkan bahwa legitimasi politik kini semakin ditentukan oleh kemampuan menjawab kebutuhan warga, bukan sekadar kekuatan pendanaan kampanye.Dengan demikian, kemenangan ini bisa menjadi dalil bahwa masyarakat urban global sedang bergerak menuju fase baru. Sebuah fase pencarian kembali makna demokrasi yang tidak berhenti pada prosedur pemilu, tetapi menjamin hidup yang layak. Jika kepemimpinan Mamdani berhasil menunjukkan hasil positif dalam beberapa tahun ke depan, sosial demokrasi berpotensi berubah dari wacana akademik menjadi arus ideologis global baru.PenutupKemenangan Zohran Mamdani di New York memberi sinyal bahwa wacana tentang keadilan sosial tidak lagi sebuah retorika normatif dalam panggung politik AS. Ia hadir pada momen ketika masyarakat kelas menengah dan pekerja di kota-kota besar merasakan tekanan ekonomi yang semakin nyata. Biaya hidup yang melambung, sewa tempat tinggal yang tak terjangkau, dan ketimpangan yang terus meluas antara segelintir elite pemilik modal dan mayoritas warga biasa. Dalam konteks ini, ide-ide sosial demokrat yang diusung Mamdani tidak datang sebagai slogan kosong, melainkan sebagai tawaran politik yang berakar pada realitas keseharian warga. Itulah sebabnya kampanye Mamdani memperoleh resonansi emosional sekaligus intelektual.Namun demikian, kemenangan elektoral bukan akhir, melainkan awal dari pertarungan yang lebih panjang. Tantangan yang akan dihadapi Mamdani tidak hanya datang dari kubu politik lawan, tetapi juga dari struktur kekuasaan ekonomi yang sangat kuat di New York. Mulai dari perusahaan real estate raksasa, jaringan pelobi korporasi, hingga media arus utama yang sering memosisikan kebijakan redistributif sebagai ancaman bagi iklim bisnis. Mamdani akan diuji bukan hanya oleh kemampuan merumuskan kebijakan, tetapi juga konsistensi dalam menghadapi tekanan politik dan negosiasi kepentingan. Dalam kondisi inilah karakter seorang pemimpin diuji, apakah tetap setia pada basis dukungannya atau tergelincir dalam kompromi yang melemahkan agenda kesejahteraan sosial.Lebih jauh, keberhasilan atau kegagalan Mamdani akan memiliki implikasi ideologis yang lebih luas. Jika ia berhasil menunjukkan bahwa kebijakan sosial demokrat dapat meningkatkan kualitas hidup warga tanpa menghancurkan dinamika ekonomi kota, maka New York berpotensi menjadi laboratorium politik baru bagi kebangkitan agenda keadilan sosial dalam demokrasi global. Sebaliknya, jika ia jatuh dalam jebakan teknokrasi, resistensi elit, atau konflik internal birokrasi, narasi tentang sosial demokrasi dapat kembali dikerdilkan sebagai utopia yang tidak realistis. Karena itu, momen ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa demokrasi masih memiliki ruang untuk bertransformasi ke arah yang lebih setara dan manusiawi.