Pajak Impor K-Pop: Mengapa Merchandise ENHYPEN Jadi Mahal di Indonesia

Wait 5 sec.

AI Editing Bayangkan ini: kamu adalah ENGENE setia, siap merogoh kocek untuk membeli photocard edisi terbatas dari album Romance: Untold milik ENHYPEN. Di situs resmi Weverse Korea, harganya sekitar Rp300 ribu. Tapi begitu sampai di Indonesia, tagihannya melonjak jadi Rp500 ribu—bahkan lebih kalau lewat jastip. Apa yang membuatnya begitu mahal? Jawabannya sederhana, tapi menyakitkan: pajak impor.Kebijakan yang niatnya melindungi ekonomi nasional justru membuat hobi fangirling terasa seperti hobi mewah. Dalam konteks ini, pajak impor bukan cuma soal beban finansial, tapi juga soal akses terhadap budaya global yang kini menjadi bagian dari identitas generasi muda Indonesia.Apa Sih Pajak Impor untuk Merch K-Pop Itu?Mari kita bedah dulu aturannya.Barang seperti photocard, album, lightstick, atau merchandise konser dikategorikan sebagai barang kiriman jika dibeli secara online dari luar negeri. Ketentuannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 199/PMK.010/2019, dan yang terbaru direvisi melalui PMK No. 4/2025 untuk penyederhanaan layanan ekspor-impor.Pajak yang dikenakan ada tiga lapis utama:Bea Masuk (BM) – 7,5% dari nilai pabean (harga barang + ongkir + asuransi). Dikenakan untuk nilai barang di atas US$3 (sekitar Rp45.000). Sebelumnya batasnya US$75, tapi diturunkan demi melindungi UMKM lokal.PPN (Pajak Pertambahan Nilai) – 11% dari total nilai impor (termasuk Bea Masuk). Pajak ini bersifat konsumtif, berlaku hampir untuk semua barang.PPh Pasal 22 Impor – 2,5% jika importir memiliki API (Angka Pengenal Importir), atau 7,5% jika tidak (seperti pembeli individu biasa).Simulasi singkat: Kamu beli album seharga US$20 (Rp280.000) + ongkir US$10 (Rp140.000) → total Rp420.000.BM: 7,5% × Rp420.000 = Rp31.500PPN: 11% × (Rp420.000 + Rp31.500) = Rp50.265PPh: 7,5% × Rp420.000 = Rp31.500💸 Total pajak: Rp113.265Harga akhir = Rp533.265 — hampir dua kali lipat dari harga awal!AI Editing Menurut data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), impor barang kiriman meningkat 52% antara 2022–2025, mencapai US$216 juta, mayoritas dari Korea Selatan dan Jepang. Barang paling sering? Skincare, fashion, dan tentu saja—merchandise K-Pop.Dampak Pajak: Dari Dompet Tipis ke Budaya yang TerhambatSecara teori, pajak impor dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri agar tidak kalah oleh banjir produk luar. Tapi logika ini tak berlaku untuk merchandise K-Pop.Mana ada UMKM Indonesia yang memproduksi official photocard Sunghoon atau lightstick Jungwon?1. Ekonomi Penggemar: Antara Passion dan RasionalitasKebijakan ini menghantam basis penggemar muda. Menurut survei Jakpat 2024, 73% penggemar K-Pop Indonesia adalah Gen Z dan milenial dengan pengeluaran rata-rata bulanan di bawah Rp3 juta. Dengan harga merchandise yang melonjak akibat pajak, mereka akhirnya harus memilih antara support idol atau kebutuhan lain.Efeknya nyata: penurunan pembelian album resmi di marketplace global dan peningkatan pembelian barang unofficial atau fake merch yang berisiko. Bahkan komunitas ENGENE di X (Twitter) mencatat penurunan pembelian album Dark Blood sebesar 40% dibanding Manifesto: Day 1 karena harga impor yang naik dua kali lipat.2. Perekonomian Nasional: Potensi yang TerlewatIronisnya, kebijakan ini berpotensi menurunkan penerimaan pajak jangka panjang. Ketika pajak terlalu tinggi, banyak penggemar beralih ke jalur jastip atau black market, yang tidak tercatat dan tidak membayar pajak sama sekali.Dalam laporan ASEAN Trade Review 2024, Indonesia kehilangan potensi pendapatan hingga Rp60 miliar per tahun dari transaksi unrecorded import merchandise K-Pop.Selain itu, kita kehilangan peluang kolaborasi: Bayangkan kalau HYBE (agensi ENHYPEN) membangun pabrik lightstick atau album di Indonesia. Ini bukan ide gila—Thailand dan Vietnam sudah melakukannya untuk grup seperti BLACKPINK dan TXT, menciptakan ribuan lapangan kerja lokal dan menekan harga jual hingga 30%.3. Budaya: Paywall untuk PassionK-Pop bukan sekadar hiburan; ia adalah bentuk soft power Asia yang menginspirasi kreativitas, solidaritas, dan ekspresi diri anak muda. Lagu-lagu ENHYPEN seperti Given-Taken atau Drunk-Dazed mengandung pesan perjuangan dan pertumbuhan yang dekat dengan realitas remaja Indonesia.Namun, ketika akses ke merchandise resmi menjadi terlalu mahal, budaya ini berubah menjadi eksklusif—hanya bisa dinikmati mereka yang mampu.Seperti kata salah satu penggemar di forum Weverse Indonesia: “Dulu fangirling itu soal cinta dan kebanggaan. Sekarang, kayak lomba siapa paling kaya beli album versi lengkap.”Opini Saya: Saatnya Kebijakan Pajak yang Lebih AdaptifSaya tidak menolak pajak—kita semua paham, pajak adalah bahan bakar negara. Tapi kebijakan yang terlalu kaku justru bisa membunuh potensi ekonomi kreatif yang sedang tumbuh. Untuk konteks merchandise budaya populer seperti K-Pop, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa langkah realistis:Naikkan batas pembebasan pajak (de minimis value) dari US$3 menjadi US$50 khusus untuk kategori cultural goods (barang seni dan hiburan). Ini tidak merugikan UMKM karena tidak ada substitusi lokal untuk produk-produk ini.Beri insentif PPh 0% untuk importir kecil dan pembelian melalui platform resmi seperti Weverse Shop, Shopee Global, atau Tokopedia Internasional. Tujuannya: mendorong transaksi tercatat dan mencegah penyelundupan.Dorong kolaborasi industri kreatif lokal dengan agensi Korea. Contohnya, kolaborasi Nabati x ENHYPEN (2023) sukses besar dan meningkatkan penjualan lokal hingga 25%. Bayangkan jika kolaborasi semacam ini diperluas ke apparel, photocard, atau official event merchandise.Bangun zona produksi kreatif bersama (Creative Hub) di kawasan industri, dengan kemitraan antara Kementerian Perindustrian, Kemenparekraf, dan agensi hiburan Korea. Ini bisa meniru model Thailand-Korea Creative Alliance yang sukses menurunkan harga merch hingga 40%.Penutup: Pajak Boleh Naik, Tapi Jangan Bunuh SemangatBagi ENGENE dan seluruh K-Poppers, membeli merchandise bukan sekadar transaksi—itu bentuk cinta dan dukungan. Tapi ketika harga album naik dua kali lipat karena pajak, cinta itu terasa mahal. Pemerintah perlu sadar: budaya pop bukan ancaman ekonomi, tapi peluang ekonomi baru. K-Pop telah membuka jalan bagi diplomasi budaya, pariwisata, dan kolaborasi bisnis lintas negara. Kalau Indonesia bisa mengelola pajak dengan lebih bijak, kita tidak hanya jadi pasar konsumtif, tapi juga produsen budaya yang diakui dunia.Akhirnya, seperti arti nama ENHYPEN sendiri—connection, discovery, growth—Mari kita tumbuh bersama: pemerintah, industri, dan penggemar. Karena pajak seharusnya menjembatani impian, bukan menghalangi semangat.AI Editing