Ilustrasi AIFenomena flexing atau memamerkan kekayaan dan gaya hidup mewah di media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya digital modern. Aksi menampilkan barang-barang bermerek, liburan mewah, atau pencapaian finansial bukan sekadar tren hiburan, tetapi mencerminkan perubahan mendalam dalam perilaku konsumsi masyarakat. Dari perspektif ekonomi mikro, flexing dapat dikaji melalui konsep fungsi utilitas dan konsumsi hedonis, yang menjelaskan bagaimana kepuasan individu kini bergeser dari fungsi dasar barang menuju validasi sosial.1. Fungsi Utilitas dalam Era DigitalDalam teori ekonomi mikro klasik, utilitas diartikan sebagai tingkat kepuasan yang diperoleh konsumen dari mengonsumsi suatu barang atau jasa. Biasanya, kepuasan tersebut bersumber dari nilai guna fungsional barang. Misalnya, sepatu memberikan kenyamanan untuk berjalan, sedangkan mobil berfungsi sebagai alat transportasi.Namun, di era media sosial, muncul dimensi baru dalam konsep utilitas—yaitu utilitas sosial. Barang tidak lagi dinilai hanya dari fungsi fisiknya, tetapi juga dari nilai simbolik dan pengakuan publik yang melekat padanya. Ketika seseorang membeli tas mewah bukan karena kualitas bahannya, melainkan karena ingin mendapatkan likes dan pujian di media sosial, maka kepuasan yang muncul bersifat eksternal dan berbasis pada persepsi orang lain.Dengan demikian, fungsi utilitas kini tidak lagi sepenuhnya bersumber dari kepuasan pribadi, tetapi juga dari bagaimana konsumsi tersebut diterima, diakui, dan divalidasi oleh masyarakat digital.2. Konsumsi Hedonis dan Motif PamerKonsumsi hedonis adalah perilaku membeli dan menggunakan barang untuk memperoleh kesenangan, kenikmatan emosional, atau prestise sosial, bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan fungsional. Dalam konteks flexing, konsumsi hedonis diwujudkan melalui tindakan memamerkan hasil konsumsi agar terlihat berhasil, bahagia, dan unggul di mata orang lain.Perilaku ini mencerminkan apa yang disebut “Veblen Effect”, yaitu kondisi ketika kenaikan harga justru meningkatkan permintaan terhadap barang tertentu karena dianggap sebagai simbol status sosial. Barang-barang seperti jam tangan mewah, mobil sport, atau tas bermerek menjadi alat komunikasi sosial—menunjukkan posisi ekonomi dan status pemiliknya.Artinya, semakin mahal suatu barang, semakin tinggi pula nilai pamer dan daya tariknya di ruang publik digital. Dalam hal ini, media sosial memperkuat efek Veblen dengan menyediakan panggung instan bagi siapa pun untuk menunjukkan kemewahan dan gaya hidupnya secara luas.3. Dampak Sosial dan Ekonomi dari Perilaku FlexingFenomena flexing membawa sejumlah dampak yang signifikan terhadap perilaku sosial dan ekonomi masyarakat:Tekanan Sosial dan Perbandingan Diri: Paparan konten flexing secara terus-menerus dapat menimbulkan perasaan tidak cukup (insecurity) dan dorongan untuk meniru gaya hidup yang ditampilkan, bahkan ketika kemampuan finansial tidak memadai.Konsumerisme dan Perilaku Irasional: Banyak individu terdorong untuk membeli barang-barang mewah demi menjaga citra sosial, bukan karena kebutuhan nyata. Hal ini menciptakan pola konsumsi berlebihan dan potensi masalah finansial pribadi.Manipulasi Sosial dan Penipuan Digital: Tidak jarang, flexing digunakan sebagai alat untuk membangun kepercayaan palsu, seperti dalam kasus penipuan investasi atau bisnis online. Kekayaan yang ditampilkan sering kali tidak sesuai dengan kenyataan, melainkan hasil rekayasa demi menarik perhatian publik.4. Refleksi: Mencari Makna Utilitas yang SejatiFenomena flexing menantang cara pandang klasik terhadap konsep kepuasan dan kebutuhan. Di era digital, utilitas sering kali diukur dengan angka likes, views, atau followers, bukan dari nilai guna sejati atau kesejahteraan psikologis individu.Untuk itu, penting bagi masyarakat digital untuk mengembangkan literasi ekonomi dan keuangan pribadi, agar mampu membedakan antara kebutuhan fungsional dan konsumsi simbolik. Kepuasan sejati seharusnya bersumber dari keseimbangan antara kebutuhan nyata, kemampuan finansial, dan nilai hidup yang bermakna—bukan dari validasi sosial yang bersifat sementara.KesimpulanPerilaku flexing di media sosial mencerminkan perubahan besar dalam struktur nilai ekonomi modern. Fungsi utilitas kini tidak hanya berbasis pada penggunaan barang, tetapi juga pada pengakuan sosial yang melekat padanya. Sementara konsumsi hedonis mendorong kepuasan emosional jangka pendek, dampak jangka panjangnya sering kali berupa tekanan sosial dan perilaku konsumtif yang tidak rasional.Masyarakat perlu kembali memahami makna konsumsi yang sehat dan sadar—bahwa kepuasan sejati bukan berasal dari seberapa banyak kita pamerkan, tetapi dari seberapa bijak kita menggunakan sumber daya untuk mencapai kesejahteraan yang nyata dan berkelanjutan.