Gen Z dan Krisis Komunikasi Emosional di Era Serba Instan

Wait 5 sec.

Komunikasi Digital yang Menggantikan Tatap Muka (Sumber : https://www.vecteezy.com/photo/4816140-man-hand-virtual-world-icon-communication-and-use-of-modern-internet-technology-metaverse)Gen Z dikenal sebagai generasi yang paling akrab dengan teknologi. Mereka tumbuh bersama ponsel pintar, media sosial, dan segala sesuatu yang bisa dilakukan dengan cepat. Tapi di balik semua kemudahan itu, ada masalah yang pelan-pelan muncul: kemampuan mereka berkomunikasi secara emosional mulai menurun.Survei dari McKinsey Health Institute menunjukkan banyak anak muda Gen Z merasa media sosial membuat mereka cemas, mudah stres, dan kurang percaya diri. Walau platform digital memberi ruang berekspresi, tekanan untuk selalu terlihat bahagia dan sukses justru membuat banyak anak muda merasa tertekan.Laporan dari Digital Journal juga mengungkapkan bahwa lebih dari 35 persen remaja usia 13–17 tahun menghabiskan lebih dari dua jam per hari di media sosial dan kebiasaan ini terbukti berpengaruh pada kesehatan mental mereka.Fenomena seperti “phubbing” dimana mengabaikan orang di depan mata karena sibuk dengan ponsel makin sering terjadi. Menurut penelitian dari Journal Laaroiba, kebiasaan ini muncul karena rendahnya kecerdasan emosional pada Gen Z. Banyak di antara mereka yang lebih nyaman berinteraksi lewat layar dibanding berbicara langsung dengan orang lain.Penelitian di Indonesia yang dimuat dalam Joisco Journal menemukan bahwa Gen Z juga rentan mengalami kecemasan sosial karena terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial. Melihat teman sebaya yang terlihat sukses atau bahagia sering menimbulkan rasa minder dan tidak cukup baik.Studi dari Universitas Tarumanagara menunjukkan bahwa Gen Z lebih suka mengekspresikan diri lewat emoji, singkatan, dan gambar. Komunikasi semacam ini memang cepat, tapi sering kali menimbulkan salah paham karena makna emosional tidak tersampaikan dengan utuh.Masalah ini muncul karena kebiasaan hidup yang serba instan. Di dunia digital, keterlambatan membalas pesan bisa dianggap tidak sopan. Namun di sisi lain, semakin sedikit waktu untuk bertemu langsung dan membaca ekspresi wajah atau nada suara lawan bicara. Akibatnya, kemampuan memahami emosi orang lain perlahan hilang.Dampaknya cukup serius. Banyak anak muda yang merasa kesepian meski punya ribuan teman online. Hubungan antarpribadi menjadi rapuh karena sering terjadi miskomunikasi. Tidak sedikit yang akhirnya merasa stres atau depresi akibat tekanan sosial di media.Ahli komunikasi menilai, salah satu cara untuk mengatasi krisis ini adalah dengan mengajarkan kecerdasan emosional sejak dini. Sekolah dan keluarga bisa membantu anak muda belajar memahami emosi, mengekspresikan perasaan dengan jujur, dan berkomunikasi tanpa takut dihakimi.Selain itu, penting bagi anak muda untuk membatasi waktu di media sosial. Cobalah lebih sering bertemu langsung dengan teman, mendengarkan tanpa distraksi, dan tidak terlalu memikirkan citra online.Generasi Z tumbuh di dunia yang serba cepat, tapi justru sering kehilangan makna dalam komunikasi. Krisis ini menjadi pengingat bahwa teknologi seharusnya membantu manusia menjadi lebih dekat, bukan semakin jauh. Di era serba instan, komunikasi yang tulus, jujur, dan empatik adalah hal yang paling dibutuhkan untuk membuat koneksi antarmanusia tetap hangat dan nyata.