Kehadiran BP BUMN Dinilai Bentuk Pemborosan Anggaran

Wait 5 sec.

Kementerian BUMN (Foto: VOI)JAKARTA - Pengamat BUMN sekaligus Direktur Next Indonesia Center Herry Gunawan memandang Badan Pengaturan (BP) BUMN sebagai pengganti kementerian, bentuk pemborosan anggaran yang dilakukan pemerintah.Sekadar informasi, Status Kementerian BUMN berganti menjadi Badan Pengaturan (BP) sejalan dengan telah diresmikannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Herry mengatakan bahwa urgensinya pembentukan BP BUMN ini tidak ada, mengingat sudah ada Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Apalagi, BUMN adalah badan privat seperti halnya perusahaan swasta lain, maka regulasi yang diikuti seharusnya sama dengan swasta.“Dengan begitu, BP BUMN memang gak diperlukan. Kalau tetap ada, tentu jadi pemborosan anggaran. Kalau ikuti anggaran Kementerian BUMN sebelumnya, bisa sampai Rp300 miliar yang mesti disediakan APBN,” katanya kepada VOI, Jumat, 3 Oktober.Menurut Herry, seharusnya anggaran ratusan miliar tersebut dapat digunakan pemerintah untuk program strategis daripada membentuk badan yang tidak memiliki urgensi.“Lebih manfaat dana itu digunakan untuk program strategis,” tuturnya.Herry menilai kehadiran BP BUMN melalui pengesahan UU BUMN justru memberikan isyarat yang tidak baik bagi perusahaan pelat merah.“Potensi negatifnya lebih besar,” ujarnya.Menurut Herry, BP BUMN diberikan cek kosong untuk intervensi ke BUMN, karena mendapatkan wewenang untuk mengoptimalkan peran BUMN. Herry menilai istilah mengoptimalkan ini merupakan pasal karet untuk intervensi ke BUMN.“Padahal, saat ini sudah ada BPI Danantara yang telah memiliki holding untuk menaungi pengelolaan aset maupun investasi BUMN,” ucapnya.Kemudian, sambung Herry, UU BUMN baru melegalkan rangkap jabatan para pejabat negara yang berstatus regulator, untuk rangkap sebagai operator di BUMN. Hal ini ditunjukkan dengan tidak melarang pejabat negara Eselon 1 ke bawah untuk merangkap sebagai Komisaris BUMN.“Tindakan ini merupakan konflik kepentingan, etika yang sangat dihindari dalam tata kelola perusahaan. UU BUMN yang baru kan hanya melarang Menteri dan Wakil Menteri yang memang sudah ditetapkan oleh UU Kementerian Negara, termasuk keputusan Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.Selain itu, menurut Herry, BUMN dikembalikan seperti sebelum ada UU Nomor 1 tahun 2025 tentang BUMN, yakni dapat diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).“Dengan demikian, BUMN kembali menjadi kekayaan negara yang dipisahkan, walaupun pada UU Nomor 1 Tahun 2025 sudah ditegaskan bahwa BUMN adalah badan privat, yang artinya berstatus seperti persoroan swasta,” ujarnya.Karena itu, Herry menilai Kehadiran BP BUMN justru akan menambah beban birokrasi baru bagi BUMN. Sebab, memiliki kekuasaan lebih yakni sebagai regulator dan juga memiliki intervensi ke perusahaan pelat merah.“BP BUMN ini lebih mirip sebagai Kementerian BUMN plus plus, dalam arti memiliki kekuasaan lebih. Selain sebagai regulator seperti Kementerian BUMN, juga ada kewenangan intervensi ke BUMN dengan alasan mengoptimalkan,” katanya.