Perlukah DPR Dibubarkan?

Wait 5 sec.

Pengunjuk rasa menduduki pagar Kompleks Parlemen saat aksi unjuk rasa di Senayan, Jakarta, Jumat (29/8/2025). (ANTARA/Rivan Awal Lingga/bar)JAKARTA - Publik disuguhi seruan pembubaran DPR selama satu pekan terakhir. Apakah pembubaran DPR bisa menjadi solusi?Seruan agar DPR dibubarkan menggema di media sosial. Hal ini muncul sebagai bentuk kekecewaan publik terhadap pemberian tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan bagi setiap anggota DPR.Pemberian tunjangan yang nilainya fantastis itu dinilai kontras dengan kesulitan ekonomi yang dialam hampir semua masyarakat.Publik makin kesal setelah pernyataan-pernyataan anggota DPR terkait tunjangan perumahan ini minim empatik. Politisi dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Nafa Urbach menyebut tunjangan yang didapat adalah hal wajar karena jarak dari rumahnya di Bintaro ke Gedung DPR jauh dan macet.Sejumlah warga, termasuk seorang pengemudi ojek online (kiri), sengaja memberhentikan kendaraannya untuk melihat kondisi pascaunjuk rasa di depan gerbang utama Gedung DPR atau kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (30/8/2025). (ANTARA/Rio Feisal)Kemarahan publik memuncak ketika Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni menyebut mereka yang menyerukan agar DPR dibubarkan adala orang tolol sedunia. Pembagian KekuasaanJurang antara DPR dan rakyat yang jauh, belum lagi ditambah pernyataan-pernyataan kontroversial membuat emosi masyarakat tersulut. Mereka tidak hanya menyerukan pembubaran DPR di media sosial, tapi juga turun ke jalan dengan berujk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/8/2025).Ketua DPR Puan Maharani berjanji menyerap aspirasi masyarakat. Ia bahkan meminta masukan dari seluruh masyarakat untuk membantu memperbaiki kinerja DPR.Namun hingga berakhirnya demonstrasi awal pekan kemarin, tak satu pun anggota DPR yang menemui warga. Hal yang sama terjadi setelah dua aksi berturut-turut pada 28 dan 29 Agustus lalu. Hal ini kian memicu desakan agar DPR dibubarkan. Namun, apakah tepat jika DPR dibubarkan?Dalam opini di Kompas bertajuk "Lumbung, Tikus, dan DPR" yang ditulis pengajar Imam Nawawi School Cibinong, Husni Magz, dalam teori politik klasik, keberadaan lembaga legislatif adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi.Para demonstran menghadapi tembakan meriam air dari pihak kepolisian yang memblokir area depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada 28 Agustus 2025. (VOI/Bambang E Ros)Hal ini juga ditegaskan Montesquieu dalam The Spirit of Laws (1978), yang menekankan pentingnya pembagian kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiganya harus berdiri terpisah untuk mencegah kekuasaan absolut. Tanpa legislatif, prinsip check and balance runtuh.Di Indonesia sendiri, legislatif tak sekadar simbol demokrasi, tetapi juga fondasi konstitusional. UUD 1954 menegaskan, DPR memilki tiga fungsi utama yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan.Lewat fungsi inilah, DPR seharusnya menjadi penyalur aspirasi rakyat dan penyeimbang kekuasaan eksekutif.Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshidiqie pernah berujar, "Tanpa parlemen, demokrasi hanyalah nama. Kekuasaan akan jatuh pada satu tangan dan itu bukan lagi negara hukum, melainan kekuasaan absolut".Instrumen Penting dalam DemokrasiPada dasarnya, masalah yang sering dikeluhkan masyarakat bukan terletak pada lembaga, tetapi perilaku sebagian anggotanya, seperti yang sudah dicontohkan sebelumnya. Untuk itu, yang perlu diperkuat adalah mekanisme pengawasan publik terhadap DPR, bukan pembubarannya.Pakar Hukum Tata Negara Prof. Mahfud MD memahami kemarahan masyarakat terhadap DPR. Namun menurutnya, narasi bubarkan DPR harus dihindari, karena DPR adalah instrumen penting dalam sistem demokrasi.Secara historis, Indonesia pernah punya preseden. Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante pada 5 Juli 1959.Pengunjuk rasa melihat gedung DPRD Sulawesi Selatan yang dilalap api saat aksi 29 Agustus di Makassar, Sulawesi Selatan Sabtu (30/8/2025) dini hari. (ANTARA/Arnas Padda/nym)Dekrit ini mengakhiri percobaan demokrasi parlementer pasca-kemerdekaan, dan mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi. Sejarah era Sukarno, kata Mahfud, mengajarkan bahaya kekuasaan tanpa pengamat, yang justru mengarah pada otoritarianisme.Ketua Pusat Studi Politik Universitas Indonesia Dr. Andi Rahman mengatakan pembubaran DPR bukan solusi konstitusional. Masyarakat, kata dia, memiliki jalur resmi seperti Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), KPK, dan saluran pengawasan lainnya."Jadi solusinya bukan membubarkan DPR, melainkan memperbaiki kualitas anggotanya melalui jalur yang sah," ujarnya.Sementara itu, aktivis pemantau pemilu Siti Handayani menggarisbawahi pentingnya partisipasi publik dalam pemilu, dengan menggunakan hak suara untuk mengganti wakil yang tidak amanah, dan dorong pemilihan bersih melalui pengawasan pemilu."Kekuatan rakyat ada di bilik suara. Kalau ada anggota yang tidak amanah, jangan dipilih lagi. Bahkan, masyarakat bisa ikut jadi relawan pemantau pemilu untuk memastikan prosesnya jujur dan adil,” kata Siti.