Retakan Keramik, Memori yang Bertutur di Museum Adityawarman

Wait 5 sec.

Museum Adityawarman. Foto: Yedija luhur/ShutterstockPameran temporer di Museum Adityawarman tahun ini tidak hanya menghadirkan koleksi keramik bersejarah, tetapi juga menawarkan ruang refleksi bagi masyarakat. Dengan tema "Retakan yang bertutur, menjaga warisan membingkai masa lalu", pameran ini digelar bertepatan dengan peringatan 16 tahun gempa bumi 30 September 2009 di Kota Padang. Melalui jejak retakan pada keramik, museum ingin menyampaikan bahwa setiap warisan budaya, meski rapuh, tetap menyimpan nilai yang penting untuk dijaga dan direnungkan bersama.Retakan yang BicaraDi ruang pamer temporer Museum Adityawarman, Padang, jejeran keramik dengan retakan halus tampak dipajang dengan penuh kehati-hatian. Cahaya lampu sorot menimpa permukaan porselen, menampilkan gurat retakan yang justru seakan berbicara. Retakan ini bukan cacat yang harus disembunyikan, melainkan jejak yang dibiarkan bercerita. Seakan benda rapuh itu menjadi saksi bisu yang mengingatkan masyarakat pada peristiwa besar yang pernah melanda Kota Padang: gempa 30 September 2009.Latar Belakang PameranPameran temporer koleksi keramik bertema "Retakan yang bertutur menjaga warisan membingkai masa lalu" resmi dibuka pada Selasa 30 September 2025. Pemilihan tanggal tersebut tentu bukan kebetulan, melainkan upaya menghadirkan momen peringatan 16 tahun gempa bumi yang pernah mengguncang Kota Padang. Acara ini digelar oleh UPTD Museum Adityawarman di bawah naungan Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat.Beragam keramik yang ditampilkan saat Pameran Temporer yang diselenggarakan oleh UPTD Museum Adityawarman (02/10). Sumber: Atthoriq Chairul HakimKepala Museum Adityawarman, Tuti Alawiyah, menuturkan, "Tema ini ditentukan dengan alasan bagaimana dapat menarik minat masyarakat, dan bertepatan dengan peristiwa gempa Padang pada waktu yang lalu.""Pada saat gempa itu, berbagai koleksi keramik mengalami kerusakan dari yang ringan hingga berat. Sampai pada titik, ada ide untuk merestorasi keramik tersebut," ujar Tuti.Gempa bumi 2009 menjadi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Kota Padang. Ribuan bangunan roboh, ratusan nyawa melayang, dan trauma kolektif masih tersisa hingga kini. Museum Adityawarman pun tidak luput dari dampaknya. Sebagai bangunan sempat mengalami kerusakan, koleksi harus diamankan, dan pemulihan membutuhkan waktu panjang.Koleksi dan KurasiDalam pameran kali ini ditampilkan sekitar kurang lebih 320 keramik yang direstorasi, mulai dari guci, piring, mangkuk, hingga wadah upacara dari berbagai periode sejarah. Sebagian besar merupakan koleksi permanen museum, sementara lainnya berasal dari temuan maupun sumbangan masyarakat."Untuk mengantisipasi bencana yang mungkin saja terjadi, seperti tsunami atau gempa, hendak disediakan tempat safety untuk melindungi benda-benda museum seperti keramik. Atau dialihkan ke tempat aman, jauh dari bibir pantai," harap Tuti.Beberapa keramik yang dipamerkan menarik perhatian pengunjung dan membuat penasaran akan nilai sejarah dan budaya yang dikandungnya. Sejarah yang dimaksud di sini adalah bagaimana keramik dengan retakan tersebut mengisahkan sebuah peristiwa besar yang terjadi di masa lalu yaitu gempa 30 September 2009.Salah satu koleksi yang mencuri perhatian adalah sebuah guci dari Dinasti Ming yang permukaannya menampilkan retakan besar namun tetap kokoh. Benda ini bukan hanya indah secara estetis, tetapi juga menyimpan kisah perjalanan panjang sebelum akhrinya menjadi bagian dari koleksi museum.Makna Retakan dan Ingatan GempaLebih dari sekadar benda seni, keramik dalam pameran ini dihadirkan sebagai metafora. Sifat keramik yang rapuh dan mudah retak mencerminkan kehidupan manusia yang penuh ketidakpastian. Namun, sebagaimana keramik yang tetap bertahan meski retak, masyarakat pun bisa bangkit dari luka.Kunjungan murid Sekolah Dasar ke Museum Adityawarman untuk menyaksikan benda-benda museum, salah satunya pameran temporer keramik (02/10). Sumber: Atthoriq Chairul HakimTema retakan juga secara simbolis terhubung dengan pengalaman masyarakat Sumbar pascagempa. Kala itu, retakan di dinding rumah, jalan, hingga bangunan publik menyisakan luka yang mendalam. Kini, melalui retakan pada keramik, museum ingin menyampaikan bahwa luka itu dapat dibingkai menjadi pelajaran berharga.Museum sebagai Ruang RefleksiDalam beberapa tahun terakhir, Museum Adityawarman berupaya menghadirkan pameran yang tidak hanya memamerkan benda koleksi, tetapi juga membuka ruang refleksi. Koleksi keramik kali ini menjadi sarana untuk mengajak pengunjung merenung tentang warisan budaya sekaligus tentang ketangguhan menghadapi bencana.Bagi generasi muda, pameran ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran bahwa museum bukanlah ruang mati, melainkan ruang dialog antara masa lalu dan masa kini. Keramik yang retak mengajarkan bahwa sesuatu yang rapuh sekalipun bisa tetap bertahan dan bercerita, selama ada yang mau merawat dan mendengarkan.Secercah Harapan untuk Masa DepanPameran "Retakan yang bertutur menjaga warisan membingkai masa lalu" bukan hanya sebuah kegiatan seni, tetapi juga ajakan untuk mengingat; mengingat betapa berharganya warisan budaya, sekaligus betapa rapuhnya hidup di daerah rawan bencana."Adanya minat dari anak muda untuk berkunjung ke museum, untuk meningkatkan pengetahuan mengenai warisan budaya mereka dari masa ke masa, sehingga bisa diaplikasikan," tutup Tuti.