Tetap Akur Meski Pilihan Politik Berbeda

Wait 5 sec.

Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro ASerius kamu dukung dia?” Pertanyaan itu awalnya hanya sekedar bercanda di grup WhatsApp keluarga dan teman, tapi lama-lama berubah menjadi debat panas. Ada yang keluar dari grup, ada yang diam-diam jaga jarak di dunia nyata. Di media sosial pun sama perbedaan pilihan politik bisa membuat orang saling blokir, bahkan lupa kalau dulu pernah akrab.‎Fenomena ini bukan cuma tentang siapa yang kita pilih, tapi tentang bagaimana politik kini membentuk cara kita memandang satu sama lain. Setiap masa pemilu tiba ruang publik terasa seperti arena pertandingan, siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah.‎Politik Identitas dari gagasan jadi emosi. ‎Dalam sosiologi, hal ini dapat dijelaskan lewat konsep politik identitas. Menurut Manuel Castells, identitas sosial terbentuk dari rasa memiliki terhadap kelompok tertentu entah itu partai, tokoh, atau nilai yang kita yakini. Masalahnya, ketika identitas politik sudah bercampur dengan emosi, perbedaan pandangan tak lagi dianggap wajar. Ia berubah jadi ancaman.K‎ita tidak lagi menilai gagasan, tapi menilai “siapa yang bicara”. Akibatnya, diskusi soal masa depan bangsa berubah jadi adu gengsi, dan ruang publik kehilangan makna sebagai tempat bertukar ide.‎Media sosial mesin yang memperdalam jurang. Media sosial memperkuat polarisasi ini. Algoritma hanya menampilkan konten yang sesuai dengan pandangan kita, menciptakan echo chamber ruang gema yang memantulkan pendapat yang sama berulang-ulang.‎Pierre Bourdieu menyebut konsep habitus untuk menggambarkan pola pikir dan tindakan yang terbentuk dari lingkungan sosial. Dalam konteks digital, habitus itu adalah kebiasaan scroll cepat, like yang sependapat, serang yang berbeda. Tanpa sadar, kita terbiasa hidup di gelembung pandangan sendiri. Kalau melihat yang berbeda, reaksi pertama bukan lagi penasaran, tapi defensif.‎Belajar berdialog lagi, polarisasi di Indonesia sebenarnya sudah terlihat sejak Pilpres 2014 dan 2019. Bahkan sampai sekarang, sisa ketegangannya masih terasa di sekitar kita dalam obrolan keluarga, lingkungan kerja, hingga dunia kampus.‎‎Sebagai mahasiswa, aku pun pernah mengalaminya. Pernah suatu kali, diskusi ringan di kelas soal politik berubah jadi suasana canggung. Dari sana aku belajar, perbedaan itu nggak harus dihindari asal kita tahu cara berdialog dengan empati, bukan emosi.‎Menutup jurang, bukan memperlebar Politik identitas sebenarnya tidak selalu buruk. Ia bisa menjadi sumber solidaritas dan kesadaran bersama, asal tidak menutup ruang dialog. Demokrasi yang sehat justru tumbuh dari kemampuan kita untuk berbeda tanpa saling meniadakan.Kita tidak bisa menghapus adanya perbedaan, tapi kita bisa memilih bagaimana memperlakukannya. Karena dibalik warna politik yang berbeda, Kita masih mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin membentuk Indonesia yang lebih baik.