Bahaya yang selalu mengintai setiap langkah pendaki gunung, Pemandangan kawah gunung yang luas dan berasap tipis, menunjukkan kondisi ekstrem yang bisa berbahaya bagi pendaki. Foto ini mengingatkan bahwa risiko di gunung berasal dari alam dan cuaca, bukan dari hal mistis seperti yang sering dipercaya. Credit: Abi Julianda Setiap tahun, kasus hipotermia dan pendaki tersesat terus terjadi di gunung-gunung Indonesia. Namun alih-alih mencari akar masalah dari minimnya pengetahuan keselamatan, sebagian orang justru mengaitkannya dengan dunia mistis. Di ketinggian gunung, ketika kabut turun perlahan bagai tirai kematian, suara hutan terdengar seperti desis yang membuat bulu kuduk merinding. Napas menjadi berat, langkah mulai goyah, tapi tidak ada yang benar-benar memahami apa yang sedang terjadi pada tubuh mereka. Ketika seorang pendaki menggigil hebat dan kehilangan kesadaran, sebagian orang yang percaya mitos sering berkata “dia diincar penjaga gunung,” padahal suhu tubuh korban sedang merosot tajam.Di titik tersebut, mitos bukan lagi sekadar kepercayaan turun-temurun. Ia menjelma bahaya yang nyata karena ketika logika terkunci oleh rasa takut, ilmu keselamatan dikalahkan oleh cerita horor. Ketakutan pada yang tak terlihat membuat kita lupa menghadapi apa yang benar-benar mematikan. Namun di balik semua cerita itu, selalu ada dua pandangan bertolak belakang di kalangan pendaki. Sebagian percaya bahwa mitos adalah bentuk penghormatan pada alam. Sementara sebagian lainnya menilai bahwa kepercayaan tersebut bisa berubah menjadi ancaman ketika mengalahkan logika keselamatan.Bagi banyak pendaki Indonesia, gunung bukan sekadar tumpukan batu dan pepohonan. Ia dianggap memiliki “penjaga” dan cerita mistis yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal mengajarkan adab pendakian: jangan takabur, jangan merusak, jangan berbicara sembarangan. Larangan-larangan ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi agar manusia tidak lupa diri, karena sedikit saja kelalaian bisa berujung hilangnya nyawa. Dengan cara itu, mitos hadir sebagai pengingat bahwa manusia hanyalah tamu yang harus tahu sopan santun ketika berada di alam.Namun di balik rasa hormat itu, ada sisi gelap yang jarang diakui. Mitos bisa menenangkan, tetapi juga bisa membutakan. Saat pendaki mulai bicara melantur, bibirnya pucat, dan langkahnya limbung, sebagian orang lebih dulu berkata “dia diikuti sesuatu” ketimbang “dia harus segera dihangatkan.” Ketika seseorang tersesat di tengah kabut, kesalahan navigasi dianggap sebagai “diculik penunggu”. Yang lebih berbahaya, pertolongan pertama sering tertunda hanya karena ketakutan pada hal yang tak terlihat.Lebih fatal lagi, banyak pendaki pemula datang ke gunung tanpa persiapan fisik, peralatan memadai, dan kemampuan survival yang cukup. Mereka hanya bermodal konten pendakian yang tampak indah atau cerita horor yang memicu rasa penasaran. Mereka lebih hafal pantangan warna pakaian daripada cara layering untuk menjaga suhu tubuh. Mereka takut hantu, tetapi tidak takut pada kurangnya pengetahuan mereka sendiri. Pada akhirnya, mitos yang dibiarkan mengalahkan logika bukan lagi pelindung—melainkan pisau tumpul yang melukai perlahan.Padahal gunung tidak pernah berkompromi dengan keyakinan manusia. Yang tak terlihat memang menakutkan, tetapi yang terlihat justru lebih mematikan. Dzawin Nur, komedian sekaligus pegiat pendakian, pernah menantang pertanyaan: Benarkah yang ghaib itu paling berbahaya di gunung? Lewat ekspedisi “Langit Kelabu”, ia menunjukkan bahwa rasa takut sering lahir dari ketidaktahuan. Apa yang dianggap mistis di gunung seringkali hanyalah persoalan common sense dan sikap mental yang terabaikan. Konten mereka membuka mata banyak penonton bahwa horor kadang bisa dijelaskan—asal kita mau belajar.Dalam salah satu liputannya di Gunung Salak, mereka merekam suara dan bayangan yang tak terjelaskan. Namun alih-alih menyimpulkan “penunggu gunung marah,” tim memeriksa kondisi sekitar: arah angin, gesekan pepohonan, hingga pantulan gelombang suara di lembah. Pendekatan seperti ini mengubah perspektif generasi muda terhadap mitos. Narasi Dzawin bukan hanya hiburan, tapi juga perlawanan terhadap ketakutan yang sering membuat keputusan keselamatan diabaikan. Seperti ucapannya yang terkenal: “Yang membuatmu mati itu kebodohanmu. Jangan takut setan. Tapi takutlah goblok.”Pada akhirnya, naik gunung itu bukan hanya soal fisik dan mental, tetapi juga soal cara kita memandang dunia. Ada yang merasa nyaman dengan doa dan kepercayaan, ada yang bertumpu pada logika dan sains. Tidak ada yang salah dari itu, selama keduanya tidak saling meniadakan. Bawa doa terbaikmu, hormati adat dan aturan setempat. Namun di saat yang sama, bekali diri dengan ilmu keselamatan—navigasi, manajemen risiko, perlengkapan wajib, dan kemampuan membaca cuaca.Daripada saling menyalahkan siapa yang benar antara yang percaya mistis atau yang rasional, lebih baik kita saling mengingatkan bahwa keselamatan adalah tujuan semua pendaki. Gunung akan selalu menjadi tempat belajar tentang kerendahan hati, rasa hormat, dan kesiapan. Sebab seindah apa pun puncak yang ingin dicapai, bisa kembali pulang adalah kemenangan yang sesungguhnya.