Pelajaran Bahasa Portugis

Wait 5 sec.

Presiden RI Prabowo Subianto saat menerima Presiden Republik Federasi Brasil Luiz Inácio Lula da Silva di Istana Merdeka Jakarta  Kamis, 23 Oktober 2025. (Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden)“Bahasa Portugis akan jadi prioritas di sekolah-sekolah kita.” Ucapan itu keluar dari Presiden Prabowo Subianto usai bertemu Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, Oktober 2025. Pernyataan yang terlihat sederhana ini memunculkan banyak pertanyaan strategis: Siapa yang siap? Apa urgensinya? Mengapa sekarang? Dirangkum dari berbagai sumber, bahasa Portugis dituturkan 223–280 juta orang di sembilan negara. Namun, Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, menyebut bahwa bahasa Portugis belum masuk kategori "bahasa internasional utama" seperti Inggris, Mandarin, atau Arab. Karena itu, banyak yang menganggap, bila bahasa Portugis masuk sebagai pilihan—bukan kewajiban nasional—itu sah-sah saja. Apalagi mengingat keterbatasan sumber daya. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa pelajaran bahasa asing pernah menjadi bagian penting pendidikan menengah. Pada masanya, di banyak SMA, pelajaran bahasa Jerman, Prancis, Jepang, hingga Mandarin disediakan sebagai pilihan. Malah di pesantren, bahasa Arab adalah pelajaran wajib. Di perguruan tinggi, juga ada yang mempelajari berbagai bahasa dunia, bahasa Belanda, Korea hingga bahasa Rusia. Semuanya dalam kerangka peminatan, bukan pemaksaan. Dinas Pendidikan Jawa Barat mengaku belum memiliki data soal guru bahasa Portugis. Belum ada modul, pelatihan, atau peta jalan implementasi. Di sisi lain, kemampuan dasar siswa masih menjadi pekerjaan rumah besar. Survei PISA 2022 menempatkan Indonesia di urutan 70 dari 80 negara. Sementara indeks kecakapan bahasa Inggris kita berada di urutan ke-80 dari 116 negara dari survei EF English Profiency Index. Jika fondasi belum kuat, mengapa menambah beban?Portugis memang pernah hadir dalam sejarah Nusantara. Dilansir dari Wikipedia, mereka pernah datang sebagai penjajah, sejak 1511 di Malaka, dan kemudian ke Ternate dan Tidore. Kata seperti bendera, boneka, mentega, keju, gereja—berasal dari Portugis. Namun kebijakan pendidikan tidak bisa hanya bertumpu pada sejarah. Faktanya, dilansir dari web badan bahasa kemendikdasmen, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Per 2024, 11 bahasa telah punah. Lebih jauh lagi, dari 718 bahasa daerah, ada 18 bahasa daerah berstatus aman, 21 rentan, 3 mengalami kemunduran, 29 terancam punah, 8 kritis, dan 5 punah.  Artinya, problem pendidikan bahasa di Indonesia tidak hanya soal bahasa asing, tapi juga pelestarian warisan bahasa daerah yang terancam. Ini ancaman nyata bagi identitas bangsa. Opsi paling realistis adalah bahasa Portugis menjadi pelajaran pilihan di sekolah yang siap, seperti di NTT yang berbatasan dengan Timor Leste. Evaluasi dilakukan bertahap. Bila dampaknya besar, baru diperluas. Jika kecil, tidak membebani sistem nasional. Belajar berbagai bahasa dunia tentu oke-oke saja. Baik malah. Tapi, pendidikan tidak boleh bergantung pada momen diplomasi. Jika kurikulum ditentukan logika dan data, maka bahasa apapun bisa membuka masa depan—bukan menambah beban. Karena yang lebih penting dari menghafal obrigado atau obrigada adalah memastikan anak-anak Indonesia memahami makna “terima kasih”. Mereka diajarkan hal yang tepat, di waktu yang tepat, dan sesuai akal sehat. Dan yang tak boleh dilupakan, Indonesia adalah negara mega-diversity. Ribuan bahasa daerah menunggu untuk dijaga, bukan ditinggalkan hingga punah.