LBH Jakarta Sebut Banjir dan Macet Jakarta Bentuk Kegagalan Pemprov DKI Tata Kota

Wait 5 sec.

Ilustrasi kemacetan Jakarta. (Antara)JAKARTA - Pengacara publik LBH Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo, menilai banjir dan kemacetan yang kembali melanda Jakarta pada akhir Oktober 2025 mencerminkan kerapuhan tata kelola kota dan kegagalan pemerintah dalam membangun sistem perkotaan yang berkeadilan dan berorientasi pada manusia serta lingkungan.Dalam beberapa pekan terakhir, dua persoalan klasik ini kembali menghantui warga. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat 54 RT terendam banjir pada 31 Oktober 2025, sebagian besar akibat keretakan tanggul yang membuat Kali Krukut meluap. Banjir itu disusul dengan kemacetan parah di berbagai titik ibu kota.Menurut Alif, banjir dan macet bukan semata akibat curah hujan tinggi, melainkan cerminan dari lemahnya perencanaan kota. Ia menyinggung berbagai studi yang menunjukkan sekitar 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut dan mengalami penurunan tanah 3–10 sentimeter per tahun, menjadikan Jakarta salah satu kota tercepat tenggelam di dunia."Banjir dan kemacetan adalah fakta yang menunjukkan kerapuhan Kota Jakarta. Setiap tahun terjadi banjir besar tanpa adanya evaluasi yang berarti," kata Alif dalam keterangannya, Minggu, 2 November.Ia juga menyoroti persoalan mobilitas warga. Dengan populasi sekitar 11 juta jiwa dan jumlah kendaraan bermotor mencapai 24 juta unit, 79 persen warga Jakarta masih bergantung pada kendaraan pribadi. Kondisi ini, lanjutnya, menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp100 triliun per tahun akibat kemacetan dan polusi udara.LBH Jakarta menilai banjir dan kemacetan yang berulang telah mengancam pemenuhan hak-hak dasar warga. Menurut Alif, dua persoalan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia karena berdampak langsung terhadap hak atas tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan hidup yang baik dan sehat."Banjir dapat merusak rumah warga, memutus akses pendidikan dan pekerjaan, serta menimbulkan berbagai penyakit. Sementara macet memperburuk kesehatan mental dan fisik warga akibat stres dan polusi udara," jelasnya.Ia mengingatkan, pemerintah memiliki kewajiban hukum berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk melindungi masyarakat dari dampak bencana, memulihkan kondisi sosial-ekonomi, dan mengurangi risiko bencana di masa depan.Lebih jauh, LBH Jakarta menilai banjir dan macet adalah gejala dari akar persoalan yang lebih dalam, yakni tata ruang Jakarta yang gagal menghadirkan keadilan ekologis. Alif menilai orientasi pembangunan di Jakarta masih berpusat pada betonisasi, bukan konservasi."Penanganan banjir masih berorientasi pada pembangunan fisik seperti tembok dan tanggul, padahal yang dibutuhkan adalah penyelarasan antara konservasi di hulu dan pendayagunaan di hilir," ucapnya.Ia juga menyoroti minimnya ruang terbuka hijau, pengambilan air tanah yang berlebihan akibat terbatasnya sambungan air perpipaan, serta lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, hal ini memperburuk masalah lingkungan dan mempercepat penurunan muka tanah.Atas situasi tersebut, LBH Jakarta mendesak Pemprov Jakarta dan DPRD untuk menghentikan pembangunan di zona hijau, menekan laju penurunan tanah, memperluas akses air perpipaan, dan membenahi sistem transportasi umum agar lebih aman, nyaman, dan terjangkau.Mereka juga meminta agar kebijakan penataan ruang melibatkan masyarakat secara partisipatif sesuai asas pemerintahan yang baik, serta agar penanganan banjir dilakukan dengan pendekatan berbasis alam (nature-based solutions), bukan proyek infrastruktur semata."Pemerintah perlu berhenti melihat banjir dan macet sebagai fenomena musiman. Ini adalah krisis struktural yang memerlukan pembenahan menyeluruh," pungkas Alif.