Kisah Pilu Kekerasan Seksual di Dunia Maya

Wait 5 sec.

Foto : https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-masyarakat-rakyat-manusia-8088495/Kronologi kasus malam itu, A tengah duduk di sudut kamar asramanya. Usianya baru menginjak tiga belas tahun. Di layar ponsel, ia baru saja mengirimkan sebuah foto kepada ibunya. Foto itu bukan sembarang foto, foto itu adalah bagian tubuhnya yang sedang sakit, ia hanya ingin menunjukkan kondisinya agar sang ibu tahu apa yang harus dilakukan. Tak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya, bahwa foto yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi anak dan ibu justru akan berubah menjadi senjata yang menghancurkan hidupnya.Seorang senior yang menjenguknya tiba-tiba meminta izin meminjam ponsel. A, anak polos yang belum tahu betapa kejamnya dunia maya itu, percaya. Namun kepercayaan itu dikhianati. Tanpa izin, sang senior mengirim foto tersebut ke sebuah grup sekolah. Tak hanya itu, ia menambahkan pesan seolah-olah A sendiri yang menyebarkannya.Besoknya dunia seakan runtuh. Teman-teman menatapnya dengan jijik. Hinaan datang dari segala arah. Bahkan guru-guru yang seharusnya melindunginya justru menghakiminya. A dianggap “perempuan nakal” yang mencoreng nama sekolah. Hasilnya A dikeluarkan. Bukan pelaku yang dihukum, melainkan korban. A kecil yang hanya ingin sembuh dari sakit malah kehilangan masa depannya. Kisah A bukanlah satu-satunya. A hanyalah satu titik kecil dari banyaknya kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang terus muncul di Indonesia.Ilustrasi Pelecehan Seksual. Foto: ShutterstockInternet di Indonesia berkembang pesat. Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet mencapai lebih dari 215 juta orang. Angka itu setara dengan hampir seluruh penduduk negeri ini. Internet yang awalnya digadang sebagai ruang kebebasan, justru menjadi ladang baru lahirnya bentuk kekerasan yang sulit terbayangkan sebelumnya.Komnas Perempuan mencatat bahwa kasus KBGO meningkat tajam. Lembaga bantuan hukum seperti LBH APIK Jakarta menerima ribuan aduan dalam kurun waktu singkat. KBGO tidak selalu berupa pemukulan atau pemaksaan fisik. Justru bentuknya lebih halus, lebih licin dan lebih kejam karena meninggalkan luka batin yang tak terlihat.Ada yang mengalami peretasan akun (hacking) lalu foto pribadinya tersebar, ada yang menjadi korban dan identitasnya dipalsukan untuk tujuan hina. Ada pula yang terus menerus dihujani komentar cabul, ancaman dan pesan bernada pelecehan. Dan yang paling sering yaitu penyebaran foto atau video intim tanpa persetujuan. Banyak korban awalnya percaya pada pasangan, lalu disudutkan ketika hubungan berakhir. Inilah yang dikenal sebagai revenge porn. Semua bentuk itu memiliki satu benang merah yaitu tubuh perempuan dijadikan alat untuk mempermalukan, mengontrol, bahkan menghancurkan hidupnya.Banyak orang mengira bahwa kekerasan hanya ada jika ada darah atau luka fisik. Padahal luka yang ditinggalkan KBGO jauh lebih berbahaya. Korban seringkali merasa malu, bersalah, terisolasi, hingga kehilangan kepercayaan diri.Ilustrasi nonton film porno. Foto: Getty ImagesBayangkan seorang remaja yang tiba-tiba dijadikan bahan tertawaan seluruh sekolah. Bayangkan seorang ibu rumah tangga yang fotonya tersebar lalu dicap “murahan” oleh tetangga. Bayangkan seorang mahasiswa yang akun media sosialnya diretas lalu muncul konten pornografi atas namanya.Banyak dari mereka yang akhirnya memilih diam. Ada yang depresi, ada yang berhenti sekolah, ada pula yang mencoba mengakhiri hidup. Yang menyedihkan, bukan hanya orang asing yang menyalahkan mereka tetapi keluarga, sahabat, bahkan guru. Korban tidak hanya kehilangan harga diri, tetapi juga dukungan sosial yang seharusnya menjadi pelindung.Ketika korban mencoba melawan, jalan hukum pun seringkali berliku. Indonesia memang memiliki UU ITE dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Namun, aturan-aturan ini masih menyisakan banyak celah.Pasal-pasal dalam UU ITE sering kali multitafsir. Frasa seperti “muatan yang melanggar kesusilaan” bisa diartikan sesuka hati. Ironisnya, banyak korban yang justru dikriminalisasi. Mereka yang melaporkan penyebaran foto pribadi malah dituduh sebagai pihak yang menyebarkan konten cabul.UU TPKS memang menjadi harapan baru. UU TPKS mengatur bentuk kekerasan seksual berbasis elektronik, termasuk perekaman tanpa izin dan penyebaran konten seksual. Namun kenyataannya, dari sembilan bentuk KBGO, tujuh di antaranya masih belum sepenuhnya terakomodir dalam UU ini. Korban tetap saja sulit mendapatkan keadilan yang utuh. Dengan kata lain, hukum kita masih sering berdiri di sisi pelaku, bukan di sisi korban.Salah satu laporan LBH APIK menunjukkan kenyataan pahit. Dari ratusan kasus KBGO yang diterima hanya 25 kasus yang dilaporkan ke polisi dan hanya 2 kasus yang benar-benar sampai ke pengadilan. Artinya, ribuan korban dibiarkan tanpa keadilan. Mereka menghapus akun media sosial, pindah sekolah, meninggalkan pekerjaan, bahkan mengasingkan diri dari masyarakat. Bukan karena mereka tidak ingin melawan, tetapi karena sistem membuat mereka takut. Takut dilabeli “nakal”. Takut ditertawakan. Takut malah masuk penjara.Di balik semua ini, ada satu bayang-bayang besar yang selalu hadir yaitu budaya patriarki. Masyarakat kita masih menganggap bahwa perempuan harus menjaga kehormatan, sementara laki-laki bisa saja lepas dari tanggung jawab. Ketika sebuah foto tersebar, masyarakat lebih dulu bertanya: “Kenapa dia berani mengirim foto begitu?” ketimbang “Siapa yang menyebarkannya?” Paradigma inilah yang membuat korban selalu salah. Seolah-olah tubuhnya bukan miliknya sendiri, melainkan milik masyarakat yang bebas dihakimi.Namun di tengah kegelapan itu, ada cahaya kecil yang terus menyala. Aktivis, pengacara dan organisasi masyarakat sipil terus berjuang. Mereka mendampingi korban, mengedukasi publik, dan mendorong perubahan hukum.Komnas Perempuan dan LBH APIK, hingga komunitas-komunitas kecil di media sosial, semua mencoba menciptakan ruang aman. Mereka percaya bahwa internet seharusnya menjadi tempat belajar, bekerja, dan berkarya bukan ladang kekerasan.Korban juga mulai berani bersuara. Inisial A, misalnya, meski sempat hancur, kini ia mencoba bangkit. Ia tahu bahwa apa yang terjadi padanya bukan salahnya. Suaranya menjadi bagian dari ribuan suara lain yang menuntut keadilan.Kekerasan berbasis gender online adalah wajah baru dari kekerasan seksual. Ia mungkin tidak meninggalkan luka fisik, tetapi meninggalkan trauma yang jauh lebih dalam. Ia mengajarkan kita bahwa teknologi bukanlah netral, ia bisa menjadi alat penindasan jika tidak diatur dengan adil.John Rawls, seorang filsuf keadilan, pernah berkata bahwa keadilan adalah kebebasan yang sama bagi semua orang, serta kesempatan yang setara tanpa diskriminasi. Jika prinsip ini diterapkan, maka hukum di Indonesia seharusnya melindungi korban, bukan menghukum mereka.Untuk itu kita membutuhkan perubahan besar:Revisi hukum agar tidak lagi menyudutkan korban.Edukasi publik agar masyarakat berhenti menyalahkan perempuan.Dukungan psikologis bagi penyintas agar mereka bisa bangkit.Gerakan kolektif untuk menciptakan ruang digital yang aman.Setiap kali kita membaca berita tentang seorang remaja yang mengakhiri hidup karena foto pribadinya tersebar, itu bukan sekadar berita. Itu adalah alarm. Tanda bahwa kita gagal melindungi generasi kita sendiri. Kita tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu. KBGO nyata, menyakitkan dan menghancurkan banyak hidup. Maka jangan diam. Dengarkan suara korban, jangan salahkan mereka. Dukung perubahan hukum, sebarkan literasi digital dan jadilah bagian dari orang-orang yang menciptakan ruang maya yang aman. Karena setiap korban seperti A di luar sana berhak mendapatkan keadilan.